Ini ilustrasi untuk Bab 1: Kudeta Berdarah—menampilkan Aurelia yang bersembunyi di hutan saat dikejar oleh pasukan Elang Hitam.
Bab 1: Kudeta Berdarah
Bagian 1: Malam Penobatan yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk
Di dalam aula besar Istana Velmoria, ribuan lilin menyala di sepanjang dinding marmer yang berkilau. Para bangsawan berdiri berjajar, mengenakan jubah sutra dan perhiasan berkilauan, menyaksikan dengan mata penuh harap dan kcemasan. Malam ini, Putri Aurelia Velmora akan dinobatkan sebagai ratu, melanjutkan garis keturunan yang telah memerintah selama berabad-abad.
Di ujung aula, Takhta Emas Velmoria berdiri megah, dihiasi ukiran naga berkepala dua—simbol kekuasaan tertinggi kerajaan. Di hadapan takhta itu, Pendeta Agung Velmoria berdiri dengan kitab suci di tangannya, siap mengucapkan sumpah sakral.
Aurelia berdiri dengan punggung tegak, mengenakan gaun biru gelap dengan bordiran emas. Rambut panjangnya yang hitam kebiruan disanggul rapi, memperlihatkan wajahnya yang tegas namun anggun. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya.
Namun, di balik senyuman para tamu, ada bisikan-bisikan gelap.
Di antara barisan bangsawan, Adrian Velmora, adik mendiang raja, berdiri dengan wajah tenang. Matanya yang tajam menatap takhta dengan penuh arti. Dia mengenakan jubah hitam dengan sulaman perak, sebuah lambang yang jarang dipakai oleh anggota keluarga kerajaan dalam acara resmi.
Saat pendeta mulai mengangkat tangannya untuk memberkati Aurelia, terdengar suara keras—suara pedang yang dicabut dari sarungnya.
Seketika, aula berubah menjadi kekacauan.
Pintu gerbang istana terbuka dengan paksa. Puluhan prajurit bersenjata lengkap menyerbu masuk, membawa panji yang berbeda—bukan lambang naga berkepala dua milik Velmoria, tetapi simbol Elang Hitam, pasukan pribadi milik Adrian.
Aurelia tersentak.
“Kudeta…” bisik seorang bangsawan dengan suara bergetar.
Sebelum ada yang bisa bereaksi, Adrian melangkah ke depan, mengangkat tangannya, dan berkata dengan suara lantang, “Ratu sejati telah mati! Kerajaan ini tidak membutuhkan seorang gadis lemah di takhta!”
Lalu, darah pun mulai tertumpah.
Bab 1: Kudeta Berdarah
Bagian 2: Pengkhianatan dalam Istana
Teriakan panik memenuhi aula besar. Para bangsawan berlarian mencari perlindungan, sementara para prajurit Elang Hitam mengayunkan pedang mereka tanpa ampun.
Aurelia terhuyung mundur, matanya membelalak saat melihat pengawal kerajaan yang seharusnya melindunginya justru berbalik melawan rakyatnya sendiri. Pedang mereka berkilat di bawah cahaya lilin, menebas siapa saja yang menolak tunduk.
Pendeta Agung, yang masih menggenggam kitab sucinya, mencoba melangkah maju. “Ini penghinaan terhadap takhta suci Velmoria! Adrian, kau tak berhak—”
Sebelum kata-kata itu selesai, sebilah belati melesat dan menancap tepat di dadanya. Sang pendeta terjatuh ke lantai, darah mengalir membasahi halaman kitab sucinya.
Aurelia terperangah.
“Paman… bagaimana bisa kau mengkhianati darahmu sendiri?” suaranya bergetar, lebih karena kemarahan daripada ketakutan.
Adrian tersenyum tipis, melangkah mendekat dengan langkah santai, seolah kekacauan yang terjadi hanyalah sebuah pertunjukan. “Kau terlalu naif, Aurelia. Takhta bukan warisan… takhta adalah kekuatan. Dan aku tidak akan membiarkan seorang gadis tanpa pengalaman memerintah kerajaan ini.”
