Batu Air Mata Kesakten Biru.
Aesar membisu. Kedua netra birunya menelisik riak air yang terpecah di pinggir danau yang tertutupi salju. Pemandangan sejuk di sekitar danau itu begitu menenangkan, kabut tipis turut menjejakkan hawa kebekuan ke sekelilingnya. Pohon-pohon pinus raksasa mendominasi hutan-hutan di sekitar danau yang hampir membeku seluruhnya itu. Hari sebenarnya sudah siang, namun cuaca terlalu mendung. Bayangan sehitam jelaga membuat siluet sekelilingnya seperti raksasa yang hendak menghadang,
Kesakten biru, tercipta dari air inti bumi dan nyawa manusia yang mati tenggelam. Kesakten biru termasuk golongan Peri, mereka tidak memiliki kemampuan untuk berperang dan menyerang. Kesakten Biru tidak tinggal di istana, mereka ada di setiap planet basah dan mengendalikan air.
"Jauh sekali, Kesakten ini bersembunyi. Sampai-sampai aku harus ke wilayah Timur Arktik." Aesar merendahkan tubuhnya memandangi bayangannya yang terpantul di dalam air danau yang setengah membeku. Meminta nyawa para kesakten yang tidak bisa menyerang adalah hal yang mudah bagi Aesar, tetapi yang paling sulit adalah … menghindari kecantikan perempuan keturunan peri. Bahkan dia masih ingat ayahnya, Raja Raka pernah berselingkuh dengan Kesakten Biru di luar kesadarannya.
"Terbukalah perisai pelindung."
Aesar mengucapkan abhicara dengan suara halus, seraya merapatkan kedua jarinya di depan dagunya. Cahaya kebiru-biruan mulai berbayang halus, berjelujur membentuk pola mantra dan menutupi seluruh tubuhnya. Sebelum memasuki danau itu, Aesar menarik Pedang Dasa Ashra dari punggungnya. Tiga batu dari air mata kesakten masih menyala seluruhnya. Hanya saja, pedang itu belum mampu mendeteksi kekuatan sang kesakten.
Tanpa ragu, Aesar pun menerjunkan dirinya. Suara retakan terdengar brsambung, beberapa bagian yang membeku langsung pecah dan berbaur dengan air. Ternyata, danau itu memiliki jangkauan yang jauh melebihi bayangan Aesar, semakin dalam danau itu … maka semakin gelap tak terjangkau oleh cahaya di atasnya. Dengan cahaya dari Pedang Dasa Ashra sebagai pelitanya, tubuh Aesar menerobos ke kedalaman kegelapan. Sebelum sampai ke dasar danau, lamat-lamat pijaran cahaya biru terlihat jauh dari ujung yang tak terlihat.
Aesar sendiri tidak terlalu mengingat rupa dan bentuk Kesakten Biru. Ingatannya waktu kecil, mencoba menggali mahluk keturunan peri itu … Kesakten Biru tidaklah berbadan ikan, dia menyerupai manusia, memiliki kaki dengan sirip yang mengantikan kesepuluh jari-jari kakinya. Mereka pun memiliki insang yang tercetak di bawah rahang, dan melingkar ke arah di pangkal leher. Meskipun begitu, mereka sesekali bisa naik ke daratan jika musim kawin dan mencari ras manusia untuk berkembang biak.
Kaki Aesar menapak di dekat sumber cahaya itu. Namun, media dasar danau itu di luar dugaannya. Tadinya dia pikir selimut putih yang menutupi permukaan adalah kabut tebal yang mengepul. Zat itu bertebangan ketika tersentuh kakinya … namun, terlalu lunak ketika dia menginjaknya. Lumpur itu pun menelan cepat kedua kaki Aesar, hingga kakinya tertanam dalam hingga betisnya. Aesar hanya berdecak, ini adalah pengalaman pertamanya masuk ke dalam danau beku. Kalau tidak ada perisai pelindung … kemungkinan sebelum menggunakan abhicara dia langsung tenggelam, kehabisan napas dan terjebak. Seharusnya dia lebih waspada, bisa jadi ada bahaya yang mengincarnya.
