“Malam adalah rumah bagi luka yang disembunyikan.”
Kupu-Kupu Muda
Lampu minyak menggantung di langit-langit rendah, menyebar cahaya kuning remang ke dinding-dinding tua yang pernah dicat emas, namun kini mengelupas seperti ingatan yang dikhianati. Aroma anggur basi, bedak murahan, dan harapan yang mati perlahan merayap di udara. Ini bukan rumah. Ini penjara yang memakai gaun pesta.
Namanya Luna.
Usianya baru 14 tahun.
Dan malam ini adalah malam pertamanya sebagai “Gadis Malam.”
Ia duduk diam di hadapan cermin-cermin besar dengan ukiran mawar layu di sisinya. Wajahnya yang muda, polos, kini ditutupi lapisan riasan mahal. Bibirnya dicat merah seperti luka segar, dan gaun sutera yang menjuntai di bahunya terasa seperti jaring laba-laba yang membungkus tubuh rapuhnya. Begitu mewah… dan begitu salah.
Dia tidak pernah menginginkan ini.
Tidak pernah meminta hidup yang begini.
Tapi… siapa yang mau mendengar suara anak kecil saat dunia lapar?
Beberapa hari lalu, orang tuanya datang padanya sambil menangis.
Katanya, mereka terlilit utang.
Katanya, mereka butuh bantuan… hanya satu malam saja.
Luna menolak.
Tapi air mata berubah jadi paksaan.
Dan paksaan berubah jadi tamparan.
Ayahnya memukulnya dan menyebutnya anak tidak tahu diri.
Ibunya memeluknya sambil memohon, tapi tidak menolong.
Tangannya mencengkeram pergelangan Luna, menyeretnya seperti kambing kurban menuju Rumah Malam.
Dan sekarang, di balik pintu kamar berhias kelambu ungu dan lentera kabut, Luna tahu siapa yang akan menunggu: Bresthon.
Seorang pria berotot besar, dengan wajah yang sebagian hangus oleh luka bakar.
Dia dikenal sebagai pelanggan yang suka mematahkan sesuatu sebelum membayarnya.
Luna memeluk dirinya sendiri.
Dia menjerit… dalam hati.
Tapi dunia luar sunyi.
Bahkan pantulan wajahnya pun enggan menatap balik.
“Kalau orang tuaku sendiri menjualku…
…lalu kepada siapa aku harus mengadu?”
Ketukan pintu memutus lamunannya. Suara lembut namun dingin menyusup dari balik kayu.
“Luna, keluar. Tuan Bresthon sudah menunggumu,”
ujar seorang wanita dewasa, Madam.
Wanita yang tersenyum kepada semua pria dan mencakar semua gadis.
Luna membuka pintu perlahan.
Langkahnya berat, wajahnya mendung.
Madam melihat ekspresi itu… dan murka.
“Wajahmu jelek sekali. Apa kau ingin membuat pelanggan ilfeel?”
“Aku tidak mau… aku tidak mau melayani pelanggan…”
“Keluarkan aku dari sini… aku mohon…”
Madam menampar pipi Luna dengan keras.
Bunyi tamparan menggema seperti cambuk di lorong penyesalan.
“Bocah kurang ajar. Tidak tahu terima kasih.
Aku melunasi utang keluargamu, dan inilah caramu membalas?!”
Luna terdiam. Pipinya berdenyut merah.
Tapi tangisnya tidak pecah.
Karena gadis-gadis seperti dia tidak diberi hak untuk menangis.
Tangis mereka hanya akan jadi musik pengantar untuk kebuasan.
Madam mencengkeram lengannya, menyeretnya melewati koridor gelap.
Langkah mereka menggema dalam lorong merah.
Di ujung lorong itu, sebuah pintu berdiri: Pintu Ruangan Merah.
Di balik pintu itu, bukan cinta.
Bukan kehidupan.
Hanya eksekusi yang lambat atas martabat seorang anak.
Luna menatap pintu itu.
Sekilas, dia seperti melihat sosok kecil bergaun putih berdiri di sana…
…dirinya sendiri, versi masa lalu yang dulu percaya bahwa dunia bisa lembut.
Kini…
dunia menatapnya sebagai barang.
“Jika aku mati malam ini, aku akan menggigit lidahku sebelum dia bisa menyentuhku,” kata Luna dalam keputusasaan.
—
Ruangan Merah
Di sebuah ruangan berdinding kain beludru merah, cahaya lentera menari lemah, melemparkan bayangan bergelombang di dinding yang sudah terlalu lama menyimpan peluh dan desah. Aroma anggur murahan bercampur parfum memabukkan menggantung di udara seperti kabut dosa yang tak pernah diusir.
Pria-pria berjas hitam berperut buncit dan mata liar tertawa keras, memeluk pinggang wanita-wanita cantik yang duduk di pangkuan mereka. Mereka menyesap anggur seolah waktu tak pernah bergerak, seolah dunia luar tidak pernah terbakar oleh perang atau kelaparan. Gelak tawa dan nyanyian palsu mengisi udara, namun jika kau memandang lebih dalam… kau akan menemukan retakan.
Para wanita itu tersenyum, manis dan penuh gairah di wajah, tapi mata mereka…
…mata mereka mati.
Mereka tidak benar-benar hadir di ruangan itu.
Mereka hanya tubuh yang belajar bertahan.
Beberapa dari mereka bahkan berhenti bernapas dengan cara yang normal, seakan paru-paru mereka sudah terlalu lama dicekik oleh harapan yang hancur.
Dan di tengah segala pesta pura-pura itu… duduk seorang pria.
Bresthon.
Setengah wajahnya melepuh, seakan disayat api murka dari masa lalu.