Pertemuan Mikael dengan Nahyu Elbaf
POV: Mikeal Stronghold
Pagi hari di Istana Kekaisaran bukanlah pagi biasa.
Matahari belum naik tinggi, namun koridor marmer putih telah bersinar oleh pantulan cahaya lembut yang menelusup di antara pilar-pilar perunggu berukir lambang kekuasaan. Bau besi tua dan minyak perabot mengambang samar di udara, bercampur aroma bunga lavender dari taman istana. Di balik segala keindahan ini, ada sesuatu yang membeku. Sesuatu yang sunyi dan dingin.
Langkah-langkah kecilku terdengar nyaring. Denting sepatu di atas lantai seperti suara palu dalam pengadilan para dewa. Aku—Mikael Stronghold, putra mahkota—berjalan sendirian di antara pilar-pilar kemegahan. Tapi seperti biasa, tidak pernah benar-benar sendiri.
Para pelayan menunduk. Para penjaga berdiri tegak. Wajah mereka membeku dalam rasa hormat, tapi aku tahu... mereka melihatku bukan sebagai bocah berusia empat belas tahun, melainkan sebagai bayangan takdir kekaisaran. Bayangan ayahku yang telah tiada. Bayangan ibuku yang membekukan cinta demi tahta.
Aku membalas salam mereka dengan kepala ringan, lalu melanjutkan langkahku menuju Aula Utama.
Lalu aku melihatnya—batu keras yang selalu muncul di tengah jalanku.
Nahyu Elbaf.
Anak adipati keluarga Elbaf. Sekilas dia terlihat seperti pangeran dongeng: tinggi, gagah, berkilau dalam jubah mewah bersulam singa keemasan—lambang keluarganya yang menjunjung kekuatan. Tapi di balik senyumnya, aku tahu… yang bersembunyi adalah ular.
"Selamat pagi, Pangeran Mikael," katanya, membungkuk. Tapi matanya tidak pernah benar-benar merendah.
Aku membalasnya dengan nada datar. Formalitas. Tapi dia, seperti biasa, ingin lebih dari sekadar sapaan.
“Wah wah, Pangeran Mikael datang pagi sekali. Anda terlihat rajin, tidak biasa…”
Aku tahu maksudnya. Sindiran halus. Aku menanggapinya seperti menangkis pedang dengan tawa dingin.
“Tentu saja, ini rumahku. Apakah kau keberatan, Tuan Nahyu?”
Dia tersenyum palsu.
“Tentu tidak, justru bagus. Saya harap Anda serajin ini setiap hari…”
Setiap katanya seperti tawa pisau yang mengiris lambat. Tapi aku tetap tenang. Aku tahu permainannya. Dia ingin menusuk dari balik cermin sopan santun.
Lalu dia menyebut… Kakak perempuanku.
Aku menegang.
“Selama ini Anda terlalu sibuk dengan kakak perempuan Anda. Kalau tidak, tentu Anda akan rajin datang ke istana. Anda punya pengikut, penjaga dan pelayan."
Kakakku.
Satu-satunya cahaya yang kutahu di dunia yang ditelan kekuasaan dan pengkhianatan.
Dia terus bicara—tentang bagaimana aku harus menyerahkan Kakak perempuanku kepada pelayan, kepada orang lain, kepada dirinya.
“Kenapa tidak menyerahkan urusan Kakak Anda kepada mereka?” katanya ringan.
Lalu… “Atau… kepada saya. Saya siap merawatnya dengan ‘sebaik-baiknya’. Anda tahu, kan?”
Seketika dunia menjadi diam.
Udara pagi berubah menjadi es. Jantungku menghantam dadaku seperti palu. Aku menatapnya tajam. Mataku tak bisa menyembunyikan kemarahan—bukan karena dia menghina, tapi karena dia berani menginginkan Kakak perempuanku, satu-satunya cahaya yang menyinari hidupku.
“Apa maksudmu menyerahkannya kepadamu?”
Suara lirihku membawa gemuruh yang tidak terlihat. Kukepalkan tanganku—ingin menghempaskan egonya ke lantai istana ini. Tapi aku tetap berdiri tegak. Suaraku tetap rapi. Namun dingin seperti baja yang diasah oleh penderitaan.
“Kau pikir aku tidak kompeten? Kau bisa ditangkap karena lese majeste. Kau tahu itu, Tuan Nahyu?”
Dia tersenyum. Minta maaf. Tapi tak benar-benar mundur.