Matahari menunduk kepada langit. Tepian warna kemerahan Swastamita tenggelam di ujung bergulirnya waktu. Namun, langit segera diselimuti sesuatu yang tidak biasa, cahaya sepekat nilam mendominasi. Pendar dua bintang mulai bersuar merambati atmosfer malam. Ini adalah hari kedua, dimana Bintang Anggara dan Mangala memancarkan sinar keajaibannya. Cahaya biru itu pekat, menelan sang jelaga malam. Indah, tetapi mencengkam. Keanehan yang tidak biasa ini, membuat Kerajaan Kabalon dilanda kekhawatiran.
"Indah sekali … Bintang Anggara dan Mangala benar-benar membuat semuanya seperti permata biru," ucap Naladhipa. Dia mengangkat gaunnya dan duduk di ujung balkon kamar. Ditutupnya buku tebal yang dia baca sedari pagi, mata hitamnya berkilauan mengagumi penampakan kedua bintang raksasa yang tampak saling berdekatan. Pemandangan dengan pantulan cahaya biru itu, terlihat sangat jelas dari jendela kamar. Seumur hidupnya, Naladhipa tidak pernah melihat bintang besar itu muncul bersamaan.
Lamat-lamat, wajah Naladhipa berubah … Tadinya dia begitu mengagumi keindahan kehadiran kedua benda langit itu, tetapi penampakan Bintang Anggara dan Mangala justru membawa kesedihan mendalam bagi Kerajaan Kabalon.
"Putri Naladhipa, ini susu hangatnya." Seorang perempuan dengan rambut tergelung, melangkah masuk. Pengasuh itu menangkap netra sang putri itu berkaca-kaca. "Apakah anda bersedih lagi, Putri Naladhipa?"
Naladhipa memutar netranya, mengikuti langkah Mbok Bon yang mendekatinya. "Aku teringat ibuku. Karena penampakan kedua Bintang Biru itu, ibuku tidak sehat."
Mbok Bon tidak langsung menjawab, dia mengulurkan gelas yang dibawanyanya. "Minumlah, Putri Naladhipa. Saat ini, Baginda Ratu hanya tertidur. Mari berdoa kepada Pencipta semesta, agar semuanya baik-baik saja," Mbok Bon mengusap punggung perempuan 20 tahun itu, guna menenangkan hati gundahnya.
Naladhipa mengerlingkan manik matanya, dia kembali menatap kedua bintang itu. "Aku harap, ibu baik-baik saja."
Kerajaan Kabalon, sebuah wilayah yang berada di antara samudera Hindi dan Pasi. Kerajaan yang paling disegani di seluruh jagat ini, di bawah pemerintahan ras manusia. Raja Ijaya adalah penguasa yang lebih pandai berdiplomasi. Ia tidak menyukai peperang dan memilih menancapkan bendera perdamaian di antara beberapa ras yang bertikai. Pada dasarnya ras-ras yang saling bersengketa atau berperang, bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan dan mencari sumber daya. Walaupun, ada pula ras yang menyerang, hanya sekedar menunjukkan seberapa kuat kerajaan mereka.
"Padahal bintang Anggara dan Mangala ini sangat Indah," eluh Naladhipa. "Seandainya, Ibu baik-baik saja dan duduk bersamaku di sini." Dia meneguk susu hangatnya pelan-pelan … rasa hangat itu menenangkan ketika menyapu tenggorokannya.
"Putri harus bersabar, kedua bintang itu akan menghilang secepatnya."
Naladhipa mengulum datar senyumnya. Dalam hati, tentu saja ada ganjalan.
"Aku akan menjenguk ibu, Mbok Bon tidak perlu mengantarku." Naladhipa berdiri dan segera memakai jubahnya, tali pengikatnya yang terbuat dari serat benang emas segera dieratkannya.
"Ta— tapi…."
"Tidak apa-apa, mbok. Aku akan segera kembali."
***
"Ayahanda, aku ingin menjenguk ibu."
Tak lama, pintu kamar besar berukir itu terbuka. Sang Raja Kabalon … berdiri di depan pintu kamar. Pria dengan rambut wajah lebat itu, tidak sanggup menyembunyikan kesenduhan wajahnya. Walapun, ujung bibirnya tersenyum. Naladhipa tahu, raut berwibawa itu menutupi kesedihannya.
"Masuklah, Putriku."
Naladhipa mengangguk. Baru beberapa langkah mengangkat kakinya … netra Naladhipa melebar tanda terkesiap. Pijaran itu sangat terang … Aura agung berwarna keemasan menggulung-gulung, bagai selubung yang menutupi tubuh Ratu Aiyo.
Naladhipa menelan ludahnya. Ini pertama kalinya dia melihat kondisi ibunya terlihat aneh. Kakinya melangkah pelan, mendekati ibunya dengan ragu-ragu. "Ayahanda, apakah ibu tidak apa-apa?" Naladhipa menahan air mata yang masih tersangkut di ujung mata. Rasa sedih mulai mencarut di dadanya. Ibunya sangat cantik, walaupun terpejam dalam tidur panjang ....