***
Tatapan itu seruncing ujung anak panah, melesat tepat mengenai sasarannya. Kuasanya tanpa kata, aura kelamnya dominan. Pendar bola mata birunyalah yang rancap berbicara. Bahkan personanya yang tegak dan gagah itu bagaikan gaham yang tidak akan pernah terkalahkan. Dia adalah Raja Perang yang memiliki kekuatan luar biasa.
Naladhipa panik, ketika menyadari sang Raja Medang itu mendekatinya. Dia teringat dengan kejadian semalam … ternyata Raja Aesar berulah dan membuat dirinya nyaris mati tenggelam di danau. Namun, nyali Naladhipa gugur, kedua kakinya gemetaran ketika sosok itu tinggi berdiri tepat di depannya.
"Naladhipa, bersikaplah yang baik."
Bahu Naladhipa berjengit, ketika ayahnya menepuk punggungnya untuk mengingatkan. Dia seharusnya bersikap terbaiknya sebagai Putri Kerajaan Kabalon. Apalagi semua sorot mata di aula singgana itu mulai memandanginya. Naladhipa segera menundukkan pandangannya dan merendahkan badannya. Dia harus memberikan salam penghormatan.
"Tu ... tuanku Raja Aesar."
Naladhipa pun menunggu jawaban dari Raja Aesar, sebelum dia mengangkat badannya. Naladhipa menelan air ludahnya dan memandangi ujung sepatu Raja Aesar. Naladhipa mengeratkan gigi gerahamnya, dia sungguh tidak terbiasa melakukan ini … apalagi dengan dalaman yang mengikatnya sangat kencang.
Kenapa semua harus menuduk seperti ini? Dalam hatinya menggerutu.
"Putri Naladhipa, tegakkan tubuhmu."
Suara berat itu sampai menembus sampai ke dalam rongga dada, bulu kuduk Naladhipa pun merinding. Perlahan-lahan, Naladhipa menegakkan wajahnya, dia memberanikan diri menatap wajah sang Raja. Kedua netra biru itu, sebenarnya berpendar indah, tidak banyak yang memiliki anugerah indra pengelihatan sejernih itu. Namun, sosok raja yang berwajah tidak ramah itu menyeringai, seakan-akan ingin menarik pedang besar dari punggungnya! Naladhipa merinding dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kamu terlihat masih kesal," Raja Aesar berbisik, seraya mengulurkan tangannya. "Apakah tuan putri menyelam cukup dalam sampai ke dasar danau?"
Naladhipa kejat, kalimat yang dilontarkan itu terdengar seperti nada ejekan. Naladhipa sudah menduganya, kalau Raja Medang ini memang mencoba untuk membunuhnya!
"Raja Ijaya, putri anda memang sangat cantik." Aesar mengulurkan tangannya.
Naladhipa bergeming. Dia memandangi tangan yang terangkat ke arahnya. Walaupun, Raja Aesar memakai sarung tangan … namun, bekas luka di pergelangannya mengintip. Naladhipa membuang arah tubuhnya, dia jelas tidak ingin memberikan tangannya!
Raja Ijaya sekali lagi menepuk punggung putrinya. "Maafkan, Putriku yang Mulia. Naladhipa memang seperti kancil yang lincah." Raja Ijaya segera memperbaiki posisi tubuh Naladhipa agar memberikan tangannya kepada Raja Aesar. Naladhipa menggelugut, dia merasa tidak senang dengan paksaan ayahnya itu.
Raja Aesar tertawa dengan sikap Naladhipa. Dia pun menurunkan tangannya. "Apakah Raja Ijaya sudah memberitahukannya … tentang kesepakatan antara Raja Medang dan Putri Kabalon?"
Suara Raja bermahkota batu hijau begitu jelas, hingga orang-orang yang berada di ruangan pun gaduh mendengar hal itu. Naladhipa tegang menatap ayahnya, perasaannya tidak enak mulai bertumpuk di dadanya. Tetapi … ayahnya hanya menyunggingkan senyumnya yang datar, ada sesuatu yang belum diberitahukan kepadanya.
"Ke— kesepakatan? Ayah apa maksudnya?" Naladhipa mulai cemas.
"Kelihatannya, Putri Naladhipa belum tahu." Raja Aesar melirik Hebel yang berdiri di belakangnya.
"Naladhipa memang belum tahu, tetapi … putriku adalah anak yang penurut. Jangan khawatir Tuan Raja Aesar."
"A— yah?" Naladhipa berusaha meneguk air ludah yang mencekat tenggorokannya. Manik matanya bergerak mengikuti langkah ayahnya. "… Ayah, apa yang terjadi?"
Raja Ijaya menatap putrinya. Dia berdiri di ujung singgasana dan menatap semua orang yang hadir di aula singgasana itu, mereka juga sedang berkasak-kusuk dan membicarakan kesepakatan yang dimaksud Raja Aesar.
"Perhatian semuanya … ini adalah berita besar untuk semua orang yang ada di ruangan ini. Sesuai permintaan Ratu Kabalon … selama Bintang Anggara dan Mangala masih beredar di langit, Raja Aesar akan membantu keamanan wilayah Kerajaan Kabalon." Suara Raja Ijaya menggema dengan keras. "Setelah tugas Raja Aesar berakhir … Kelak Putri Naladhipa akan menepati takdirnya sebagai Aíma sang raja. Dia akan diboyong ke Kerajaan Medang sebagai Ratu Medang."
Naladhipa terkejut! matanya hampir melompat dari kelopaknya, bahkan mulutnya menganga. Kesepakatan gila apa ini? Tiba-tiba saja, ayahnya menentukan masa depannya tanpa persetujuannya! Artinya dirinya akan menjadi imbalan untuk Raja Aesar?
"A— Ayahanda? Ayah— tidak salah?"
Namun, suara protes Naladhipa tertutup dengan suara riuh orang-orang di aula itu, tampaknya mereka bersuka ria dan senang mendengar kabar itu. Tentu saja jika pernikahan itu terjadi, hubungan Kerajaan Kabalon dan kerajaan Medang akan semakin menguat.
"Kamu sudah mengetahui kebenarannya, Naladhipa. Kami tidak bisa lagi menutupi takdir kalian sebagai Aíma. Kehadiran kedua bintang biru di langit Kabalon, akhirnya harus mempertemukan kalian."
Aíma? Tenggorokan Naladhipa bergerak, sekali lagi dia berusaha meneguk air kegugupannya. Manik matanya masih membulat, dia masih menelaah kebenaran yang baru diketahuinya detik itu juga. Dia menatap Raja Aesar, wajah datar itu hanya tersenyum mengetahui keterkejutannya.
***
"Aíma?"