Penebusan Eliot
Ruang merah itu telah menjadi altar penebusan dan pembantaian. Bau darah, anggur tumpah, dan parfum murahan bercampur di udara pekat yang nyaris tak bisa dihirup. Mayat-mayat pria berjas hitam berserakan bagai patung-patung neraka yang dihancurkan murka surgawi. Di antara mereka, tubuh Madam tergeletak membeku dengan mata terbuka lebar seakan kematian pun tak cukup untuk menutup aib hidupnya.
Iron Lady berdiri diam di tengah kubangan dosa, diam tak bergerak seperti pilar logam yang menyerap semua tangisan dan ratapan yang tak pernah sempat terucap. Matanya yang dingin menyapu ruangan. Lalu ia melihat mereka: para gadis. Remuk, terdiam, membisu di sudut-sudut ruangan bagai boneka yang kehilangan benang nyawanya.
Gadis-gadis itu bukan hanya korban. Mereka adalah saksi.
Iron Lady tidak bisa pergi. Tidak sekarang. Tidak dengan membiarkan luka-luka itu membusuk sendirian di dalam jiwa mereka.
Lalu pikirannya tertuju pada satu orang, Eliot.
Tubuh lelaki berorot itu masih tergeletak di lantai, setengah tenggelam dalam genangan anggur merah yang kini tak bisa dibedakan dari darah. Nafasnya lemah, matanya tertutup. Ia belum melihat neraka yang baru saja ditinggalkan oleh para iblis.
Iron Lady melangkah pelan, logam sepatunya bergaung sunyi seperti lonceng duka yang jatuh dari langit. Ia menghela napas, membuka tali pinggang logamnya, dan mengeluarkan sebotol kecil eliksir berwarna biru.
Ia menyentuh bibir Eliot dengan jari-jari bersarungnya, lalu menuangkan perlahan isi eliksir itu ke mulut lelaki yang tak sadar. Cairan itu mengalir masuk, dan sesaat kemudian tubuh Eliot tersentak.
Matanya terbuka.
Dan ia melihatnya, pembantaian.
Mayat-mayat. Luka. Gadis-gadis. Rumah Malam yang sunyi, namun bersuara lebih nyaring dari teriakan: suara penghakiman.
Tubuh Eliot gemetar. Ia mencoba berdiri, namun lututnya menyerah pada beban yang tak terlihat.