Kedatangan Ratu Stronghold
Aula istana menjelma seperti sangkar megah dari emas dan batu giok. Cahaya pagi menembus kaca patri tinggi, memecah warna menjadi semburat merah darah dan biru pucat di atas kepala para bangsawan yang telah berkumpul. Suara mereka mengalun rendah seperti desis ular—membicarakan silsilah, prestise, kekayaan, dan segala hal yang tak bisa mereka lepaskan dari identitas mereka yang rapuh.
Tertawa kecil, lirih-lirih sindiran, dan kalimat manis beracun beterbangan di antara jubah sutra dan mantel berbulu rubah. Di balik segala keangkuhan itu, satu hal mempersatukan mereka—hasrat untuk terlihat lebih tinggi dari yang lain, meski hanya satu inci, meski hanya sesaat.
Lalu, seperti ditelan badai musim dingin, seluruh riuh rendah itu seketika membeku.
Pintu besar aula terbuka dengan lengking pelan.
Suasana berubah.
Langkah-langkah teratur menggema seperti genderang takdir.
Dan kemudian ia datang—bukan sebagai wanita, bukan sebagai ibu, tapi sebagai lambang dari keagungan yang tak bisa disentuh:
Seraphina Stronghold.
Ia berjalan bagaikan dewi yang turun dari langit berbintang. Gaun panjangnya yang terbuat dari sutra kerajaan memantulkan cahaya seperti embun pagi di atas mata pedang. Jahitan benang emas melingkar di tubuhnya seperti mantra kekuasaan, sementara jubahnya—yang menyapu lantai marmer dengan elegansi yang nyaris tak nyata—menggambarkan Inheritor’s Sigil, simbol kuno yang menandai kekuasaan Kekaisaran Stronghold sebagai kehendak yang diwariskan, bukan diperebutkan.
Di tangan kanannya, tongkat emas berhias ukiran yang sama—bukan hanya lambang kekuasaan, tetapi juga pengingat bahwa siapa pun yang melawannya, menentang garis keturunan.
Rambut biru pucatnya tersusun sempurna seperti aliran sungai beku, wajahnya putih seakan terpahat dari marmer. Tak ada senyum. Tak ada kelembutan. Hanya tatapan dingin dan tajam yang menusuk jauh ke dalam setiap hati yang bersujud.
Dan bersujudlah mereka.
Para bangsawan menunduk bukan karena cinta… tetapi karena takut.
Di sisi kanannya, berdiri sosok wanita muda dengan senyum tenang—Catherine Volka, Bendahara Negara, wanita berdarah bangsawan yang bijak dan bijaksana, menjaga kekayaan kekaisaran seolah menjaga api kecil di tengah badai. Di sisi kiri sang Ratu berdiri pria tua berkacamata lensa tunggal—Perdana Menteri Hendrik Owen, pria tajam yang dikenal tak pernah membuang kata sia-sia.
Rombongan ini—simbol dari kekuasaan tertinggi Kekaisaran—berjalan seperti arus tak terbendung. Para bangsawan tidak bergerak. Bahkan napas pun ditahan, seolah suara detak jantung mereka sendiri bisa dianggap penghinaan.
Ratu Seraphina melangkah ke singgasananya.
Sebuah takhta besar dari batu hitam dan emas, menjulang dingin seperti gunung di tengah medan perang.
Ia duduk perlahan, dan dalam gerakan itu, seluruh aula kembali bernapas—namun kini dalam irama yang lebih hati-hati.
Lalu suara Perdana Menteri Owen memecah sunyi dengan ketegasan yang penuh perhitungan.
“Perhatian hadirin sekalian! Dengan kedatangan Yang Mulia Ratu, pertemuan besar para bangsawan resmi dimulai. Tuan-tuan bisa menyampaikan laporan Anda kepada Yang Mulia.”
—
Pertemuan Bangsawan Elit
Suara Owen seperti pedang yang membelah awan. Dan tentu, ada yang pertama mengangkat tangan lebih cepat dari siapa pun: Duke Herdron.
Tubuhnya membungkuk sedikit ke depan, senyumnya menyeringai dengan sopan santun buatan.
“Yang Mulia Ratu, izinkan saya untuk menyampaikan laporan saya kepada Anda,” katanya, penuh kesopanan yang terlalu manis untuk dipercaya.
“Silakan maju ke depan, Tuan Herdron. Yang Mulia Ratu akan mendengar laporan Anda,” jawab Perdana Menteri Owen, tetap dengan nada tenang dan berwibawa.
Langkah Herdron menggemakan ambisinya. Ia bukan datang untuk sekadar melapor. Ia datang untuk memperlihatkan betapa ‘mampunya’ ia memimpin kadipaten. Sebuah panggung, dan ia aktor utamanya.
Di hadapan Ratu, ia menunduk, lalu mulai bicara:
“Salam hormat saya kepada Yang Mulia Ratu. Keadaan Kadipaten yang saya pimpin sangat baik. Hasil panen kami kali ini sangat melimpah. Kami yakin pajak panen akan besar. Ini berkat kepemimpinan Yang Mulia yang bijaksana.”
Di antara kalimatnya, ada sorot mata yang melirik sekeliling. Ia tak hanya bicara kepada Ratu. Ia bicara kepada semua orang—menantang, memamerkan, mengklaim dirinya sebagai teladan.
“Apakah ada hal lain yang ingin Anda sampaikan kepada Yang Mulia Ratu, Tuan? Apakah ada permasalahan tertentu di wilayah Anda?” tanya Owen, nadanya tetap formal namun jelas ingin menggali lebih jauh.
“Saya kira kadipaten kami sangat baik. Tidak ada masalah berarti… kecuali beberapa hal kecil yang bisa kami tangani sendiri. Kami berterima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia selama ini.”
Ucapan itu ditutup dengan senyuman yang nyaris menjilat. Dan tak satu pun mengharapkan Ratu tersenyum kembali. Karena senyuman itu tak pernah datang.
Ratu Seraphina hanya menatapnya—mata birunya menusuk, seolah melihat melewati semua kemasan Herdron dan langsung ke ambisi telanjang yang tersembunyi di balik lidahnya yang manis.
Tak ada balasan kata.
Tak ada pujian.
Hanya anggukan pelan dari Seraphina—sebuah pengakuan yang terasa seperti penghakiman.
“Kalau tidak ada hal lain yang ingin Anda sampaikan, silakan kembali ke barisan, Tuan. Terima kasih atas laporan Anda,” kata Perdana Menteri.