"Seseorang harus kotor… agar dunia bisa bersih."
Tahun ke-1000 Kalender Besi.
Angin musim gugur berhembus bukan dengan sejuk, melainkan tajam, seperti bisikan ribuan jiwa yang tertelan tirani.
Dunia ini dibangun dari tulang belulang orang kecil. Dari ibu-ibu yang anaknya direnggut, dari desa-desa yang dibakar demi pajak, dari air mata yang dianggap pengkhianatan, dan dari darah yang tidak pernah diadili. Di balik singgasana para bangsawan, selalu ada lantai yang lengket oleh darah mereka yang tidak sempat berbicara.
Dan di tengah puing-puing hukum yang mati,
Ia muncul.
Malam itu, istana kecil milik Baron Porco sunyi. Bukan karena kedamaian, melainkan karena semua suara telah dipaksa diam—oleh kematian. Jejak-jejak merah membekas di marmer putih, membentuk jalur panjang menuju takhta kecil dari kayu jati yang kini bergemetar.
Langkahnya tak terburu, namun pasti.
Gaun hitamnya terbelah di pinggang, memberi ruang bagi pergerakan yang tenang namun penuh ancaman. Rambutnya sehitam arang—tidak menyerap cahaya, melainkan menelannya. Dan matanya...
Merah.
Bukan karena iblis. Tapi karena ia menyimpan terlalu banyak tangisan yang tidak bisa ia keluarkan sendiri.

"Riwayatmu sudah berakhir, Baron Porco."
Suara itu bukan jeritan, bukan pula teriakan. Itu suara seorang gadis muda… yang telah belajar membunuh tanpa harus membenci. Yang telah memaafkan dunia… cukup untuk berani menentangnya.
Baron Porco menggigil, wajahnya seperti tanah liat yang diremukkan ketakutan. Perutnya yang buncit terangkat naik-turun, napasnya patah-patah seperti surat pengampunan yang tak pernah ditulis.
"Jangan... jangan dekati aku! Kau—kau monster itu! Iron Lady!"
Ia menjerit, tapi tak ada yang menjawab.
Prajurit terakhirnya, dalam ketakutan setengah mati, menghunus pedang dan menyerbu.
Satu langkah senyap.Satu lengkungan pergelangan tangan. Pedang melesat, dan suara basah dari daging robek menggema. Lengan itu terlempar, menghantam marmer dengan bunyi tumpul. Darah menyemprot, mewarnai pilar batu dengan jejak merah.
"Menghunus pedang," ujar gadis itu dingin, "berarti siap kehilangan tanganmu."
Ia tidak berteriak. Ia tidak meraung. Ia hanya berbicara… seperti seorang guru yang muak melihat murid yang bodoh.
Baron pun tersungkur, menciumi ujung jubah hitam sang pemburu. Air matanya hanyir.
"Ampuni aku! Aku hanya perantara! Aku... aku diperintah!"
Gadis itu tertawa. Bukan dari mulut, tapi dari kepahitan yang tinggal di dadanya. Suara itu kering—tawa orang yang tidak lagi percaya pada belas kasih.
"Kau menculik anak-anak dari pelukan ibu mereka,"
"Mengorbankan mereka demi dewa palsu,"