“Rakyat akan menolakmu!” Aurelia berusaha mempertahankan keberaniannya.
Adrian terkekeh. “Rakyat hanya mengikuti siapa yang paling kuat.” Dia menoleh ke prajuritnya. “Tangkap dia.”
Dua prajurit Elang Hitam segera melangkah maju. Aurelia bersiap melawan, tapi sebelum ia bisa bergerak, seseorang menarik tangannya.
Darian Eryndor, salah satu kapten pengawal kerajaan, berdiri di sampingnya. Mata birunya penuh ketegangan. “Kita harus pergi, sekarang!”
“Tapi—”
“Takhta bisa direbut kembali, tapi nyawamu tidak,” Darian berbisik tegas.
Aurelia menggigit bibirnya, hatinya terbakar amarah. Tapi dia tahu, saat ini dia kalah jumlah. Jika dia tetap di sini, dia hanya akan mati sia-sia.
Dengan berat hati, dia membiarkan Darian menariknya menuju lorong belakang, meninggalkan istana yang telah menjadi lautan darah.
Bab 1: Kudeta Berdarah
Bagian 3: Pelarian Sang Pewaris
Darian menarik tangan Aurelia dengan paksa, membawanya menyusuri lorong-lorong sempit di bagian belakang istana. Langkah kaki mereka bergema di antara dinding batu yang dingin, sementara suara pertempuran masih terdengar dari aula utama.
Aurelia merasa dadanya sesak. Ini adalah rumahnya. Tempat di mana dia tumbuh, tempat di mana dia seharusnya dinobatkan sebagai ratu. Tapi kini, istana itu telah menjadi medan pembantaian.
“Kita harus mencapai gerbang selatan,” bisik Darian. “Ada jalan rahasia yang bisa membawa kita keluar.”
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari ujung lorong.
“Cari dia! Jangan biarkan dia melarikan diri!”
Aurelia menahan napas. Tiga prajurit Elang Hitam muncul dari tikungan, mata mereka langsung tertuju pada sosoknya.
“Sang pewaris masih hidup! Tangkap dia!” salah satu dari mereka berteriak.
Darian langsung bergerak. Dengan satu gerakan cepat, dia mencabut pedangnya dan menangkis serangan pertama. Suara logam beradu menggema di lorong sempit.
“Aurelia, lari!” teriaknya.
Tapi Aurelia tidak bisa hanya berdiri diam. Tangannya meraba pinggangnya, mencari belati kecil yang selalu dia bawa. Saat salah satu prajurit menyerang Darian dari samping, Aurelia menancapkan belatinya ke lengan prajurit itu.
Lelaki itu menggeram, terhuyung mundur. Darian memanfaatkan kesempatan itu untuk menebas lawannya, darah memercik ke dinding.
Tapi mereka tidak bisa bertahan lama. Prajurit lain pasti sudah mendengar suara pertempuran ini.
“Cepat, ikut aku!” Darian menarik Aurelia sekali lagi, berlari menuju pintu tersembunyi di ujung lorong.
Dengan dorongan kuat, pintu batu itu terbuka, memperlihatkan tangga sempit yang turun ke bawah tanah. Mereka bergegas masuk, menutup pintu di belakang mereka tepat sebelum lebih banyak prajurit tiba.
Kegelapan menyelimuti mereka. Satu-satunya cahaya berasal dari obor yang Darian ambil dari dinding.
Aurelia terengah-engah, menatap Darian dengan penuh kebingungan. “Kau tahu jalan ini?”
Darian mengangguk. “Ini adalah lorong rahasia yang digunakan raja-raja Velmoria jika terjadi bahaya.” Dia menatap Aurelia dengan serius. “Dan sekarang, kau adalah satu-satunya harapan terakhir kerajaan ini.”
Aurelia mengepalkan tangannya. Dia tidak akan membiarkan pengkhianatan ini menghapus haknya atas takhta.
Dia akan kembali.
Dan ketika hari itu tiba, Adrian akan membayar mahal atas apa yang telah dia lakukan.
---