"Jadi, siapa pacar yang kau maksud waktu kita berbincang-bincang dulu?"
Nadhira tertawa terbahak-bahak mendengarkan pertanyaan spontan dariku yang juga sekaligus menggodanya. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba mengungkit pertanyaan semacam itu, mungkin karena rumor hubungan terlarang antara dirinya dan Gus Karim sudah lewat jadi kami berdua bisa saling bercanda seperti ini.
"Tentu saja pacarku di kota. Memangnya kau pikir Gus Karim?" Nadhira balas bercanda sambil melemparkan bungkusan cemilan makan malam ke arahku yang lekas mendarat di atas pangkuan milikku dengan begitu mudahnya.
Aku nyaris tersedak akan gurauan Nadhira barusan. Rasanya malu mengakui bahwa sempat terbersit pikiran semacam itu, untung saja aku segera menyadarkan diri dan percaya sepenuhnya pada Nadhira.
"Tapi aku sudah putus dengannya. Saat memutuskan untuk pindah ke pesantren ini, aku mengatakan padanya bahwa pacaran itu dilarang dalam agama kita. Tentu saja ia tidak terima.
Sama sepertiku pada awalnya, pola pikir orang luar dan orang yang memilih masuk ke dalam lingkungan dan dunia pesantren itu memang berbeda. Jadi, aku menawarkan padanya bahwa meskipun tidak pacaran lagi, kami berdua masih bisa berteman. Meskipun sampai sekarang ia masih menganggapku sebagai pacarnya," lanjut Nadhira sambil menjatuhkan kepalanya di atas kasur tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar asrama kami.
"Kau memang berpengalaman, aku iri padamu," celetuk diriku sambil mengunyah cemilan yang tadi Nadhira lemparkan kepadaku.
"Berpengalaman apanya. Aku justru iri pada dirimu, Sabiya. Kau dari awal sudah mengenyam pendidikan dunia akhirat seperti ini. Setidaknya... dosa yang kau punya pasti jauh lebih sedikit."
"Nona, tidak ada yang tahu ada berapa banyaknya dosa manusia di dunia ini, tahu!"
Aku balas melemparkan sisa bungkusan cemilan yang kami beli dari kantin asrama tadi membuat Nadhira kembali tertawa renyah.
Ya, seperti inilah keseharian kami sebagai teman satu kamar. Situasi kelas perlahan menjadi lebih baik, tidak ada lagi yang berani menggunjing di belakang Nadhira. Mereka sepertinya sudah tahu diri dan malu akan perbuatan tidak terpuji semacam itu.
Nadhira sendiri aku rasa... sudah jauh lebih sehat dan hidup daripada sebelumnya. Dirinya yang bisa bebas bercanda dengan diriku hampir setiap harinya, aku sungguh merasa bersyukur karena itu pertanda ucapan Uztadzah Normazah benar adanya. Nadhira sudah pulih dan kembali seperti sedia kala, seperti gadis normal pada umumnya.
"Hm, berikan aku bungkusan cemilan yang lain. Ini cemilan kacang. Aku tidak bisa makan kacang," sahut gadis itu sambil melemparkan kembali bungkusan cemilan yang tadi aku berikan.
Aku mengerutkan keningku tanpa sadar. Ini pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang tidak bisa makan kacang.
"Kenapa? Padahal cemilan kacang ini paling enak."
"Aku alergi. Kalau makan kacang aku bisa sesak nafas dan berakhir dilarikan ke rumah sakit."
"Hey, masa cuman karena kacang bisa begitu. Candaan macam apa itu?"
"Aku tidak bercanda."
Nadhira bangkit dari tidurnya dan tahu-tahu sudah berada di depan wajahku dengan kedua bola mata hitamnya yang bulat seperti anak anjing itu.
"Kalau kau ingin melihat teman sekamarmu yang cantik ini sekarat, maka kau bisa memberikan kacang dalam makananku. Satu butir kacang saja sudah menjadi bahan yang cukup untuk membunuhku."
"Yang benar saja! Tidak lucu!"