Sejarah Wabah Penyakit Merah
POV: Sophie Stronghold
Malam telah melewati separuhnya. Langit seperti kaca retak yang ditutup awan perak. Tak ada suara selain desir pena dan nafas yang menahan dunia agar tetap sunyi.
Aku… terbangun, bukan sebagai Scarlett.
Aku terbangun malam itu sebagai Sophie Stronghold—tubuh kedua dari jiwa yang terbagi, seorang gadis ilmuwan yang mewarisi bulan dan darah.
Aku duduk sendiri di bangku kayu keras yang dingin, menghadap meja penuh kertas. Lampu minyak di pojok meja memantulkan bayangan samar ke dinding bata. Bayangan itu seperti hantu masa lalu—dan aku menulis, agar ia tidak melupakan bahwa ia pernah hidup.
Tanganku gemetar saat menyentuh naskah itu: sejarah tentang penyakit merah.
"Penyakit ini bukan sekadar catatan di buku tua. Ini adalah luka kolektif. Luka yang tidak sembuh. Luka yang bisa kembali berdarah."
Kudengar detak jam tua di dinding—menghitung waktu dunia yang pernah runtuh oleh penyakit ini. Tidak peduli apakah kau bangsawan atau budak, suci atau pendosa, sekali kau terjangkit… kau akan diasingkan ke ruang pengasingan berbau besi bernama “isolatich”, hingga tubuhmu berhenti bernafas.
Aku menulis dengan jari-jari yang mulai kaku. Dingin menyusup ke tulang, tapi rasa takut jauh lebih menggigilkan.
“Mereka mati dalam kesendirian.”
Kalimat itu aku tulis dengan darah hati. Ya… penyakit ini tidak membunuh lewat demam saja. Ia membunuh lewat sepi.
Kerajaan-kerajaan kuno jatuh. Bukan karena perang. Tapi karena mereka kehabisan orang yang cukup hidup untuk menguburkan orang mati.
Aku membuka lembaran-lembaran sejarah. Salah satu lembaran kuno menjelaskan kerajaan yang paling makmur di zaman kuno, memiliki istana emas dan menguasai wilayah selatan benua: Kerajaan Arcalic.
Kerajaan Arcalit memiliki puluhan jutaan penduduk yang kaya raya. Kerajaan tidak butuh pajak untuk menghidupi dirinya, mereka punya gunung emas. Mereka juga punya kota-kota yang megah dengan bangunan tinggi dari marmer dan permata.
Namun semua kekayaan itu tidak berarti… ketika penyakit merah mewabah di negeri itu, kota-kota megah berubah menjadi lautan jenazah. Bau anyir. Bau busuk. Nanah, darah, kotoran. Bangunan megah menjadi kuburan massal. Dinding istana yang berlapis emas dipenuhi bercak merah seperti ratapan yang tak bisa dibersihkan. Dan hanya butuh 1 tahun bagi Kerajaan itu untuk runtuh.
Tidak hanya kerajaan Arcalic, kerajaan-kerajaan kuno lainnya mengalami nasib yang tidak kalah mengerikan. Mereka runtuh satu demi satu. Hingga ketika puncak wabah penyakit merah:
“1/3 dari populasi benua… lenyap.”
Aku membaca kembali bagian itu dengan suara tercekat.
Aku menuliskan gejala-gejalanya seperti menuliskan penderitaan sendiri:
• Demam tinggi tiga hari.
• Nyeri kepala seolah dipalu dewa kematian.
• Bercak merah—seperti bunga busuk mekar di tubuh.
• Nanah. Luka melepuh.
• Kelumpuhan.
• Dan akhirnya… kematian dalam kelelahan total.
“Seolah tubuhmu ditinggalkan oleh harapan.”
Aku berhenti sejenak. Kututup mataku. Kudengar suara Scarlett… entah nyata atau ilusi.
“Sophie… jangan terluka hanya karena kau mengingat. Aku sudah cukup menanggung rasa sakit itu.”
Tapi aku tidak bisa berhenti menulis. Karena ini bukan hanya sejarah. Ini adalah peringatan.
Aku kembali membuka lembaran sejarah kuno. Di ujung naskah kuno… ada bekas sidik jari berdarah. Tapi itu bukan milikku. Di sana tertulis pesan singkat:
“Penyakit ini belum punah.”
Ia adalah hantu yang mengintai peradaban dari balik pintu yang tidak pernah benar-benar tertutup. Ia bisa kembali… jika manusia kembali bermain dengan dosa.
Aku terus membuka lembaran-lembaran buku kuno. Hingga akhirnya… aku menemukan pengobatannya. Tertulis di naskah kuno. Terlalu jelas. Terlalu lengkap.
Namun tanganku berhenti.
“Jika kutuliskan ini… kekaisaran akan memonopoli penyembuhan.”
“Jika kutuliskan ini… mereka bisa mengubahnya jadi senjata.”
Aku membayangkan para bangsawan itu tersenyum licik, menyebarkan penyakit ke desa-desa sambil menjual ‘penawar’ pada kota yang bersedia tunduk.
Tidak. Aku tidak akan menuliskannya.