“Di dunia yang penuh luka, terkadang rumah bukan bangunan—melainkan orang yang duduk di sebelahmu malam itu.”
Kak Bella Menginap
Angin malam menyusup perlahan ke sela-sela papan kayu tua rumah kecil milik keluarga Morwen. Di luar, dunia menahan napas dalam kegelapan yang dipenuhi pelacur, bisikkan pengkhianat, dan keadilan yang berjalan tanpa suara—dengan darah di tumit dan rahasia di mata.
Namun di dalam rumah kecil itu, lentera gantung melemparkan cahaya hangat seperti pelukan ibu yang lama pergi. Aroma sabun cuci piring dan sisa ayam panggang masih menggantung di udara. Suara gemericik dari dapur telah mereda, menyisakan keheningan yang lembut.
Bella, dengan rambut pirangnya digelung seadanya, duduk di sofa berlapis selimut tipis. Di pangkuannya tergeletak sebuah novel romantis dengan sampul menyala merah jambu norak, berjudul “Bos Wanita Bertangan Besi Ternyata Hanyalah Gadis Rapuh.”
Dengan mata berkaca-kaca, ia membaca pelan:
“Cinta hanyalah tipuan manis. Seperti madu yang disajikan di atas belati.”
Satu air mata jatuh, lalu dihapus dengan ujung jari manisnya.
“Tidak heran… Nona Scarlett menolak dipanggil ‘Mrs’.”
Bella memeluk buku itu seolah menggenggam manifesto kesetiaan. Ia menatap kosong ke arah dinding, seperti sedang menyampaikan sumpah dalam bisikan:
“Aku bersumpah, tidak akan memaafkan pria mana pun yang berani menyakiti hatimu, Nona. Jika dunia tidak tahu caranya mencintaimu, maka biar Bella saja yang berdiri bersamamu.”