Ratu TANPA MAHKOTA

bangberutu
Chapter #2

Bab 2: Bayangan di Pengasingan


Ini adalah ilustrasi untuk Bab 2: Aurelia memimpin pemberontakan di tengah malam, berdiri di atas atap sambil menyaksikan gudang pasokan yang terbakar. Kota dipenuhi bayangan, sementara pasukan musuh berpatroli di bawah.


Bab 2: Bayangan di Pengasingan


Bagian 1: Jejak di Tanah Terasing


Fajar baru saja menyingsing ketika Aurelia dan Darian meninggalkan pondok tua di dalam hutan. Udara pagi masih dingin, dan embun membasahi rerumputan di bawah kaki mereka.


“Apa kau yakin orang yang kau kenal di Redmont bisa membantu?” tanya Aurelia, suaranya pelan tapi penuh harapan.


Darian mengangguk. “Namanya Roderic. Dia mantan kapten pasukan kerajaan sebelum Adrian mengambil alih. Jika ada seseorang yang masih setia padamu, itu dia.”


Aurelia terdiam sejenak. Dia tahu Adrian pasti sudah menyebarkan berita bahwa dia adalah pengkhianat. Jika Redmont masih berada di bawah kekuasaan Velmoria, maka setiap prajurit yang setia pada Adrian akan memburunya.


Namun, dia tidak punya pilihan lain.


Mereka harus terus berjalan, meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawa mereka.


Melewati hutan bukan perkara mudah. Akar pohon menjulur ke mana-mana, menyulitkan langkah mereka. Beberapa kali Aurelia hampir terpeleset karena jalanan yang licin oleh embun pagi.


“Berhenti.”


Darian tiba-tiba menarik tangan Aurelia dan menunduk.


Di depan mereka, jejak kaki terlihat jelas di tanah lembab. Jejak itu masih baru.


“Pasukan Adrian?” bisik Aurelia.


Darian mengamati jejak itu dengan seksama. “Mungkin. Atau… seseorang yang sedang mengawasi kita.”


Aurelia merasakan bulu kuduknya berdiri. Mereka tidak sendirian.


Mereka bergerak lebih hati-hati, mengikuti jalur yang lebih tersembunyi di antara pepohonan. Setiap suara di sekitar mereka terasa mencurigakan—burung yang tiba-tiba terbang, suara ranting yang patah, atau bayangan yang bergerak cepat di kejauhan.


Dan kemudian, mereka mendengarnya.


Suara napas seseorang.


Darian bergerak cepat. Dalam satu gerakan, dia menarik pedangnya dan menodongkan ke arah semak-semak.


“Keluar,” katanya tegas.


Hening.


Lalu, perlahan-lahan, seorang anak laki-laki muncul dari balik dedaunan.


Dia tampak lusuh, dengan pakaian compang-camping dan mata besar yang ketakutan.


“Tolong… jangan bunuh aku,” katanya dengan suara gemetar.


Aurelia menurunkan tangannya. “Siapa namamu?”


“Leon,” jawabnya lirih.


“Kenapa kau mengintai kami?” tanya Darian, masih waspada.


Leon menggigit bibirnya. “Aku… aku mencuri sesuatu dari desa Redmont, dan mereka mengejarku. Aku hanya mencari tempat untuk bersembunyi.”


Aurelia bertukar pandang dengan Darian. Jika anak ini benar-benar dari Redmont, mungkin dia bisa memberi mereka informasi tentang keadaan di sana.


“Kau tahu siapa Roderic?” tanya Aurelia.


Mata Leon melebar. “Kapten Roderic? Dia hilang! Sudah berhari-hari dia tidak terlihat di Redmont.”


Aurelia merasakan jantungnya berdegup kencang. Jika Roderic menghilang, maka ada kemungkinan Adrian sudah menemukannya lebih dulu.


Mereka harus segera ke Redmont.


Sebelum semuanya terlambat.


---


Bagian 2: Perjalanan yang Berbahaya


Mereka membawa Leon bersama mereka. Anak itu terlihat kelaparan, jadi Aurelia memberikan sebagian bekal yang mereka miliki.


“Kau mencuri apa dari Redmont?” tanya Darian saat mereka berjalan.


Leon menelan ludah. “Hanya roti. Aku tidak punya keluarga di sana, dan para prajurit Adrian mengambil semua persediaan makanan. Tidak ada yang bisa dimakan.”


Aurelia merasakan amarah membara di dadanya. Adrian tidak hanya merebut takhtanya, tetapi juga menindas rakyatnya.


Dia mengepalkan tangannya. “Aku berjanji, aku akan menghentikan ini.”


Leon menatapnya dengan bingung. “Siapa kau sebenarnya?”


Aurelia terdiam sejenak, lalu berkata, “Seseorang yang ingin merebut kembali apa yang seharusnya milikku.”


Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di perbatasan desa Redmont.


Darian memberi isyarat agar mereka berhenti dan mengamati dari kejauhan.


Redmont yang dulu adalah desa yang ramai, kini tampak sunyi dan mencekam. Beberapa rumah terbakar, dan para penduduk berjalan dengan kepala tertunduk, takut berbicara.


Di tengah desa, sebuah tiang besar didirikan, dengan tubuh seseorang tergantung di sana.


Darah mengering di pakaiannya.


Aurelia menahan napas saat melihat wajah orang itu.


Kapten Roderic.


“Tidak…”


Darian mengepalkan tangannya. “Kita terlambat.”


Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara teriakan terdengar.


“MEREKA DI SANA!”


Sekelompok prajurit Adrian melihat mereka.


Aurelia merasakan tubuhnya menegang. Mereka sudah ditemukan.


Dan mereka tidak punya pilihan selain bertarung.


---


Bagian 3: Pertempuran di Redmont


Para prajurit bergerak cepat, pedang mereka berkilat di bawah cahaya matahari pagi.


Darian menarik pedangnya dan maju lebih dulu. Dia mengayunkan senjatanya, menangkis serangan lawan dengan cekatan.


Aurelia, meskipun tidak memiliki senjata sebesar Darian, tetap bertarung. Dia menghindari serangan dan menggunakan belati kecil yang dia bawa untuk melumpuhkan lawannya.


Leon, yang tidak bisa bertarung, berlari ke arah gang sempit untuk bersembunyi.


Namun jumlah mereka terlalu banyak.


Darian mulai terdesak, dan Aurelia bisa merasakan kelelahan di tubuhnya.


Saat salah satu prajurit hendak mengayunkan pedangnya ke arah Aurelia, tiba-tiba—


Teriakan nyaring menggema di udara.


Dari atap salah satu rumah, seorang wanita bertopeng melompat turun, menyerang prajurit dengan gerakan cepat dan terlatih.


Dia menangkis serangan dengan belati panjangnya, lalu memutar tubuhnya dan menendang salah satu prajurit hingga terjatuh.


Dalam hitungan detik, para prajurit Adrian terkapar di tanah.


Wanita itu berbalik ke arah Aurelia dan Darian.


“Aku tidak menyangka kau masih hidup, Putri Aurelia.”


Aurelia mengerutkan kening. “Siapa kau?”


Wanita itu membuka maskernya.


Rambut merahnya berkibar tertiup angin, dan matanya berkilat penuh keyakinan.


“Namaku Selene,” katanya. “Dan aku adalah bagian dari perlawanan yang ingin menjatuhkan Adrian.”


Aurelia menatapnya, menyadari sesuatu.


Dia tidak sendirian dalam pertempuran ini.

Lihat selengkapnya