Makam Malam Bersama Adik Kecil
POV: Yuna
Senja menyelimuti distrik rakyat dengan warna emas kelam, langit bergurat ungu tua seakan menyimpan rahasia hari yang belum usai. Di tengah barisan rumah kayu tua dan jalan berbatu yang basah oleh hujan siang tadi, satu rumah kecil memancarkan cahaya hangat dari jendela kaca bundarnya.
Di dalamnya, aroma ayam panggang, roti mentega, dan kentang rebus membentuk pelukan sunyi yang mengisi ruangan. Lilin-lilin kecil menyala di atas meja makan kayu. Di hadapannya, seorang gadis manis berambut hitam tengah menyusun piring, tangan mungilnya cekatan, bibirnya bersenandung pelan lagu masa kecil yang diajarkan kakak perempuannya.
“Akhirnya selesai,” gumam Yuna sambil menepuk celemeknya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri. “Aku harap… Kak Scarlett segera pulang malam ini.”
Namun, harapan itu tergantung rapuh di udara.
Tok… tok… tok…
Suara pintu depan memecah keheningan.
Langkah Yuna ringan namun penuh harap ketika ia menuju pintu. Ia menarik kenopnya sambil berseru, “Kakak pulang lebih awal ya?”
Namun bukan merah rambut yang menyambut matanya, melainkan pirang pucat yang mengenakan mantel tebal dan mata lelah yang mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Selamat sore, Yuna,” ucap Bella dengan senyum tipis. “Boleh aku masuk?”
Yuna menahan kecewa dengan sopan. “Tentu, Kak Bella. Silakan masuk… kebetulan aku sudah siapkan makan malam. Makan bersama yuk, sambil menunggu Kakak.”
Bella mengangguk. Ia tahu, kebenaran adalah duri yang harus ditancapkan dengan lembut.
Mereka duduk berhadapan di ruang makan yang penuh cahaya kuning lembut dari lampu minyak. Piring disajikan. Uap hangat naik perlahan.
“Silakan dimakan, Kak Bella,” ucap Yuna sembari menyodorkan mangkuk salad dan sepotong ayam panggang.
Bella memandangi gadis kecil di depannya, begitu manis, begitu polos, dan hatinya seolah mencair dalam kehangatan yang sederhana.
“Tak heran… Nona Scarlett selalu memikirkanmu,” gumamnya. “Ternyata adik perempuannya tak hanya manis, tapi juga… hangat.”
Yuna tersenyum kecil, lalu bertanya, “Kak Bella, Kak Scarlett nggak pulang bersamamu?”
Bella terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. “Karena itu aku ke sini. Kakakmu bilang… dia akan pulang lusa. Ada urusan mendesak… dan dia minta maaf padamu.”
Raut Yuna berubah muram. Ia menunduk, menatap cangkir susu hangatnya. “Sudah kuduga… Kak Scarlett selalu titip pesan lewat Kak Bella kalau tidak bisa pulang. Tapi tetap saja rasanya... kosong.”
Hening menyelimuti meja makan. Di luar, angin meniup dedaunan, dan langit mulai ditelan bayangan malam.
Bella memecah keheningan. “Yuna… Kakakmu pasti pulang. Dia tidak pernah berhenti mencintaimu. Dan kalau kau butuh sesuatu, apa pun, bilang saja ke Kak Bella. Bahkan kalau kau tidak bisa tidur malam ini… aku bisa menemanimu.”
Yuna menatapnya dengan mata membulat. “Kak Bella tahu aku suka ketakutan tidur sendiri?”
Bella tersenyum lebar. “Tentu saja. Kak Scarlett selalu membanggakan adik manisnya kepadaku. Dia menyebutmu… 'kebahagiaan terakhir yang tak bisa kubeli dengan emas.'”
Yuna tertawa kecil, pura-pura marah. “Kak Scarlett, dasar pengkhianat! Rahasiaku dibocorin semua!”
Tawa ringan mengalir. Untuk sejenak, rumah itu terasa penuh. Mereka makan malam dalam tawa dan kehangatan, menepis sedikit dingin yang merayap dari luar jendela.
Entah kenapa, malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang ditarik keluar dari dunia, dan tak akan kembali.
Mereka tidak tahu, di saat yang sama, di pinggiran kota Burgh, tepat di distrik merah, langkah-langkah senyap menapaki jalanan berlumpur. Iron Lady memburu pendosa malam itu…
—
Waktunya Berburu…
POV: Iron Lady
Langit barat membakar kota dengan cahaya jingga keemasan terakhirnya. Di distrik merah, malam tak pernah datang perlahan, ia menjatuhkan diri seperti jubah tua, menutupi dosa-dosa yang bahkan siang hari enggan menyentuhnya.
Di depan sebuah rumah malam yang megah namun membusuk dari dalam, berdiri seorang pria seperti tembok.
Eliot. Tubuhnya seperti ukiran batu kasar. Ototnya tertutup mantel kulit gelap, dan lengan kirinya menampakkan tato singa mengaum, lambang keberanian di dunia tanpa belas kasihan.
Darah Eliot pernah mengalir di gang-gang kota bawah. Dia bertahan hidup dari pertarungan, pengkhianatan, dan pengepungan. Ia naik ke level Expert tanpa pelatihan formal, hanya luka dan waktu yang membentuknya. Bagi distrik merah, dia adalah dinding terakhir sebelum kekacauan.