"Nadhira, apakah kau sudah merasa jauh lebih baik?"
Aku membuka percakapan pertama saat kami sudah tiba di kamar asrama kembali. Jam dinding menunjukkan pukul 04.00 pagi, yang itu berarti sebentar lagi sudah akan memasuki waktu subuh. Aku tidak tahu berapa lama kami berada di ruangan kantor Gus Karim, tapi yang jelas waktu ternyata cukup cepat berlalu.
"Ya, aku selalu merasa baik-baik saja. Jangan khawatir. Kau pasti menganggap aku menyedihkan setelah menyaksikan bagaimana proses penyembuhan yang aku lakukan tadi."
Nadhira menjawabnya dengan nada sedikit bercanda, namun aku buru-buru meralat ucapan gadis itu.
"Tidak sama sekali. Aku justru takjub kau bisa melalui semua itu... tanpa mengeluh. Uztadzah Normazah benar tentang dirimu. Kau adalah orang yang istimewa, gadis yang kuat."
Satu senyuman simpul terangkat di bibir Nadhira saat mendengarkan ucapanku.
"Sebenarnya, aku tahu tentang rumor yang beredar di kelas tentang diriku, Gus Karim dan Uztadzah Normazah."
Tiba-tiba saja, Nadhira berkata hak seperti itu yang tentu saja membuatku terkejut. Jangan-jangan... Nadhira mendengarkan pembicaraan antara diriku dan Jamilah saat di kelas tempo hari?!
"Jika itu hanya tentang diriku, aku tidak masalah. Aku sudah terbiasa mendengarkan orang-orang berbicara buruk tentang diriku setelah video kerasukan itu tersebar. Mereka bilang aku anak jelmaan setan, beberapa bilang kalau aku hanya berakting untuk cepat terkenal. Aku sama sekali tidak keberatan karena pada saat itu aku juga sedang sakit berat, tidak ada waktu untuk peduli akan pikiran orang. Tapi rumor yang beredar di kelas itu bukan hanya tentang diriku saja. Nama-nama orang yang baik dan selalu membantuku terseret begitu saja. Aku tidak tahu apa jadinya diriku sekarang kalau tidak bertemu Gus Karim dan Uztadzah Normazah. Mungkin aku tetap berurusan dengan mimpi-mimpi buruk yang tiada hentinya, mungkin aku berakhir di ambang kematian. Karena itu, aku tidak bisa berdiam diri saja melihat orang-orang berpikiran buruk tentang Gus Karim dan istrinya hanya karena menolong diriku."
Aku terdiam mendengarkan penuturan Nadhira. Nadhira benar. Rumor yang berkembang di kelas kalau terus dibiarkan akan semakin parah. Ini bukan hanya melibatkan nama Nadhira saja, tapi nama baik Gus Karim dan Uztadzah Normazah juga ikut dipertaruhkan.
"Aku ingin membalas budi pada Gus Karim dan istrinya yang selama ini sudah begitu baik membantuku dengan membawaku ke pesantren ini untuk mendapatkan perlindungan dan pengobatan yang lebih baik. Aku ingin membersihkan nama mereka. Mengembalikan nama baik Gus Karim dan Uztadzah Normazah. Sabiya, kau mau membantu aku, kan?"
Nadhira menatapku dengan kedua bola matanya yang setengah memelas setengah berbinar mirip anak anjing yang sedang meminta sesuatu. Saat itu...aku tidak berpikir panjang dan langsung mengiyakan ucapannya.
"Tentu saja. Kita ini teman, Nadhira. Aku akan membantu apa saja yang aku bisa."
Saat aku mengucapkan hal itu kepada Nadhira, dalam batin diriku cukup tertegun. Aku yang dulunya pendiam dan introvert ini apakah mungkin dengan cepat mengiyakan ajakan seseorang untuk membantu permasalahan dirinya? Selama ini... bukankah aku selalu bermain aman dan menghindari masalah? Dimana ada masalah, aku akan berpura-pura tidak tahu atau tidak mendengarkan.
Tapi sekarang... aku merasa bahwa tindakan itu pengecut, dan aku benci diriku yang menjadi pengecut. Aku rasa... aku sudah berubah secara perlahan. Dan perubahan ini terjadi karena aku bertemu Nadhira. Nadhira dengan segala dunianya yang aneh dan awalnya tidak aku mengerti, ternyata bisa mengubah diriku yang pengecut ini untuk lebih berani dalam mengungkapkan dan melakukan sesuatu.
Nadhira, temanku.
Aku tidak tahu apa jadinya diriku sekarang kalau tidak bertemu dengan dirimu.
***
Pagi itu aku dan Nadhira datang ke kelas dan langsung dapat merasakan sorotan mata seisi penghuni kelas tertuju pada kami berdua. Bagi diriku dan Nadhira, kami berdua secara jelas tahu sorotan mata yang menghiasi kelas ini berarti apa.
"Daripada melihatku dengan tatapan sinis seperti itu, lebih baik bicara langsung saja. Katakan, apa sebenarnya masalah kalian padaku."
Itu adalah ucapan pertama yang keluar dari mulut Nadhira saat menginjakkan kaki di lantai kelas kami. Ia berbicara dengan gamblang seakan tidak memiliki rasa takut apapun. Dan tentu saja, itu langsung menyulut suasana para penghuni kelas yang dari awal memang seperti sudah ingin memulai pertikaian dengan Nadhira.
"Bagus kalau kau memang sudah mulai sadar diri. Dari awal kedatangan dirimu ke pesantren ini, kami sudah tidak suka. Bukan hanya karena kau adalah gadis aneh yang video kerasukannya pernah tersebar luas di media, tapi karena kami menolak keberadaan perempuan yang tidak benar di kelas kami ini. Nadhira, kehadiranmu itu sudah merusak kelas kami."