"A’uudzubillaah himinas syaitoon nirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim. Allah, tidak ada Tuhan yng berhak disembah kecuali 'Dia Yang Hidup kekal' lagi selalu mengatur makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Dia Maha Pemilik segala hal yang ada di langit dan di bumi. Siapakah yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa izin-Nya? Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apapun dari ilmu Allah kecuali telah dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Lantunan Ayat Kursi yang syahdu diikuti arti ayatnya itu terdengar dalam keheningan malam yang tadinya amat sunyi tanpa ada suara. Aku mendekat ke arah pintu ruangan berwarna cokelat yang berada tepat di hadapanku dengan langkah perlahan.
Jelas sekali.
Suara lantunan ayat suci yang amat menenangkan itu jelas sekali adalah milik Gus Karim. Kemampuan beliau dalam membaca dan melantunkan ayat suci memang selalu terdengar khas dan merdu, membuat siapapun santriwati di pesantren ini dapat dengan mudah mengenali suara beliau.
"A’uudzu billaahis-samil’il ‘aliim, minasy syaithaanir-rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih. Aku berlindung kepada Allah, Rabb yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari gangguan syaitan yang terkutuk, serta dari kegilaannya, kesombongannya, dan syairnya yang tercela."
Ayat selanjutnya kembali berkumandang dengan merdunya, membuatku tanpa sadar juga ikut mendengarkannya dengan khusyuk dan khidmat. Namun selanjutnya, aku mendengarkan suara seorang gadis seperti sedang tercekat dari dalam sana.
"Nadhira?"
Refleks, tanpa sadar aku mengetuk pintu ruangan itu begitu saja. Sayup-sayup, suara langkah terdengar dari dalam sana diiringi bunyi knop pintu terputar bersamaan dengan pintu ruangan yang tiba-tiba saja terbuka lebar.
"Sabiya?"
Sosok Gus Karim yang bertubuh tinggi nan tegap tahu-tahu saja sudah berada tepat di hadapanku. Aku menelan ludahku sejenak sembari mengangkat wajah dan melihat ruangan kantor beliau yang sudah terpampang jelas di depan mata, dan betapa terkejutnya diriku saat menyadari semuanya.
Ternyata... dalam ruangan kantor itu tidak hanya ada Gus Karim berdua dengan Nadhira, namun ada beberapa Uztadz dan Uztadzah dari pesantren ini dan pesantren luar lainnya, termasuk... Uztadzah Normazah. Istri dari Gus Karim sekaligus salah satu pengajar di pesantren kami ini.
***
"Hoeek, hoeek."