Ratu Legiun: Wanita Besi dan Putri Cahaya Bulan

Eldoria
Chapter #8

Vol 1 Bab 8: Mahkota di Mata Elit Bangsawan

Istana Kekaisaran Stronghold

Cahaya keemasan menari lewat kaca patri tinggi, memecah bayangan para bangsawan menjadi serpihan sejarah yang tak pernah benar-benar utuh. Aula istana Kekaisaran Stronghold bukan sekadar megah—ia adalah panggung megah untuk drama kekuasaan yang tak pernah selesai.

Mereka datang membawa kekuasaan. Dan seperti biasa, kekuasaan tidak datang sendiri—ia membawa ketakutan, ambisi, dan janji-janji manis yang tak pernah tulus. Hari ini, para pemegang wilayah berkumpul untuk pertemuan bulanan, sebuah ritus politik yang menyamarkan ketegangan sebagai formalitas.

Di tengah-tengah riuh rendah itu, pintu istana terbuka perlahan.

Hening sekejap. Seperti angin musim gugur yang menyusup diam-diam ke tengah pesta.

Seorang anak laki-laki berambut biru pucat melangkah masuk. Tanpa pengiring. Tanpa pengawal. Hanya keheningan yang menyertainya, dan sorotan mata yang memantulkan ketidakpastian akan masa depan Kekaisaran.

Dia terlalu muda untuk beban warisan, tapi terlalu tenang untuk disebut polos.

Dia adalah Pangeran Mahkota Mikael Stronghold.

Seluruh aula merunduk—bukan karena hormat sejati, tetapi karena kebiasaan dan perhitungan. Mereka melihatnya bukan sebagai anak laki-laki, tetapi sebagai papan catur dengan mahkota menggantung di atas kepalanya.

Pemain-Pemain Catur Bertemu Mahkota

Dari kerumunan, dua pria tua menyelinap ke arahnya, bagaikan burung nasar yang mencium kelemahan dalam daging yang belum sempat membusuk.

Yang pertama, botak dan gemuk, dengan senyum seperti jaring laba-laba, membuka pembicaraan:

“Selamat pagi, Pangeran. Anda terlihat baik dan berwibawa seperti biasanya.”

Dia adalah Duke Herdron, tua dan licin, pelayan dari zaman sebelumnya, yang masih bermimpi menjadi tangan kanan raja—tak peduli raja macam apa.

Yang kedua, Duke Batista, berambut panjang dan licik, menawarkan senjata lamanya: pernikahan.

“Selamat pagi, Pangeran. Anda muda, berwibawa, dan tampan. Kalau Anda berkenan, saya bisa mengenalkan putri saya kepada Anda. Dia pasti akan senang bertemu Anda.”

Mikael membalas dengan senyum basa-basi, topeng yang terlalu besar untuk wajah semuda itu. Tapi ia memakainya dengan lihai.

“Selamat pagi, Tuan-Tuan. Suatu kehormatan bisa berbicara dengan para Duke. Saya menghargai keramahtamahan Anda.”

Batista melanjutkan, tak kenal malu:

“Bagaimana kalau Pangeran mengunjungi rumahku? 

Putriku, Lestia, selalu menunggu kedatangan Anda.

Putriku selalu menyebut namamu…

Dia membuat puisi-puisi tentangmu 

Dia mengatakan Pangeran Mikael adalah cahaya dalam hidupnya..

Aku akan sangat senang jika Pangeran sesekali mengunjungiku putriku…

Lestia pasti akan bahagia jika Pangeran menemuinya.”

“Itu akan menjadi kehormatan, Tuan. Sayangnya saya terlalu sibuk. Terima kasih atas keramahannya,” jawab Mikael, masih tersenyum, tapi matanya memantulkan dinding kosong istana—seolah tak benar-benar ada di sini.

Batista, tentu saja, tidak menyerah. Ia menyisipkan peluru terakhirnya dengan senyuman:

“Sayang sekali. Tapi saya dengar Anda masih mengurus Kakak perempuan Anda. Anda benar-benar perhatian dengan keluarga Anda. Tapi ingatlah, Pangeran… pintu rumah kami selalu terbuka untuk Anda.”

Ada jeda. Napas Mikael sedikit menegang—hanya sesaat. Namun cukup bagi siapa pun yang memperhatikan.

Sophie.

Lihat selengkapnya