***
Naladhipa memincingkan matanya dan kembali menarik selimutnya. Terpaan cahaya matahari yang menembus celah jendela, membuat lelapnya hilang. Sebagian sisi ranjang yang tertutup kelambu putih pun tak mampu mampu menangkal sinar yang menyilaukan itu. Naladhila menguap sekali lagi, menghabiskan sisa kantuknya. Diusapnya tengkuk dan dahinya, untuk memastikan demamnya sudah turun. Walaupun rasa pegal di beberapa bagian tubuhnya masih terasa, dia merasa lebih baik dari sebelumnya.
Kedua netra hitam itu bergerak, mengamati keadaan langit. Ketika malam bergulir, biru dari Bintang Anggara dan Mangala memang tidak lagi berpijar, tetapi secara kasat mata, kedua bintang itu masih ada di langit Kabalon.
"Oh, aku ingat … harus memeriksa sesuatu." Naladhipa melendehkan dirinya di ujung ranjang. Dia merunduk dan menarik sesuatu dari laci meja tidurnya. Lipatan kain itu dia sembunyikan di bagian belakang, dan tertutupi jejeran buku-buku.
Naladhipa mulai melebarkan jubah intu untuk memeriksa detail kain jubah milik Hebel itu. Bahan jubah itu ternyata adalah kain tenun dengan motif yang samar. Naladhipa tidak mengenali motif dengan ombak itu. Jubah berwarna tanah itu tebal, yang terbuat dari serat kayu yang dipintal. Naladhipa ingat, ketika jubah ini dikenakan untuk menutupi bagian punggung hingga ke bagian perut saja dengan satu lancana yang merapatkan ujungnya.
Naladhipa mengangkat keping lancana itu, mengarahkannya ke jendela. Cahaya matahari yang menembus, berpendar transparan seperti warna langit. Batu itu menunjukkan identitas dari sebuah kerajaan. Tentunya membuat rasa penasaran Naladhipa semakin tinggi ….
"Apakah aku harus lapor kepada Ayahanda, kalau ada penyusup? tetapi ... semalam Hebel adalah penolongku." Naladhipa menepuk dahinya. Jika melapor, jelas dirinyalah yang akan dimarahi karena kabur ke danau dan melanggar perintah. Mungkin satu keberuntungannya, nyawanya masih bisa diselamatkan. Siapa pun Hebel, Naladhipa berhutang budi kepadanya.
"Kalau begitu ... aku harus ke perpustakaan untuk melihat lancana ini," desis Naladhipa secara menelaah kepingan dengan ukiran yang menyerupai bentuk Tombak Surya itu. "… mungkinkah mereka adalah musuh yang dimaksud ayahanda? Jangan-jangan mereka adalah Kesakten Hitam?"
Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan perhatian Naladhipa, dia pun cepat-cepat membunyikan lancana dan jubah milik Hebel di balik selimut.
"I— Iya."
"Selamat pagi, Putri Naladhipa. Apakah putri sudah bangun?"
Seorang perempuan berumur 60-an, mengintip dari celah pintu. Kebaya jingga yang dikenakannya, secerah wajah manisnya. Mbok Bon mengintip sedikit.
"I— Iya, aku sudah bangun, Bi."
Mbok Bon segera mendorong kereta berisi makanan masuk ke kamar Naladhipa. "Sepertinya putri sangat kelelahan, sampai-sampai bangun sesiang ini."
Naladipha terpaksa tertawa. "A— apakah ayah sudah bangun?"
"Tuan Raja sudah keluar Keraton sedari pagi."
Naladhipa Naladhipa menerima nampan berisi makanan yang diberikan Mbok Bon. Semangkuk bubur singkong tersaji dengan asap halus. Semerbak tercium bau wangi pandan dan gula merah dari hidangan panas itu. "Hm … aku memang bangun kesiangan hari ini."
"Tadi Tuan Raja Ijaya menitipkan pesan ... Putri Naladhipa harus bersiap-siap setelah makan siang, karena Raja Aesar dari Kerajaan Medang akan datang hari ini."
"Oh? Hari ini?" Naladhipa membesarkan matanya. Dia tidak ingat, kapan Raja Medang akan datang berkunjung. Padahal pagi ini dia ingin ke perpustakaan ... haruskah bertemu dengan Raja Aesar?