***
Naladhipa menumpuk beberapa buku yang dipilihnya dari rak paling ujung. Raja Ijaya menggelengkan kepalanya, memantau tingkah Putri Kerajaan Kabalon itu. Meja jati di tengah-tengah ruangan itu pun terlihat penuh dengan buku-buku yang ditumpuk oleh Naladhipa, bahkan beberapa buku-buku sampai tergeletak di atas lantai. Sepertinya hampir semua buku dari rak perpustakaan sudah diturunkannya.
"Sebenarnya buku apa yang sedang kamu cari, Naladhipa?"
Naladhipa tidak langsung menjawab. Dia masih serius membolak-balik lembaran buku dengan wajah duduk serius. Semalaman Naladhipa tidak bisa tidur, dia memikirkan banyak hal … terutama tentang Raja Aesar dan pedangnya. Pedang dengan batu-batu berwarna-warni itu katanya mampu mendeteksi kekuatannya.
"Aku ingin tahu tentang Raja Aesar."
Raja Ijaya mengaruk-garuk puncak kepalanya. "Ingin tahu tentang Raja Aesar? Naladhipha, bukankah kamu bilang … kamu ketakutan dengan Raja Aesar?"
"Hm …." Naladhipa mengangkat sebuah buku yang mengulas daftar pedang milik para Raja di semesta. Naladhipa menggerakan jari dan mencari-cari daftar pedang keturunan raja Medang. Namun daftar pedang yang paling terakhir adalah pedang milik Raja Raka, Ayah dari Raja Aesar. Pedang Ulfberht, pedang dengan bilah baja yang ditempa pada suhu sekitar 3.000 Fahrenheit. Naladhipa melihat sketsa gambar pedang itu … jelas itu bukanlah pedang Raja Aesar. Pedang Raja Aesar memiliki luk atau bilah yang memiliki lengkukan dan lebih mirip keris dan memiliki batang silang dengan 10 batu berwarna, anehnya … pedang itu tidak tercantum pada buku sejarah pedang.
"Kalau penasaran, kenapa tidak bertanya langsung kepada Raja Aesar?"
Naladhipa melirik ayahnya.
"Pasti tidak berani." Raja Ijaya tertawa.
"Apakah ayah tidak takut dengan Raja Aesar? Sekali lagi, riwayatnya begitu menakutkan dan wajahnya begitu bengis, aku pun melihat bekas luka-luka di pergelangan, dahi dan lehernya."
Raja Ijaya membalas tatapan Naladhipa, putrinya itu terlihat jujur tentang ketakutannya. Dengan mata manusia … Naladhipa hanya bisa melihat secara fisik Raja Aesar yang nyata. Tetapi, akan berbeda jika seseorang yang memiliki Abhicara … raja menakutkan itu memiliki selubung kegelapan yang mengelilinginya.
"Ayah sudah memberitahumu, kalau kedatangan Raja Aesar untuk menolong keamanan Kerajaan Kabalon. Ayah tidak ingin memikirkan masa lalu Raja Aesar."
"Ah ya, benar." Naladhipa menutup buku yang dipegangnya, dan kembali memandangi buku-buku yang berjejer dia atas mejanya. Matahari menjelang sore menembus jendela di atas rak-rak perpustakaan itu. Debu-debu halus berkilauan, terlihat menari di sekitar cahaya itu.
Raja Ijaya mendekati Naladhipa dan memeriksa buku yang dipegangnya. "Sejarah … pedang raja … Memangnya apa yang membuatmu begitu penasaran?"
"Pedang milik Raja Aesar … aku memlihat pedang aneh itu memiliki 10 batu," jawab Naladhipa. Namun, dia tidak ingin menceritakan sikap Raja Aesar yang mengancamnya … masalah Ibunya dan Kerajaan Kabalon sudah cukup membuat Ayahnya khawatir.
Raja Ijaya berkedip. "Oh, kamu mulai memperhatikan pedang itu?"
"Iya, Ayah. Tetapi pedang milik Raja Aesar itu tidak ada di buku ini."
Raja Ijaya tertawa kecil. "Cukup bagus kamu mencarinya di buku. Tapi pedang itu terlalu sakral untuk dirangkum ke dalam buku sejarah yang sebagian besar dibaca anak-anak … apalagi Raja Aesar masih hidup. Ayah rasa anak-anak akan ketakutan."
Naladhipa mendelikkan kedua matanya. "Ke— ketakutan?"