"Hal penting mengenai liontin kalung permata birumu dan Ratnamaya."
Kalung pemberian ibuku? Memang kata kakekku permata kalung ini merupakan berlian yang paling mahal. Apa dia mau membelinya ya? Tidak akan aku biarkan. Atau dia kenal ibuku? Dan siapa itu Ratnamaya?
"Sudahlah ayo ikut gue, lo nggak ada kerjaan juga kan. Daripada cuma tiduran di rumah."
Aku penasaran dengan semua pertanyaan yang sudah muncul di kepalaku. Di sisi lain aku malas pulang ke rumah, pasti aku cuma akan mendapat omelan dari ibu tiri super galak itu. Sepertinya aku juga tidak perlu takut pada Adnan. Setidaknya aku ikut pencak silat agar bisa membela diri. Akhirnya aku setuju untuk ikut dengannya.
Setelah sekitar lima belas menit kami melaju dengan motor sport-nya, kami berhenti di depan warung bakso pinggir jalan. Adnan memesan dua mangkuk bakso, lalu duduk diantara pengunjung lain. Aku hanya mengikutinya saja.
"Sekarang cepat katakan apa yang mau kau bicarakan," sahutku membuka percakapan.
"Nggak disini juga kali. Udahlah makan dulu, aku laper belum sarapan. Kamu juga, kan." Hei, dari kapan dia mengganti lo gue dengan aku kamu. Dan anehnya, aku hanya menuruti ucapan si berisik itu.
Kami sama-sama diam sampai acara makan bakso selesai. Kami menaiki motornya kembali. Setelah beberapa menit, kami sampai di parkiran sebuah gedung. Aku hanya diam dan mengikutinya berjalan. Akhirnya ia masuk ke sebuah apartemen.
"Hei, kenapa kita kesini? Ada siapa saja di dalam?" Tanyaku yang agak ragu untuk masuk kedalam.
"Ini apartemenku, ga ada siapapun di dalem. Kita akan aman bahas hal penting itu disini. Masuklah jangan takut."
Aku masih berdiri mematung di ambang pintu.
"Baiklah, ambil ini. Kau bisa menusukku jika aku akan melakukan sesuatu padamu." Adnan memberikan pisau yang terlihat sangat tajam.
Aku menerima pisau itu dan masuk kedalam, meskipun aku masih agak ragu. Adnan mempersilahkanku duduk di ruang tamunya, lantas ia mengambil segelas air putih untukku. Tanpa basa-basi lagi ia mulai bicara.
"Jadi selama ini, kisah yang kau anggap mimpi itu, bukan mimpi. Itu benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Semua tentang rumah pohon dan pulau itu nyata. Adara, aku adalah orang itu, satu-satunya teman yang bisa kau ajak bicara panjang lebar. Aku, Adnan, yang sering kau jambak karena kesal terhadapku."
"Aduuh cukup cukup, kau sedang mencoba mengarang cerita apa, sih. Tidak mungkin itu kenyataan, bagaimana aku bisa pergi ke pulau itu secepat kilat, dan bagaimana bisa aku bertemu denganmu disana."
"Jika itu tidak nyata, bagaimana aku bisa tahu isi mimpimu?"