Alvin menghela napas dalam, sambil mengantre untuk membeli makanan. Setelah selesai, ia membawa nampan miliknya yang berisi segelas es teh dan semangkuk siomay ke sebuah meja. Ia sengaja memilih meja yang berada di sudut.
Alvin menggertakkan giginya, ia sedang tak ingin berurusan dengan Olivia. Mood-nya sedang dalam kondisi buruk. Akhir-akhir ini ia dan Olivia juga semakin terasa jauh. Lebih tepatnya, ia yang menghindari Olivia.
Olivia meletakkan segelas ice americano di meja Alvin, membuat cowok yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu mendongakkan kepalanya.
"Ada apa lagi?" tanya Alvin malas.
"Bukannya kita memang harus bicara? Tentang hubungan kita, apa cuma aku yang merasa kamu berubah? Kamu bukan Alvin yang dulu aku kenal." Olivia menelan salivanya kasar, ia memejamkan matanya.
"Manusia bisa berubah seiring waktu, dengan kondisi yang mulai berubah, tak menutup kemungkinan kalau tanpa sadar aku berubah. Aku minta maaf, aku bukan manusia yang sempurna," kata Alvin sambil mengaduk-aduk bumbu kacang siomay miliknya.
Olivia berusaha menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. "Apa karena Lyra? Jujur, kita memang pacaran, Vin. Tapi, isi kepala kamu selalu dipenuhi oleh Lyra. Untuk apa kita pacaran? Kalau aku nggak bisa menjadi prioritas kamu."
"Kamu duluan yang ngajak aku pacaran, aku terima pernyataan cinta kamu. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik dan menuruti semua permintaan kamu. Berusaha untuk menjadi pacar yang baik. Kenapa aku selalu kurang di mata kamu?" Alvin menatap Olivia, dengan wajah yang terlihat sangat kacau.
Olivia mengeratkan cengkramannya pada meja, ia memang yang duluan menyatakan cinta pada Alvin. Dan Alvin menerima ajakan pacaran tersebut.
Tangan seseorang meletakkan sebungkus es krim di meja, membuat Olivia dan Alvin serentak menatap ke sosok tersebut.
"Sepertinya lo lagi badmood, makan es krim bisa mengembalikan mood. Anggap aja sebagai traktiran, karena gue udah jadian sama Lyra. Karena, lo adalah sahabat baik Lyra. Itu artinya, gue juga sahabat lo," kata Karell sambil tersenyum.
Alvin tertawa canggung, sambil menatap es krim pemberian Karell. Raut wajahnya berubah menjadi dingin. "Gue bukan sahabat lo."
Alvin melempar es krim tersebut dan tepat mengenai pipi Karell. Ia tahu, jika Karell sedang memancing emosinya.
Karell memunguti kembali es krim tersebut. "Padahal gue berniat baik."
"Munafik!" teriak Alvin yang tak sanggup lagi menahan amarahnya, satu tonjokkan berhasil mengenai rahang Karell. Membuat cowok itu tersungkur ke lantai. Sontak, keduanya langsung menjadi tontonan banyak orang.
Karell menyeka darah segar yang mengalir dari ujung bibirnya, ia menyeringai menatap Alvin. "Kenapa lo marah, hah? Lo nggak senang gue jadian sama Lyra?"
Alvin langsung menarik kerah baju Karell dan mencengkramnya erat. "Shit!"
Karell tak mau kalah, tangannya yang bebas, ia gunakan untuk menarik rambut Alvin, membuat cowok itu meringis kesakitan. Alvin yang lengah, terkejut saat Karell melayangkan sebuah tendangan ke perutnya, lalu memukul pipi Alvin.
Kemudian, Karell mengunci tangan Alvin. "Gue nggak ingin menyakiti sahabat terbaik Lyra, pacar gue. Tapi, bukan berarti gue hanya akan diam, saat lo memukul gue."
Alvin berontak dan berhasil melayangkan sebuah pukulan lagi, ke perut Karell. Karelll memegang perutnya yang terasa sakit.
"ALVIN! STOP!" teriak Lyra yang baru saja memasuki Kantin, langsung membelalakkan matanya. Saat melihat Karell tersungkur di lantai dan Alvin menginjak tubuh Karell.
"Lo gila, hah?!" pekik Lyra sambil mendorong tubuh tegap Alvin.
Alvin terkejut, saat Lyra menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan. Untuk pertama kalinya sejak kecil, ia mendapatkan tatapan seperti itu dari Lyra.
