Gus Karim menjelaskan dan memberikan pengertian kepadaku mengapa ia bisa menyimpulkan bahwa sosok 'Huriyyah' yang merasuki Nadhira ternyata adalah Ibu kandungku yang selama ini tidak pernah aku ketahui sebelumnya.
Beliau mengatakan kepadaku alasan mengapa ia bisa berhasil menyembuhkan Nadhira setiap mengalami kerasukan selama ini adalah karena ia memiliki sesuatu yang disebut sebagai 'indera keenam'.
Setiap pasien ruqyah miliknya mengalami kerasukan yang parah seperti Nadhira, ia akan langsung berkomunikasi dengan sosok yang merasuki itu lewat indera keenamnya dan mencari tahu apa yang sebenarnya setan, jin, arwah ataupun roh yang merasuki itu inginkan hingga menyebabkan kerasukan itu sendiri.
"Indera keenamku mengatakan bahwa sosok itu merasuki Nadhira demi menemui dirimu, Sabiya. Insting indera keenamku juga mengatakan bahwa kau benar adalah anaknya. Kau adalah bayi yang nyaris diaborsi namun berhasil lahir dengan selamat pada waktu itu. Kyai Abdul Jatira menyuruh Adil Tsani untuk membawamu pergi dan menitipkannya pada sepasang suami istri lanjut usia yang rumahnya berada di jalanan perbatasan menuju hutan alas, tidak jauh dari lokasi rumah dukun beranak itu berada."
Aku terdiam mendengarkan ucapan Gus Karim dalam keadaan masih terkejut bukan main hingga membuatku nafasku tersengal-sengal. Kalau dipikir-pikir, semua ucapan Gus Karim itu benar dan masuk akal adanya.
Rumah Kakek dan Nenek yang selama ini membesarkanku memang berada di jalanan perbatasan menuju hutan alas yang menghubungkan pegunungan dan batas basah hutan, tidak jauh dari sana benar ada rumah dukun beranak yang sudah beroperasi berpuluh-puluh tahun lamanya. Namanya adalah Nti Sareh. Belum lagi kenyataan bahwa aku lahir pada tahun 1998, sesuai cerita Kyai Hasanuddin tadi yang mengatakan bahwa pernikahan siri beserta kehamilan yang Huriyyah alami terjadi pada awal tahun itu sebelum ia akhirnya hamil kembali dan memilih mengakhiri hidupnya dengan tragis. Semua itu seakan membenarkan bahwa indera keenam Gus Karim memang nyata adanya.
Jadi itu berarti... aku adalah darah daging dari Huriyyah dan Syekh Adil Tsani?!
"Kalau ia benar Ibu kandungku, apa yang harus aku perbuat?"
Aku menarik nafasku perlahan setelah menenangkan diri cukup lama hanya untuk mencerna segalanya.
"Kalau itu, aku serahkan sepenuhnya pada dirimu," jawab Gus Karim seakan memberikan kekuatan pada diriku agar bisa menghadapi semua ini dengan kuat dan hati lapang.
***
"Ibu, ini Sabiya, Ibu. Sabiya selamat pada waktu itu. Sabiya berhasil hidup," isakku sambil memeluk tubuh Nadhira, teman sekamarku yang tengah duduk di atas kursi roda dalam keadaan tak kuasa menahan tangis yang langsung pecah.
Aku bersimpuh di pangkuannya dan menangis histeris seperti seorang bayi yang baru saja lahir karena tidak dapat mengendalikan emosiku ketika menyadari bahwa di dalam tubuh Nadhira sekarang ini terdapat jiwa Ibu kandung yang selama ini aku cari dan pertanyakan.
"Rrrr.... rrrrr..."
Suara parau Nadhira terdengar bersamaan dengan tangannya yang mengelus rambutku perlahan.
Itu adalah elusan penuh kasih sayang Hurriyah, Ibu kandung yang telah melahirkan diriku ke dunia ini. Rasanya begitu hangat dan menenangkan, membuatku ingin berlama-lama larut dalam pelukan dan pangkuannya.
Jadi... seperti ini namanya ikatan batin itu.
"Ibu, jangan khawatir. Aku hidup dengan baik selama ini. Aku tidak kekurangan apapun sejak kecil. Kakek dan Nenek yang memungut diriku memperlakukanku dengan sangat baik. Karena itu, Ibu jangan mengkhawatirkan diriku lagi dan beristirahatlah dengan tenang," ucapku dengan lirih.