Ratu Legiun: Wanita Besi dan Putri Cahaya Bulan

Eldoria
Chapter #15

Vol 1 Bab 15: Ketika Surga Berubah Menjadi Neraka

Undangan Neraka

Ruangan merah malam itu lebih gelap dari biasanya. Kabut tipis yang tak seharusnya ada menyusup pelan dari sela-sela jendela berjeruji, membawa hawa lembab yang membuat anggur terasa masam dan parfum mahal tercium seperti bangkai bunga yang sudah layu. Di tengah ruangan itu duduk sosok lelaki bertubuh besar, wajahnya separuh melepuh seperti lilin yang pernah mencintai api. Bresthon.

Tiga batang rokok mati tergencet di asbak perak di hadapannya. Ia mendengus kasar. Kesabarannya telah diremuk gelisah dan amarah, ia tidak datang untuk menunggu. Ia datang untuk membakar malam ini dengan nafsu yang dapat menenggelamkan suara nurani.

“Madam!!” raungnya. Suaranya menusuk seperti teriakan singa jantan dalam gua sempit. “Sampai kapan aku harus menunggu?! Bawakan gadis itu sekarang juga sebelum aku membakar tempat ini!”

Sejenak, suasana yang semula gemerlap menjadi sunyi seketika. Pria-pria berjas hitam yang tadinya memeluk bahu wanita-wanita bercelana sutera kini melirik ke arah Bresthon seperti tikus mencium kehadiran ular. Tapi mereka segera pura-pura buta dan tuli. Tak seorang pun cukup bodoh untuk mengusik Bresthon. Bahkan iblis pun mungkin akan memberi jalan.

Pintu kayu gading berderit.

Dari baliknya muncul Madam, tersenyum palsu, menyeret seorang gadis kecil berpakaian merah yang terlalu mewah untuk usianya, namun terlalu menyesakkan untuk martabatnya.

Luna.

Wajahnya kosong, seperti lukisan yang pernah indah tapi kini dilumuri lumpur. Mata orange-nya tidak menatap siapa pun, karena sudah terlalu lelah untuk berharap pada manusia.

“Maafkan keterlambatan kami, Tuan,” kata Madam, menyeringai penuh tipu. “Daging muda ini… masih harus aku didik agar patuh. Tapi dia segar, seperti yang kau suka.”

Tangannya mencengkram pundak Luna. “Cepat, sapa Tuan Bresthon. Layani dia baik-baik. Pastikan dia puas... atau kau tahu akibatnya.”

Luna tidak menjawab. Bahkan tidak bergerak.

Diam.

Seperti patung porselen yang hendak dipecahkan.

Madam mendesis, lalu—Plak!—tamparan keras itu menggema di dinding merah. Hidung Luna mengucurkan darah. Dia jatuh ke lantai dingin, memeluk pipinya, bukan karena sakit, tapi karena dunia kembali menunjukkan bahwa dia bukan siapa-siapa.

“Dasar bocah tengik tidak tahu diri! Aku katakan layani tamu, dasar budak bodoh!”

Tapi kali ini... Luna mengangkat wajahnya. Darah menetes dari bibirnya. Tatapannya menusuk seperti belati tipis, bukan kepada Bresthon, bukan kepada Madam, tapi kepada dunia itu sendiri.

"Bunuh saja aku," katanya dingin, suaranya seperti angin yang melewati makam. "Lebih baik mati daripada menjadi budak kalian."

Tangisnya bukan lagi keluhan, tapi pernyataan kematian harapan.

Bresthon bangkit.

“Cih, cukup dramanya,” gumamnya jijik. “Madam, biar aku yang mengajarinya. Aku tahu cara menjinakkan binatang liar.”

Dia melangkah mendekati Luna. Langkah berat yang menggema seperti lonceng kematian di ruang penghakiman.

Bresthon berjongkok, tangan besarnya yang penuh bekas luka menyentuh dagu Luna.

“Siapa namamu, gadis kecil?” bisiknya, nada suaranya menipu seolah ia bersahabat.

Luna menatapnya. Dalam sekejap, dunia menghilang dari matanya. Ia melihat wajah busuk, dan tanpa ragu—Plakkkk—dia meludah tepat ke wajah Bresthon.

Diam.

Lalu ledakan.

“SIALAN!”

Tinju itu menghantam wajah Luna, menghantarnya ke meja kaca. Botol-botol anggur pecah, anggur merah seperti darah menyelimuti tubuh mungilnya yang kini gemetar. Bresthon berdiri, matanya membara.

“Kau ingin mati?! Aku akan mengirimmu ke neraka malam ini!!”

Tapi sebelum langkah kematian itu menyentuh tanah untuk kedua kalinya…

…ruangan merah bergetar.

Bukan gempa. Tapi sesuatu yang lebih mistik. Garpu, sendok, cangkir perak—semuanya bergetar. Bahkan pedang di pinggang Bresthon ikut bergetar—seolah logam-logam itu mengenali tuannya telah datang.

Suara sepatu hak menyentuh lantai. Lembut. Tapi gaungnya seperti lonceng pengadilan.

Dan kemudian...

“Kau benar-benar busuk... Bresthon.”

Lihat selengkapnya