Tesis Gelap
POV: Seraphina Stronghold
Cahaya mentari pagi menyelinap melalui kisi jendela kaca patri, memantulkan semburat merah anggur ke sekujur dinding ruang kerja istana. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi halus pena di atas kertas—suara pemerintahan yang tak mengenal ampun.
Di balik meja kerja ukiran besi emas, Ratu Seraphina Stronghold duduk tegak dalam diam. Tubuhnya bagaikan patung perunggu yang tak bisa dibaca, matanya menjelajah satu demi satu dokumen usulan dari para bangsawan. Ia tidak berbicara, tidak berkeluh, tidak mengeluh—hanya memberi tanda.
Disetujui. Ditolak. Abaikan.
Di sampingnya, Catherine, Bendahara Kerajaan, mencatat setiap keputusan dengan teliti, jari-jarinya lincah namun tetap sopan, seperti sedang menari di atas salju yang tidak boleh pecah.
Kemudian, pintu terbuka pelan. Langkah ringan bergema di lantai marmer.
Elsa—pelayan pribadi Sophie yang diasingkan—berjalan dengan gugup, tubuhnya dibungkus seragam hitam-hitam seperti bayangan dari masa lalu. Ia berlutut perlahan, memberi hormat dengan ketepatan aristokratik yang masih ia ingat dari istana lama. Tak ada suara.
Seraphina tidak memandang langsung. Hanya sebuah lirikan tajam ke Catherine. Itu sudah cukup.
Catherine mengangkat kepala. “Apa keperluanmu?”
Elsa menggigit bibir, menunduk lebih dalam. “Ampuni kelancangan hamba… Tapi ini… mengenai Putri Sophie.”
Hening. Tak ada nama yang lebih tabu di ruangan itu.
Elsa melanjutkan, suaranya bergetar seperti angin yang membelai nisan tua. “Putri Sophie… menulis sesuatu. Sebuah… tesis. Ia memintaku menyerahkannya kepada Peneliti Kerajaan. Tapi… hamba… tidak bisa melakukannya begitu saja.”
Tatapan Ratu perlahan berubah. Mata birunya yang dingin kini berkaca-kaca—bukan karena air mata, melainkan karena pecahnya simetri yang telah lama ia jaga. Sophie… gadis yang ia buang… menulis? Meneliti?
Dan mengganggu?
“Berikan,” perintah Seraphina… lewat tatapan pada Catherine.
Catherine menerima dokumen dari Elsa. Lembaran kertas berwarna gading tua, disusun rapi dengan pita merah tua yang sudah lusuh. Ketika Catherine membukanya, dan membaca halaman-halaman pertama, matanya membesar. Ia terdiam. Nafasnya tercekat.
“Tak mungkin…,” gumamnya pelan, setengah tercekat. “Dia… tahu semua ini…?”
“Catherine.”
Satu kata. Suara Seraphina dingin seperti es yang tak mengenal musim.
Catherine segera sadar. Ia menunduk dalam-dalam. “Ampun, Yang Mulia. Hamba… terlalu terkejut.”
Ia menyerahkan dokumen itu ke Ratu.
Seraphina menyentuh dokumen itu seolah menyentuh sesuatu yang tidak boleh ada dalam dunia ini. Ia membuka halaman depan—dan melihat judulnya:
“SEJARAH PENYAKIT MERAH”
oleh Sophie Stronghold
Darah di wajah Seraphina surut. Dia membuka lembaran demi lembaran dengan gerakan halus, namun setiap kata seperti menusuk kulitnya. Data. Catatan kematian. Jutaan manusia mati dalam wabah mematikan di zaman kuno. Kerajaan-kerajaan kuno runtuh satu demi satu.. menyisakan tumpukan mayat yang membusuk di istana emas. Gejala-gejala medis yang dikubur oleh waktu dan keheningan.
Dan di halaman akhir, tulisan tangan Sophie:
“Penyakit Merah belum punah.”
Jantung Ratu berdetak sekali… dua kali… lalu sunyi. Seperti lonceng tua yang sudah lupa caranya berdering.
Perlahan ia meletakkan dokumen itu ke atas meja. Jemarinya tak gemetar. Tapi di balik matanya… badai sedang menunggu waktu untuk turun.
Ia memandang Catherine. Kemudian menatap Elsa.
Catherine menunduk dan bertanya dengan suara hati-hati, “Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?”
Namun Ratu tidak menjawab.
Ia hanya menatap jendela. Di luar sana, langit biru seperti warna mata Ratu namun matanya tidak cerah melainkan menyimpan luka lama yang mulai terbuka.
Dan dalam hatinya yang dingin, keras, namun masih menyimpan potongan masa lalu yang tak pernah pulih, Seraphina mendengar suara lembut gadis kecil berambut biru pucat yang dulu pernah memanggilnya “ibu”.
Ratu Seraphina tidak menjawab. Tapi dalam bisikan batinnya, yang tidak pernah akan ia ucapkan di dunia nyata, ia menjawab:
“Putri kecilku… apa yang sedang kau rencanakan?”
—
Rahasia Gelap
POV: Komandan Archtur
Di tempat lain, saat matahari yang memanasi ibukota Burgh... kebenaran lainnya juga mulai merayap keluar dari liang. Di balik jendela kaca buram yang menghadap ke jalanan basah, kantor kesatria penjaga ibukota nyaris tak bersuara, kecuali oleh suara dokumen yang diselipkan dan hela napas yang dalam.
Arthur, Komandan Penjaga Keamanan Ibukota, duduk dengan kaki bersilang, bahunya rileks namun matanya tak pernah benar-benar tenang. Di dadanya tergantung medali kehormatan yang memantulkan cahaya lembut dari lampu gantung. Di hadapannya, tumpukan dokumen kejahatan yang tampaknya tak bisa ditimbang hanya dengan hukum biasa.
Nama di halaman pertama membuat bibirnya mengernyit: