Sesosok gadis manis yang terlihat sangat rapuh, memandang kosong pada layar televisi yang menampilkan berita yang beberapa hari ini memenuhi layar kaca.
Berita bom bunuh diri, yang berhasil merenggut nyawa orang yang paling ia cintai.
Hatinya semakin teriris, saat melihat nama Karell yang tertera di daftar nama korban jiwa.
Suara ledakan bom tersebut kembali berputar di kepalanya, Lyra hanya bisa berteriak frustasi.
Semuanya terlalu cepat, hingga terasa seperti mimpi baginya.
Namun, ketidakhadiran cowok it, saat ia membuka balkon kamarnya, memperjelas segalanya. Bahwa, Karell benar-benar pergi meninggalkannya.
Lyra melemparkan remote pada televisinya, membuat layar televisinya pecah.
"Nggak! Nggak mungkin Karell meninggal!" raung Lyra yang akan membuat siapapun ikut bersedih, mendengar tangisan pilu yang menyayat hati.
Wajah yang biasanya terlihat cerah dengan sapuan make-up, kini terlihat sangat pucat.
Bibir yang seindah kelopak mawar, berubah menjadi pucat.
Air matanya hampir kering, karena beberapa hari ini tak berhenti keluar.
Membuka mata dan bernapas, seolah menjadi hal terberat bagi Lyra.
Baru sebentar ia merasakan kebahagiaan dengan Karell.
Namun, kini cowok itu benar-benar meninggalkannya untuk selamanya.
Raga yang tak bisa disentuh lagi.
Mata yang tak bisa untuk ditatap lagi.
Dan senyum yang tak akan pernah terbit lagi.
Hanya kenangan manis bersama Karell, yang bisa Lyra simpan selamanya.
Mengapa takdir tak bisa menyatukan ia dan Karell?
Lyra melihat sebotol obat tidur yang terletak di nakasnya.
Tangannya terulur untuk mengambil botol tersebut. Obat tersebut, telah menjadi temannya selama beberapa hari ini.
Ia memilih untuk tertidur, daripada menghadapi fakta menyakitkan jika Karell telah pergi selamanya. Berharap, jika ia akan bertemu cowok itu, walau hanya di dalam mimpi.
Lyra mendecak pelan, saat botol obat tidur itu terlepas dari tangannya.
"Kenapa nggak ada yang berjalan lancar dalam hidup gue?!" jerit Lyra sambil terus sesegukan. Ia menjambak rambutnya frustasi.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan wajah panik Alvin dan Alfa.
Alvin langsung memeluk erat tubuh Lyra, mengelus puncak kepala gadis itu. "Jangan kayak gini terus, Ra! Jangan terus menyakiti diri lo sendiri!"
Alfa menahan tangisnya, kemudian memunguti botol obat tidur milik Lyra. Ia kemudian menyimpannya ke dalam saku celananya.
Hati kedua cowok itu hancur, saat melihat Lyra yang tak berdaya seperti ini.
Tak ada Lyra yang cerah, humoris dan penuh percaya diri.
Melainkan, sosok gadis yang terluka dan rapuh.
Alvin membiarkan Lyra menangis dalam pelukannya. "Ikhlasin Karell, okay? Gue tahu ini memang berat untuk lo, berat untuk kita semua. Tapi, jangan terus-menerus menyakiti diri lo sendiri!"
"Karell nggak akan pernah pergi jauh, dia akan selalu hidup di dalam kenangan dan juga hati lo. Gue yakin, dia akan terus menjaga dan mengawasi lo dari atas sana. Dia nggak mau lihat lo bersedih kayak gini. Dia pasti bakalan lebih sedih, kalau lihat lo yang sedih, gini!" kata Alvin sambil memejamkan matanya.
Tentu, bukan hanya Lyra yang merasa kehilangan sosok Karell. Semua orang, termasuk keluarga Lyra, keluarga Alvin apalagi Bunda Kanya dan Ayah Aaron.
Bunda Kanya bahkan kekurangan tidur beberapa hari ini, semua orang begitu terpukul.
"Kalau dia nggak mau gue sedih, seharusnya Karell nggak pernah meninggalkan gue, Vin!" raung Lyra dengan suaranya yang parau.
Alvin menggigit bibir bawahny, saat merasakan jika tubuh Lyra semakin kurus.
Gadis itu kehilangan nafsu makannya dan hanya menghabiskan waktu dengan tertidur. Lebih tepatnya, memaksakan diri untuk tertidur.
"Kenapa dia harus pergi!" jerit Lyra yang membuat Alfa membuang wajah ke arah lain.
Hatinya juga hancur, apalagi saat melihat Lyra yang tersiksa seperti ini.
Bunda Kanya memasuki kamar Lyra, kemudian memeluk tubuh Lyra. Kantung mata terlihat jelas di wajah Bunda Kanya.
Matanya memerah akibat menangis beberapa hari ini.
"Bunda tahu, kalau Lyra merasa sangat hancur, frustasi dan menganggap dunia ini sangatlah kejam. Tapi, Lyra harus percaya, kalau Karell nggak pernah meninggalkan kita. Dia akan selalu ada dan menjaga kita semua. Bukan hanya Lyra yang kehilangan Karell, tapi kita semuanya," ujar Bunda Kanya sambil menahan tangisnya.
Ia berusaha menguatkan Lyra, walaupun ia juga merasa sangat hancur.
Karell sudah ia anggap seperti putranya sendiri.
Lyra menyeka air matanya, kemudian mendongak menatap Alvin, Alfa dan Bunda Kanya. Penampilan mereka juga tak kalah kacau darinya.
Kantung mata dan mata yang sembab, menunjukkan kesedihan mereka.
Ia menoleh ke pintu dan mendapati seluruh anggota keluarganya berdiri, sambil menyeka air mata mereka.
Seketika, Lyra merasa menjadi orang yang paling egois.