Lyra langsung mengulurkan tangannya dan membantu Karell berdiri.
Cowok itu menerima uluran tangan Lyra sambil menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.
Lyra langsung spontan memegangi pipi Karell yang mulai terlihat lebam, akibat pukulan yang dilayangkan Alvin padanya.
"Sakit, ya, Rel? Ayo kita ke UKS!" Lyra langsung menarik tangan Karell menjauhi kerumunan banyak orang. Membuat seorang Alvin membeku di tempatnya. Ia menendang meja yang berada di dekatnya.
Rasa bersalah menyelimuti dirinya, andai Lyra tahu alasan ia kesal terhadap sosok Karell.
Olivia langsung menarik tangan Alvin, keluar dari Kantin. Alvin hanya bisa pasrah.
"Ouch," ringis Karell saat Lyra mengompres lebam yang berada di pipinya. Kini, keduanya sedang berada di UKS. Dokter Nisya hanya bisa tersenyum penuh arti, saat melihat Lyra mengobati sendiri memar di wajah Karell.
"Udah tahu sakit, ngapain berantem sama Alvin segala, sih?" kata Lyra dengan nada pelan, takut Kak Nisya mendengar perbincangannya dengan Karell.
Bagaimana pun, Dokter Nisya, yang ia kerap panggil Kak Nisya adalah sepupu Alvin.
"Dia cemburu sama gue. Karena, kita berdua pacaran," jawab Karell sambil menatap wajah Lyra. Wajah mereka yang tak cukup dekat, membuat Karell bisa mengamati wajah Lyra.
Memang benar, wajah Lyra sangat cantik. Hanya menggunakan riasan yang tipis dan natural saja, wajah gadis itu sudah sangat menawan.
"Jangan ngaco, deh, lo!" kata Lyra sambil berusaha menahan semburat merah di pipinya, ditatap sosok Karell dari dekat, berhasil membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Lyra tak berani menatap wajah Karell, ia mengobati sambil membuang wajah ke arah lain.
"Lo nggak niat ngobatin luka gue? Kalau ngobatin, tuh, yang dilihat wajah gue. Memangnya ada yang lebih menarik dari wajah tampan gue?" Karell tersenyum simpul, ia suka saat Lyra terlihat gugup dan salah tingkah saat ia tatap dari dekat.
Untuk mencairkan suasana, Lyra tertawa pelan. "Wah, tingkat percaya lo udah semakin tinggi, ya. Tapi, lo memang tampan."
"Tapi, gue serius, Alvin memang cemburu. Dia bahkan, sampai pindah tempat duduk dan nggak mau duduk sama gue. Pasti, karena berita kita yang berpacaran." Karell meringis pelan saat memegangi rahangnya.
"Awalnya kalian bisa berantem, gimana?" tanya Lyra yang penasaran.
"Gue cuma mau memastikan respon dia. Padahal, gue cuma kasih es krim, gue bilang sebagai traktiran karena gue jadian sama lo. Gue juga bilang, kalau sahabat lo adalah sahabat gue juga," terang Karell sambil menyeringai.
"Padahal, Alvin bukan orang yang gampang marah atau berantem." Lyra termenung sejenak.
Apa benar Alvin cemburu karena Karell dan Lyra berpacaran?
"Kenapa lo mau mengobati luka gue?" tanya Karell, membuat Lyra kembali ke dunia nyata.
"Karena lo pacar gue," jawab Lyra dengan cepat, membuat Karell menatapnya.
"Maksud gue, walaupun kita cuma pacaran kontrak, selama kita pacaran, gue akan membantu lo saat terluka. Gue akan coba menenangkan dan mengurangi beban lo. Lo bisa menjadikan gue sebagai tempat untuk bercerita," lanjut Lyra sambil menggigit bibir bawahnya. Ia sungguh tulus mengatakan hal tersebut.
Karell mengangguk pelan. "Mari bertindak seperti orang yang saling mencintai dan pasangan yang sempurna, hingga waktunya untuk kita berpisah tiba."
"Hmm ..." Lyra membalasnya dengan gumaman singkat.
"Suatu saat hubungan ini pasti berakhir, tapi sebelum itu berakhir, gue akan menjadi pacar yang bisa lo andalkan. Gue juga nggak akan segan untuk meminta bantuan lo," balas Lyra sambil tertawa pelan.
Mengapa rasanya, Lyra tak ingin hubungan dengan Karell berakhir?
Seolah ia tak ingin membayangkannya.