Ratu Legiun: Wanita Besi dan Putri Cahaya Bulan

Eldoria
Chapter #4

Vol 1 Bab 4: Cahaya Bulan yang Menyinari Hidupku

Adik Laki-Laki yang Merindukan Bayangan Kakak Perempuannya

POV: Mikael Stronghold – Pangeran Mahkota

Malam itu masih menempel di mataku seperti noda yang tak bisa dibilas cahaya. Kilasan amarah di wajah Kakakku, Sophie Stronghold, mengendap dalam ingatan seperti cermin retak yang mencerminkan diriku sendiri dalam pecahan. Aku tidak pernah tahu... mengapa sorot matanya seperti membekukan udara. Aku hanya khawatir padanya. Tapi mungkin aku yang gagal — menyampaikan cinta dalam bentuk yang tidak menyakitkan.

Ada sesuatu yang telah berubah.

Dan perubahan itu... menyakitkan.

Sejak malam itu, langkah kakakku terdengar seperti gema yang menjauh, bukan mendekat. Saat ia terbangun dari tidur panjangnya, ia menatapku seperti seorang asing. Bukan Mikael, bukan adiknya, bukan bocah kecil yang dulu pernah ia gendong di bawah hujan.

Apakah aku masih adiknya?

Atau hanya kenangan masa lalu yang ia simpan di sudut gelap hatinya?

Pagi ini, embun menggantung di udara seperti bisikan yang belum selesai diucapkan. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi menusuk kulit seperti bisikan rahasia dari malam sebelumnya yang belum reda.

Aku mengenakan jubah bangsawan: berat, mewah, tapi tak cukup hangat untuk menutupi dinginnya perasaan yang belum terjawab.

Langkahku menyusuri lorong kastil tempat Kakakku tinggal. Dinding-dindingnya tinggi dan dingin, menyimpan gema dari masa lalu yang tidak ingin kulepaskan. Pelayan membungkuk saat aku lewat, para prajurit menatap tajam namun sopan. Tapi kehormatan ini hampa jika dibandingkan dengan satu hal yang tidak bisa kutebus: senyum tulus dari Kakakku.

Aku berhenti di taman.

Taman yang masih sama. Air mancurnya masih bernyanyi. Mawar-mawar mekar dengan darah lembutnya. Rerumputan basah memantulkan sinar mentari pertama. Angin mengalir pelan seperti membelai luka yang tak bisa kulihat... hanya bisa kurasakan.

Di tempat inilah aku terakhir kali merasa benar-benar menjadi adik kecil Kakakku.

Kilasan: Kenangan yang Masih Tersisa

Kami dulu pernah berlari-lari di taman ini, tertawa, menjerit, bermain seperti dunia takkan pernah berubah. Suatu hari aku jatuh — dan dunia kecilku terguncang oleh rasa sakit.

“A-aku... Kakak... kakiku...”

Tangisanku pecah seiring rasa perih di kaki kecilku.

Kakakku datang, berlari seperti angin pertama yang tiba sebelum badai.

“Mikael, tenanglah. Coba Kakak lihat.”

Tangannya yang hangat menyentuh bengkak di pergelangan kakiku, lalu meniupnya perlahan.

Aku masih bisa mengingat tiupan itu — tidak menyembuhkan apa pun, tapi menenangkan segalanya.

“Sudah baikan?”

“Sedikit... tapi jadi basah karena air liur Kakak...”

“Tch—wahaha! Mikael, kamu lucu sekali!”

Tawanya waktu itu seperti lonceng gereja yang berdentang saat fajar. Ringan, penuh kasih, tanpa luka.

“Kakak akan membantumu berdiri.”

Kakak perempuanku membantu berdiri. Tangan hangatnya menyentuh bahuku. Dagunya menyentuh kepalaku.


Kemudian Kakakku memelukku dari punggungnya. Dan... ia benar-benar menggendongku.

“Maaf ya... biar Kakak gendong ke tempat penyembuhan.”

Punggung Kakak hangat dan wangi seperti musim semi. Langkahnya mantap, seolah dunia bisa runtuh tapi dia akan tetap melindungiku.

Di perjalanan, aku berkata,

“Kakak, suatu hari nanti... aku yang akan melindungimu.”

Lihat selengkapnya