Sore hari yang seharusnya menjadi waktu bersantai bagi Lyra, kini justru membuatnya terjebak dan harus menghabiskan waktu bersama Karell.
Kini, keduanya berada di perpustakaan Ayah Aaron.
Ruangan Perpustakaan-nya cukup lebar, Lyra menutup mulutnya, ia menguap karena mengantuk.
Melihat deretan buku-buku yang tersusun rapi di rak, membuat dirinya semakin mengantuk.
Ia menunggu Karell kembali dari kamarnya, mengambil beberapa keperluan belajar.
Lyra menangkupkan kepalanya di atas meja. Ia memekik pelan, saat Karell kembali dan membawa beberapa buku.
"Sebanyak itu buku yang harus gue pelajari untuk mendapat peringkat?!"
"Ini belum ada apa-apanya. Lo harus belajar lebih keras! Kalau mau masuk ke jajaran lima puluh besar peringkat se-jurusan!" jawab Karell santai.
Lyra menutup mulutnya sambil menggelengkan kepalanya. "Gue mendadak mual melihat tumpukan buku itu."
Karell menyentil dahi Lyra, membuat gadis itu berpura-pura kesakitan. "Jangan banyak drama!"
Karell mulai membuka salah satu buku paket. "Lo peringkat berapa sebelumnya?"
"Peringkat tiga puluh di kelas dan peringkat seratus delapan puluh se-jurusan," sahut Lyra dengan wajah polosnya yang berhasil membuat Karell menatapnya.
"What?! Lo peringkat terakhir di kelas lo, sekaligus peringkat terakhir se-jurusan 11 IPA?!" pekik Karell tak percaya.
Jumlah siswa dan siswi per-kelas di SMA Permata, berjumlah tiga puluh siswa.
Sedangkan ada enam kelas jurusan 11 IPA, jadi totalnya ada seratus delapan puluh siswa jurusan 11 IPA.
Dan Lyra menyabet gelar peringkat terahir di kelas dan jurusan.
Karell menepuk dahinya beberapa kali.
"Biasa, aja dong! Lo pikir gue secerdas Stella?!" sewot Lyra.
"Gue tahu lo memang bodoh di akademik, tapi gue nggak menyangka seburuk itu!" gemas Karell pada gadis yang terlihat tanpa beban.
"Dengar, ya! Gue, kan kembaran Alfa dan kami saling melengkapi. Alfa peringkat satu sejurusan 11 IPA dan gue peringkat terakhirnya," ujar Lyra yang memberi pembelaan.
Karell terdiam sejenak. "Apa yang lo pelajari selama ini di sekolah?"
"Cara melompat pagar, membolos dan menikmati masa remaja!"
Karell yang terlalu syok, membenturkan pelan kepalanya ke meja. "Kenapa ada orang sesantai lo?!"
"Keluarkan semua buku catatan, buku paket, hasil ulangan dan nilai raport lo! Mau gue periksa, agar bisa merancang strategi pembelajaran buat lo!" perintah Karell.
Lyra segera melaksanakannya, ia mengeluarkan semua yang diperintahkan Karell.
Lagi-lagi, Karell dibuat syok saat melihat buku catatan Lyra, yang kebanyakan bersih dan tak bernoda. Ada sebagian yang hanya ditulis satu atau dua lembar dengan tulisan yang acak-acakan.
Hal yang sama terjadi pada buku paket Lyra, bahkan harum semerbak khas buku masih tercium dan sampulnya masih sangat mulus. Terlihat jelas, buku tersebut jarang dibuka atau lebih parahnya sama sekali tak pernah dibuka.
Karell bahkan harus meminum obat sakit kepala, setelah melihat nilai ujian Lyra. Yang sangat memprihatinkan dan miris.
Belum reda sakit kepala Karell, ia kembali dibuat syok saat melihat catatan absensi Lyra. Gadis itu banyak sekali absensi tanpa keterangan. "Seberapa sering lo bolos, sebelum gue pindah ke sini?!"
"Tiga kali dalam seminggu, bisa lebih. Di hari gue masuk sekolah pun, gue sering membolos pelajaran!" timpal Lyra membuat Karell tertawa pelan.
Menertawakan dirinya, yang memiliki harapan untuk merubah Lyra. Ia tadinya, sebelum melihat nilai gadis itu, masih memiliki 40% harapan mengubah nilai Lyra.
Namun, realitanya membuat angka harapannya menurun menjadi 5%. Kali ini, Karell mempertanyakan dirinya, apakah mampu membuat Lyra berubah?
"Sangat tidak patut untuk ditiru di kehidupan!" decak Karell. Ia tak bisa membayangkan, jika ada banyak anak yang malas belajar seperti Lyra.
Karell termenung sambil menatap Lyra, membuat pipi gadis itu memerah. "Jangan lihatin gue, kayak gitu, dong! Gue jadi malu."
"Seharusnya lo malu sama nilai-nilai pelajaran lo!" sembur Karell, membuat Lyra memanyunkan bibirnya.
Lyra melipat kedua tangannya di depan dada, sambil menaikkan dagunya. "Lo bisa lihat nilai Penjaskes sama Bahasa Inggris gue. Hampir sempurna."
Di antara semua pelajaran, Lyra memang memiliki nilai bagus di dua mata pelajaran tersebut. Namun, sisanya anjlok.
"Lo pikir bagus di dunia mata pelajaran itu, doang cukup? Seenggaknya, yang lain nggak terlalu anjlok! Alangkah lebih baik, ika jkita bisa memahami semua pelajaran. Karena, semuanya penting untuk berbagai aspek kehidupan," tutur Karell dengan kalimat bijaksananya.
"Apa yang lo lakukan selama membolos?"
Lyra berpikir sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Darren. "Shopping, ke salon, melakukan hal yang menyenangkan dan menjadi peri."
"Peri?"
"Karena cantik dan baik hati, gue dijuluki sebagai peri!" pamer Lyra yang membanggakan dirinya.
Karell memukul meja dengan cukup keras, membuat Lyra melotot seketika.
"Yang sudah berlalu biarlah. Sekarang, kita harus memperbaiki masa depan lo! Gue akan membantu lo!" seru Karell dengan semangat yang membara, ia benar-benar ingin membantu memperbaiki nilai Lyra.
Lyra mengibaskan rambutnya, kemudian mengepalkan tangannya di udara. "Terima kasih, Karell. Fighting!"
Karell memulai dari pelajaran Matematika, yang langsung membuat Lyra tidak bersemangat. Saat menjelaskan, ia justru fokus ke wajah tampan Karell, bukannya pada materi yang dijelaskan cowok itu.
"Tuhan terlalu baik sama lo, hidup lo sempurna," celetuk Lyra, membuat Karell tersedak ludahnya sendiri.
"Nggak ada manusia yang hidupnya sempurna, mungkin seseorang terlihat baik-baik saja dari luar. Siapa yang tahu, kalau hatinya hancur berkeping-keping," balas Karell membuat Lyra menopang dagunya.
"Apa lo juga seperti itu? Berpura-pura tegar padahal rapuh?"
"Bukan urusan lo!" sela Karell.