"Bagaimana jika tubuh yang kau huni… adalah warisan dari sesuatu yang ingin kau kubur?"
Bangun Sebagai Moonlight Princess
POV: Sofie Stronghold
Tengah malam.
Waktu di mana dunia seolah berhenti bernapas.
Waktu di mana kebohongan kehilangan topengnya, dan keheningan... menjadi saksi bisu dari siapa dirimu yang sebenarnya.
Aku membuka mata.
Langit-langit menyambutku dengan ukiran bunga bulan. Cantik. Dingin. Seolah kemurnian tak pernah benar-benar bersih.
Aroma mawar kering dan kayu putih menyelimutiku. Hangat. Tenang.
Palsu.
“Kakak?”
Suara itu lembut, seolah takut pecah.
“Apakah Kakak baik-baik saja?”
Satu suara.
Satu nama.
Satu luka yang terus tumbuh dalam diam.
Aku menoleh.
Anak laki-laki berambut emas duduk di tepi ranjangku, menatapku dengan mata biru bening seperti langit yang belum pernah tersentuh perang.
Aku hampir tak bisa membedakan… apakah itu harapan, atau ilusi?
“…Mikael?”
Namanya keluar seperti napas yang lama kutahan.
Aku mengerjap pelan, mencoba menata kembali potongan realitas yang bergeser setiap aku terbangun.
“Kakak tidur sangat lama hari ini. Biasanya Kakak sudah bangun sejak senja…”
Dia menggenggam tanganku.
Tangannya hangat. Tanganku… dingin seperti tubuh yang bukan milikku.
“Kau tahu jam berapa sekarang?”
“Tengah malam?”
Aku tersenyum tipis. Senyum Sophie.
Bukan senyumku.
Aku bangkit. Gerakanku lamban, terbungkus kasmir dan kebisuan. Kain-kain mewah membelitku, seperti penjara yang lembut tapi tak memberiku ruang untuk menjadi nyata.
“Aku baik-baik saja, Mikael.”
Padahal aku tak yakin aku tahu seperti apa rasanya ‘baik-baik saja’.
Aku berjalan pelan ke depan cermin. Sosok yang menatapku dari balik kaca bukan Scarlett.
Bukan pejuang.
Bukan pembunuh.
Bukan kebenaran.
Itu… Sophie.

Gadis yang lahir dari kehendak tak dikenal.
Wajahnya cantik. Rapuh. Pucat seperti bulan yang hanya menyinari, tak pernah disentuh.
Bahkan gerakanku kini bukan milik tubuhku sendiri. Setiap langkah seperti meminjam jejak dari seseorang yang kukubur dalam tidur.
Tubuh ini bukan hadiah.
Ini adalah peringatan.
“Tubuh yang satu menumpahkan darah para tiran.”
“Tubuh yang satu… mewarisi darah mereka.”
Dua tubuh.
Satu jiwa.
Satu rahasia yang tak boleh retak.
“Kak?”
Mikael masih menatapku.
Matanya jujur. Tapi terkadang kejujuran pun bisa menjadi racun, jika disimpan dalam gelas yang salah.
“Maaf,” ucapku, memalingkan pandangan. “Aku hanya… kelelahan.”
Kelelahan yang tak bisa dipulihkan dengan tidur.
Kelelahan karena berpura-pura bahwa dunia ini tidak membusuk dari dalam.
“Kakak lapar? Aku sudah minta pelayan menyiapkan makanan hangat.”
Aku menoleh.
Bibirku bergerak, tapi rasa lapar tidak.
“Terima kasih… nanti saja.”
Tubuh ini memang berbeda. Bahkan rasa lapar tidak bisa menyeberang dari Scarlett ke Sophie.
Tapi rasa kecewa? Rasa cinta? Rasa pengkhianatan?
Mereka lintas tubuh. Lintas waktu.
“Aku bantu Kakak berjalan.”
Dia menyodorkan tangannya. Refleks. Kasih sayang.
Aku terdiam sejenak… lalu menepis tawaran itu dengan halus.
“Aku masih bisa melangkah, Mikael.”
Biar lambat. Biar terhuyung. Tapi itu langkahku.
Langkah Sophie.
Langkah menuju dunia yang tak bisa lagi kusebut sebagai rumah.
Kami berjalan menyusuri lorong istana.
Di belakangku, kudengar suaranya.
Lirih. Nyaris tak terdengar.
“Kakak… kenapa?”
Aku tidak menoleh.
Karena jika aku menoleh… aku takut melihat sesuatu yang tak siap kuhancurkan.
"Kau tidak tahu…"
"Bahwa malam ini, gadis yang kau panggil Kakak…"
"…mungkin adalah alasan takhta yang kau warisi akan runtuh."
Tapi itu bukan karena aku membencimu, Mikael.
Tidak.
Justru sebaliknya.
"Kalau aku harus menjatuhkan dunia yang akan kau warisi—"