Penghakiman Madam
Langit malam begitu hitam kelam, seolah-olah dunia pun menahan napas.
Di tengah aula bobrok yang dulunya tempat para lelaki menawar tubuh dan mimpi gadis-gadis muda, kini sunyi mencekam. Hanya suara langkah sepatu logam yang bergema, berat dan tanpa belas kasih. Iron Lady melangkah mendekati Madam, si wanita seksi yang gemetar seperti tikus terkepung.
Angin yang merayap melalui jendela pecah membawa bau lembap darah dan parfum murahan yang gagal menyembunyikan kebusukan. Cahaya redup menyoroti wajah Madam yang mulai membiru ketakutan.
Iron Lady berdiri di hadapannya. Dingin. Tegak. Bagai palu keadilan tanpa ampun.
“Kau... wanita,” suara Iron Lady seperti bilah baja diseret di atas batu. “Bukannya merangkul penderitaan sesamamu, kau justru menjual mereka... seperti susu ternak yang kau perah sampai kering.”
Ia mendekat perlahan.
“Kau bau... busuk, Madam,” katanya, suaranya menembus dinding kebohongan yang selama ini Madam bangun. “Kotoran... lebih berguna daripada dirimu.”
Pletakk.
Air liur menampar wajah Madam. Cairan itu menetes, mengalir melalui keriput ketakutan. Madam membeku, tak mampu bersuara. Matanya terbelalak, tangannya gemetar seperti ranting yang dipukul badai.