Rumah yang semula menjadi tempat, yang penuh canda tawa dan kehangatan sebuah keluarga, justru berubah menjadi tempat yang menyeramkan bagi seorang remaja lelaki bernama Karell Van Senna.
Setiap harinya, suara dua orang yang beradu mulut, menggema ke seantero rumah.
Rumah yang tampak mewah dan elegan dari luarnya, berhasil menipu banyak pasang mata.
Di dalam sebuah ruangan, Karell meringkuk di atas kasurnya, berusaha menulikan indra pendengarannya. Tak ingin mendengar adu mulut kedua orang tuanya.
Beberapa bulan terakhir, kedua orang tuanya selalu bertengkar hebat.
"Berapa kali aku katakan, jangan pernah berbisnis dengan temanmu itu! Lihat apa yang terjadi, dia menipumu! Sekarang kita terancam bangkrut!" teriak seorang wanita dengan air mata yang berlinang. Fauren Safira, hanya bisa memijat pangkal hidungnya pelan.
"Terus kenapa jika aku bangkrut? Kau ingin meminta cerai dariku?" balas sang pria, yang tak lain adalah Papanya, David Van Senna.
"Ya. Aku ingin kita bercerai!" pekik Fauren, yang tak lain adalah Mamanya. Membuat mata Karell membelalak seketika, ia tak ingin orang tuanya bercerai.
Di dalam kamarnya, Karell hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya. Mengapa semuanya menjadi kacau seperti ini?
Ia merindukan canda tawa kedua orang tuanya, yang memenuhi rumah ini. Ia rindu menghabiskan waktu bersama Mama dan Papanya.
Namun, setelah Papanya ditipu dan perusahaannya terancam bangkrut, kondisiyan tak lagi sama.
Mama yang sering menghabiskan banyak waktu di luar bersama teman-temannya dan Papa yang selalu memarahi Mama, karena tagihan kartu kredit yang membengkak. Padahal, keuangan perusahaan sedang tidak stabil.
Perlahan, harta benda mereka mulai terjual.
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Karell telah bekerja part time, agar meringankan beban kedua orang tuanya. Namun, sepertinya jalur perceraian tak bisa terelakkan.
"Baiklah Fauren! Jika itu maumu," kata David sambil mengusap wajahnya gusar.
Membuat Karell yang berada di dalam kamar merasa jantungnya mencelos seketika. Ia menyesal, kamarnya tidak kedap suara. Ia benci mendengar hal ini.
Pintu kamarnya diketuk, dengan langkah berat Karell membuka pintu kamarnya. Ia berusaha memasang wajah setenang mungkin. "Ada apa?"
Kedua orang tuanya melempar pandang satu sama lain. David-Papanya menghela napas kasar. "Kamu sudah dewasa Karell, bukan anak kecil lagi. Jadi, tahu mana yang benar dan salah. Kami memutuskan untuk bercerai, karena perbedaan pendapat yang kami alami."
"Oh," balas Karell singkat. Membuat kedua orang tuanya menatapnya. Ingin rasanya meluapkan segala keluh kesahnya.
'Lantas mengapa jika kalian berbeda pendapat? Apakah itu adalah alasan yang kuat untuk kalian bercerai? Mengapa jika aku telah dewasa? Apa itu artinya kalian bebas memutuskan untuk bercerai?' batin Karell, yang sekuat tenaga menahan tangisannya.
"Kamu nggak apa-apa jika kami bercerai?" tanya Fauren-Mamanya sambil menelan saliva kasar.
"Apa tak apa-apa jika kami berpisah? Kamu tidak keberatan?" tanya sang Papa yang menatap sendu ke arah putra semata wayang mereka.
Karell berdeham sejenak. "Jika saya keberatan, apa itu akan mengubah keputusan kalian berdua? Tidak, kan?"
Karell tersenyum miris. "Jika kalian ingin berpisah, silahkan. Mama dan Papa lebih dahulu lahir di dunia ini, daripada saya. Jadi, seharusnya kalian tahu apa yang terbaik untuk kalian berdua. Daripada kalian terus bersandiwara di depan saya, itu lebih menyakitkan. Berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja, namun nyatanya kalian selalu bertengkar."
David dan Fauren memandang tak percaya ke arah putra mereka."Satu yang saya takutkan. Ketika kalian memaksa untuk terus bersama, justru akan semakin menghancurkan satu sama lain. Membuat ikatan suci pernikahan itu, akan semakin ternoda. Membuat janji sehidup semati yang kalian ucapkan pada Tuhan, menjadi tak ada artinya lagi."
Mereka tak menyadari, jika selama ini Karell mengetahui semua masalah mereka. Membuat putra mereka itu memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dari anak seusianya. Di saat para remaja di usianya bermain sepuasnya dengan teman-teman mereka.
Karell justru menghabiskan banyak waktu untuk belajar sendiri dan tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya, cowok itu bekerja part time beberapa bulan terakhir.
Fauren menggigit bibir bawahya, menahan air matanya yang semakin turun mengalir membasahi pipinya. Ia kemudian, meraih pergelangan tangan Karell. Menundukkan kepalanya sambil terus terisak.
"Saya tak akan melakukan hal bodoh seperti kemarin, dengan meminum banyak obat penenang hingga overdosis dan koma selama beberapa hari di rumah sakit," balas Karell sambil tersenyum tipis.
Kedua orang tuanya membuang wajah ke arah lain. Beberapa minggu yang lalu, saking frustasinya akibat kedua orang tuanya yang bertengkar terus menerus, Karell meminum banyak obat penenang hingga overdosis dan koma selama beberapa hari.
Ia kira, orang tuanya akan sadar dan batal bercerai, namun usahanya sia-sia saja. Sepertinya, keputusan itu telah bulat. Ia menyesal melakukan hal tersebut, karena menyakiti dirinya sendiri.
"Karell, baik-baik saja kok, Ma, Pa!" ujar Karell dengan nada setenang mungkin.
"Mungkin, setelah ini kalian akan bertanya, saya akan memilih ikut siapa. Jawabannya, saya tak ingin memilih salah satu dari kalian. Jadi, tolong carikan solusi yang terbaik untuk permintaan saya," ujar Karell kemudian kembali masuk ke kamarnya.
Membuat Fauren dan David saling melempar pandang satu sama lain.
Karell membanting tubuhnya di kasur miliknya, ia mengusap wajahnya gusar. "Ternyata berbohong membutuhkan banyak energi."
Karell memejamkan kelopak matanya. "Tak bisakah kalian mengerti? Jika aku tak baik-baik saja dengan perceraian kalian. Semua yang aku katakan adalah sebuah kebohongan. Tak ada seorang anak yang ingin orang tuanya berpisah. Termasuk aku. Kenapa selalu anak yang menjadi korban dari sebuah perceraian?"
Hari itu, cerahnya langit kota Amsterdam, Ibukota Negara Belanda, berbanding terbalik dengan kondisi Karell dan keluarganya. Hati Karell hancur, rumah tangga orang tuanya retak dan rumahnya memencarkan aura kesuraman.
***
Sementara itu, di belahan bumi yang lain, tepatnya di kota Metropolitan Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Kondisinya beberbanding jauh terbalik.