Surat Darah
Pagi itu, Kota Burgh terbangun dengan rasa takut yang tak punya bentuk.
Langit menggantung, berwarna abu-abu tua seperti dinding gereja tua yang menyimpan doa-doa tak terkabul. Matahari enggan muncul, seolah tahu bahwa terang tidak dibutuhkan hari ini. Angin pun berjalan pelan, memeluk leher orang-orang dengan kelembapan yang seperti bisikan dari liang kubur.
Biasanya, pasar Burgh dipenuhi suara: tawa anak-anak yang mencuri buah, makian pedagang yang melebihkan harga, dan nyanyian tua dari wanita yang menjual rempah di sudut timur. Tapi pagi ini... pasar seolah kehilangan nadanya. Tak ada nyanyian. Tak ada tawar-menawar.
Hanya satu irama menggema: bisikan.
Bisikan yang lebih tajam dari belati.
Semua mata tertuju pada papan pengumuman di tengah kota.
Di sana, tertancap satu lembar surat.
Kertas kasar. Kuning tua. Sobek di tepinya.
Dan di tengahnya...
Setitik darah yang belum mengering.
Darah manusia.
Dan darah tidak pernah berbohong.
—
Lancelot dan Suara Tua dari Generasi yang Lelah
Seorang pemuda menyelinap dari balik kerumunan.
Rambutnya hitam, acak-acakan seperti malam yang tak pernah tidur.
Ia mengenakan pakaian rakyat biasa—tidak mencolok, tidak hina. Tapi sorot matanya… sorot mata orang yang tahu bahwa dunia tidak pernah benar-benar jujur.
Lancelot.
Ia mendekat, melewati tubuh-tubuh yang menegang karena takut. Napasnya berat tapi tidak tergesa, seperti seseorang yang tahu bahwa kenyataan akan menghantam lebih keras jika dikejar.
Di bawah tiang bendera, duduk seorang lelaki tua. Wajahnya keriput seperti pohon tua yang terlalu lama berdiri di tengah musim perang. Jemarinya yang gemetar menggenggam tongkat kayu, seolah menahan bumi agar tidak runtuh hari ini.
“Pak... ada apa ini?” Lancelot bertanya dengan suara serak. “Apa yang terjadi?”
Pak Tua itu menatapnya lama. Seolah mencoba menakar: apakah anak muda ini cukup kuat untuk mendengar kebenaran, atau akan patah di tengah jalan seperti generasi sebelumnya.
"Surat darah," ucapnya akhirnya. “Iron Lady telah datang semalam. Baron Porco dan semua pengikutnya... dibantai.”
Lancelot terdiam.
Darahnya terasa berhenti mengalir.
“Iron Lady… membantai Baron Porco?”
Suara itu keluar dari bibirnya, tapi terasa asing.
“Bukankah Baron Porco—dia yang mendirikan dapur umum untuk anak-anak yatim? Yang menyumbang ke kuil setiap malam suci?”
Pak Tua hanya tersenyum. Pahit.
Seperti orang yang terlalu sering menyaksikan harapan menjadi asap.
“Semua yang kau tahu hanyalah apa yang diizinkan untuk kau ketahui. Tapi dunia bawah tanah tahu—anak-anak menghilang tiap bulan. Anak-anak yang tak punya nama. Anak-anak dari kelas bawah yang tak dianggap manusia…”
Ia menarik napas panjang, lalu membisikkan:
“Baron itu... mempersembahkan tubuh kecil mereka dalam ritual iblis. Daging untuk kekuasaan. Jiwa mereka—dijual demi kekebalan. Ibadah kotor yang bahkan langit enggan menghakimi... sampai Iron Lady turun.”
“Tidak... Tidak mungkin...”
Wajah Lancelot memucat.
“Tidak mungkin...”