***
Lamat-lamat, gejolak riak yang berkilauan itu berangsur-angsur lebih tenang. Entah apa yang terjadi dengan sang putri yang ditelan oleh dinginnya air yang tak di ketahui dasarnya. Jejak pantulan bayangan pun tidak lagi terombang-ambing. Atensi danau sudah terenggut dengan keindahan dua bintang biru di angkasa. Semakin malam, penampakan keduanya semakin dominasi malam hari di Kabalon
Sang Raja Perang dari Medang hanya menyisipkan senyum dingin, kilap matanya mewawas tinggi ke atas kepalanya. "Berita burung itu benar rupanya. Putri keturunan dari Kesakten Emas terkuat, tidak memiliki bakat abhicara2 … bukankah ironis?"
Hebel memutar arah pandangannya, dengan tatapan tidak percaya. Ternyata … kakaknya benar-benar tidak memiliki niat untuk menolong sang putri yang tidak muncul kembali dari dalam danau! Hebel cepat-cepat melepas jubah yang dikenakannya. Tanpa bertanya kepada Rajanya, dia segera terjun ke dalam danau.
Aesar tetap bergeming memandangi percikan air danau yang berpadu dengan warna kebiruan dari angkasa. Dia memilih untuk tidak perduli … dan meninggalkan danau itu.
***
Kenapa kakiku tidak bisa menapak?
Apakah danaunya sangat dalam?
Mati? Apa aku akan mati sekarang? Ayahanda pasti memarahiku, karena aku melanggar perintahnya ....
Lihatlah … semuanya sangat biru.
Apa aku akan mati sekarang?
….
Naladhipa mengerjap. Dadanya sesak seperti dihantam sesuatu, rasa mencekik juga merajai awal kesadarannya. Sampai-sampai dia berusaha membuka mulut selebar-lebarnya, karena begitu susah mengisap udara dengan lancar. Syaraf-syaraf di kepalanya dan sekujut tubuhnya berdenyut, tertarik dan terasa amat sangat menyakitkan.
"Putri Naladhipa …."
Walaupun kesadarannya masih teraduk-aduk, Naladhipa mencoba menelaah panggilan itu. Indra pengelihatannya mencari-cari, mencoba mengenali sosok yang memanggilnya. Tetapi cahaya yang bercampur kebiruan … cukup membuatnya kebingungan.
Naladhipa pun menyadari, tubuhnya yang kaku sudah berada di daratan. Hawa dingin mulai meraba parasan kulitnya, lambat laun mulai menembus tubuhnya.
"… anda tidak apa-apa?"
Naladhipa hanya mengedipkan matanya lagi, agar penampakan itu lebih jelas. Namun, ketika Naladhipa membuka mulutnya, sekonyong-konyong … ada sesuatu yang merayap kuat dari dada ke arah pernapasan! Rasanya seperti terkoyak-koyak oleh tajamnya sembilu.
Naladhipa kejat, dia langsung tersedak dan terpaksa memuntahkan air dari dalam tubuhnya. Batuk pun merejam begitu kuat, sehingga dada dan perutnya sakit. Setelah tersiksa beberapa menit, Naladhipa langsung terlentang dan kembali menghirup udara dengan lancar kembali.
"Putri Naladhipa menelan banyak air."