Alfa hanya bisa menundukkan kepalanya di depan ruang UGD, di dalam sana, seorang gadis bernama Valen sedang berjuang melawan masa kritisnya.
Berjuang antara hidup dan matinya.
Ia mengangkat wajahnya, saat mendengar suara langkah kaki mendekat, ternyata sepasang suami istri dan seorang cowok yang terlihat masih muda datang.
Sepertinya mereka adalah orang tua Valen dan entahlah siapa sosok cowok, yang sepertinya berusia di pertengahan dua puluh.
"Kamu temannya Valen? Bagaimana keadaannya?" tanya wanita yang seumuran dengan Mamanya.
"Dokter sedang menangani Valen di dalam," jawab Alfa dengan raut wajah yang ikut sedih.
"Apa anda adalah orang tuanya Valen?" tanya Dokter Nisya, yang baru kembali membeli sesuatu dari Minimarket.
Sepasang suami istri itu mengangguk, kemudian mengikuti langkah Dokter Nisya. Dokter Nisya akan menjelaskan keadaan Valen dan bagaimana kondisi saat gadis itu ditemukan.
Alfa merasa sangat khawatir terhadap kondisi Valen, ia justru teringat dengan Lyra. Adik kembarnya itu pasti terkejut dan tak kalah syok dengan kejadian ini.
Lyra sampai di depan UGD dengan tangan tangan gemetar, ia menatap Alfa dengan tatapan sendu. "Apa yang terjadi dengan Valen? Kenapa dia sampai masuk UGD? Kondisinya nggak parah, kan?!"
"Kak Alfa! Jawab gue!" bentak Lyra yang pikirannya telah kacau, ia bahkan mencengkram kerah seragam Alfa. Ia ingin tahu kondisi sahabatnya secepatnya.
"Tenang dulu, Ra!" Alvin berusaha menenangkan gadis itu. Setelah itu, Alfa menjelaskan kondisi saat Klub Olimpiade menemukan Valen yang tergeletak dengan kondisi mengenaskan di lantai.
Lyra menutup mulutnya tak percaya, air matanya perlahan turun membasahi pipinya. Saat Alvin hendak merangkul tubuh gadis itu, suara seseorang mengiterupsi.
"Lyra," panggil Karell sambil berlari kecil menghampiri gadis itu.
"Kenapa lo bisa tahu kita di sini?" Alvin langsung melemparkan pertanyaan dengan nada sarkastik.
"Gue tadi lihat kalian pergi buru-buru, jadi gue ikutin mobil lo," jawab Karell jujur.
Lyra menatap Karell dengan bola mata yang dilapisi cairan bening, perlahan gadis cantik itu melangkah menghampiri Karell.
Karell terkejut, saat Lyra meletakkan dahinya di dada bidangnya. Perlahan, tangis gadis itu semakin pecah. Tangan Karell langsung merangkul Lyra ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu membenamkan wajahnya di dadanya.
"Valen ..." gumam Lyra pelan sambil terus terisak.
"Lo boleh nangis sekencang-kencangnya, lampiaskan segala emosi lo sekarang. Dengan begitu lo akan lega," sahut Karell ambil mengelus rambut Lyra. Ini pertama kalinya, Karell melihat Lyra terlihat rapuh dan menangis seperti ini.
Bukan Lyra, gadis yang biasanya dipenuhi rasa percaya diri.
Alvin langsung melengos pergi, mencari udara segar di taman Rumah Sakit. Ia tak sanggup, melihat pemandangan yang berada di depannya. Hatinya seolah tercabik-cabik.
Dokter keluar, membuat semua orang merapat.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Papa Valen dengan nada mendesak.
"Pasien banyak kehilangan darah. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, namun Rumah Sakit kekurangan stok darah AB negatif. Apa di antara Bapak dan Ibu ada yang memiliki golongan yang sama dengan pasien?"
"Saya Mamanya Valen, golongan saya sama dengan putri saya, Dok. Sementara Papanya Valen memiliki golongan darah yang sama dengan Abangnya Valen," kata Mama Valen sambil menyeka air matanya.
"Tapi, Mama kemarin habis mengalami anemia," sahut Papanya Valen sambil memegang pundak istrinya.
Alfa langsung mengangkat tangannya. "Golongan darah saya, AB negatif. Apa saya bisa menjadi pendonor bagi Valen?"
Semua serempak menoleh ke arah Alfa. Dokter tersenyum. "Sus, tolong periksa, apakah golongan darahnya cocok dengan Valen."
Alfa langsung mengikuti suster, untuk dilakukan prosedur pemeriksaan. Semuanya berharap hasil bagus dari Alfa dan Valen bisa pulih.
Lyra melihat Mamanya Valen yang terlihat sangat kacau sama sepertinya, ia langsung memeluk Mamanya Valen. Ia sudah lama mengenal keluarga Valen. "Tante."
Mamanya Valen langsung memeluk Lyra, ia sudah menganggap Rania dan Lyra seperti putrinya juga. Kedua wanita itu menangis sambil menguatkan satu sama lain.
Rania yang baru datang setelah ditelepon oleh Lyra, juga langsung menangis dan menghambur ikut berpelukan.
Papanya Valen menepuk pundak ketiganya. "Valen anak yang kuat, dia pasti bisa cepat sembuh."
"Benar Om, di antara kami bertiga, Valen yang paling banyak makannya. Nasi sebakul juga nggak bakal cukup buat dia, tapi badannya tetap langsing," celetuk Lyra sambil mengusak hidungnya yang merah.
"Gue rasa, dia harus jadi youtuber mukbang," sahut Rania sambil menyeka air matanya.
Semua yang mendengar gadis itu terkekeh pelan, berharap ada kabar gembira dari sosok Valen yang sedang berjuang melawan kondisi kritisnya.
Karell memandang Lyra, kali ini ia bisa melihat sisi lain dari seorang Lyra. Ternyata, gadis yang selama ini ia anggap sombong dan selalu seenaknya, juga hanya manusia biasa yang bisa bersedih.
Sepanjang berada di Rumah Sakit, Karell terus berada di samping Lyra. Bahkan, tangannya tak lepas dari pundak gadis itu, senantiasa menguatkan gadis itu.
Lyra tersenyum tulus saat menatap Karell. "Thanks, Rel."
"Untuk apa berterima kasih sama gue? Bukannya itu adalah tugas seorang pacar? Seorang pacar harus menenangkan dan berada di samping pacarnya di dalam kondisi apa pun. Gue hanya melakukan tugas sebagai pacarnya, Alyra Arunika," balas Karell sambil tersenyum hangat dan menepuk pelan puncak kepala Lyra.
Lyra merasakan pipi dan hatinya menghangat, bagaimana bis Karell memporak-porandakan perasaannya dalam sekejap?
"Terima kasih, pacarnya Lyra," sahut Lyra.
Lyra kembali menunduk, menatap ujung sepatunya. "Valen akan baik-baik saja, kan?"
Karell mengangguk pelan. "Valen punya keluarga dan sahabat yang mencintai dan menyayanginya. Dia akan segera sembuh."