"Haruskah aku mengucapkan selamat datang kepada, Kisanak?"
Kesakten Biru itu duduk di ujung peraduannya yang tinggi. Detail sarang itu terbuat dari ranting-ranting putih yang disusunnya berkeliling. Dia telanjang, Aesar dapat melihat jelas seluruh tubuhnya. Sisik-sisik yang menjadi penghias kulitnya berpigment kromatofora6 itu memantulkan cahaya antara hijau, biru dan kekuningan. Namun pendar seorang Kesakten Biru terkuat memancar terang bagaikan kobaran api yang menyala di dalam air. Rambutnya melayang-layang, berwarna pirang platinum. Sama seperti Kesakten lainnya, kulitnya putih dan begitu pucat. Beberapa ikan kecil berkumpul di punggungnya … menyerupai sayap.
"Aku mendapat kabar angin, kalau seseorang akan datang dan meminta nyawa para kesakten." Marina menyilangkan kakinya dan menopang dagunya. Beberapa ikan-ikan kecil mendekatinya, merayapi pipinya. Mereka membisikkan sesuatu. Tentu saja Marina tahu, kalau pemuda itu adalah keturunan manusia dan kesakten Emas, anehnya adalah selubung hitam yang mengelilinginya. Mata bulatnya bergerak, dia memindai sosok pemuda yang berani turun ke dasar danau untuk menemuinya. Terutama pedang yang berada di genggaman tangan kanannya … adalah ancaman.
"... sekarang kamu sudah tahu, itu bukanlah kabar angin." Aesar membalas dingin tatapan Marina.
Marina hanya menyunggingkan senyum datarnya, gelembung-gelembung air pun berterbangan dari insangnya. "Apakah kisanak adalah calon raja yang akan meminta nyawaku?"
"Aku tidak tahu, apakah kamu akan memberikan nyawamu kepadaku?"
Marina menurunkan ujung kakinya. Sirip-sirip di tubuhnya merenggang, ketika Marina terjun dari sarangnya. Tubuhnya melayang ringan dengan iringan ikan-ikan kecil yang terus mengikuti punggungnya. Gelembung udara di sekitarnya berkilauan, ketika Marina bergerak melesat. Tanpa takut, Marina mendekati pemuda asing itu.
"Tidak ada yang bisa memintanya, selain sang Raja Perang." Marina melayang ketika sampai di hadapan Aesar. Namun, dia pun langsung menunduk dan meraih tangan Aesar yang memegang Pedang Dasa Ashra..
Aesar bergeming, dia hanya bereaksi menatap sinis ke arah kesakten itu. Dia tidak menarik tangannya, ketika perempuan itu mengecup punggung tangannya. Wajah Marina sangatlah cantik, tapi mimik yang terlukis pada Kesakten Biru itu adalah sikap pasrah karena kematiannya sudah di depan mata.
"Jangan khawatir, bukankah ada Kesakten Biru lainnya yang akan menggantikanmu sebagai pemimpin kesakten biru."
"Aku sudah hidup ribuan tahun, tapi hanya anda yang mampu meminta nyawaku. Aku pun bisa melihat kalau pedang ini diciptakan untuk menyempurnakan raja terkuat."
Aesar hanya tersenyum. "Seandainya, ada yang bisa mampu menempa Pedang yang mirip dengan Pedang Dasa Ashra, tetap tidak pernah ada pedang yang sama. Kesakten Besi ini adalah satu-satunya Kesakten yang menyerahkan nyawannya kepada calon Raja Perang." Aesar mengacungkan pedang itu tepat ke atas dahi Marina.
Marina menatap Aesar. "Apakah Kesakten Besi yang menempa pedang ini ... juga?" Marina tidak melanjutkan kalimatnya … sudah jelas, tiga batu yang tersusun di batang Quillon adalah milik air mata dari para pemimpin Kesakten Emas, Kesakten Hitam dan Kesakten Besi.