Indra pengelihatan Aesar berpendar. Pupil biru itu menyelisik dimensi abhicara penyempurnaan yang mengurungnya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan dimensi asing, pekat dan sehitam jelaga. Padahal ekstrasi Kesakten Emas sebagai ras terkuat, selalu memiliki dimensi terang dan keagungan.
Aesar mengangkat pedang Dasa Ashra-nya yang sudah mencapai kesempurnaan. Kesepuluh perpaduan Batu-batu Air Mata ras kesakten berfusi menjadi kekuatan virulen yang berbahaya. Belum ada yang bisa menyamai kapasitas kekuatan super itu.
"Lihatlah pedang ini … apakah aku memerlukan pedang ini untuk menjadi yang terkuat di Semesta?" Aesar tertawa dingin.
"Dia adalah raja kita. Raja yang tak terkalahkan."
"Bersujudlah! Bersujudlah kalian semua di bawah kakinya! Dia adalah pemilik jiwa kita Sang Maharaja terkuat di seluruh semesta ini."
Aesar mengalihkan pandangannya. Nyawa kesepuluh kesakten yang dikuasainya, bersujud rendah termasuk, Ibunya. Ratu Mentari yang dia penggal dengan pedang milik ayahnya … salah satu alasan mengapa Aesar meminta nyawa para pemimpin kesakten.
"Apa ibu mengenaliku?"
Perempuan yang diselimuti cahaya keemasan itu tidak bereaksi, bahkan mereka tidak akan berani menatapnya. Tidak ada jawaban … jiwa-jiwa kosong itu tentu saja tidak mengenalnya.
***
"Tuanku, baik-baik saja?"
"Ya."
"Benarkah? Tetapi, langkah tuanku melambat."
Aesar menyunggingkan senyum datarnya. "Ada kekuatan kecil menguap dari dari pintu aula."
Hebel menyoroti wajah Raja Medang itu. "Kekuatan Kecil? Tapi tuanku tidak berencana untuk …."
"Tidak. Suasana hatiku sedang baik, tidak nafsu memenggal kepala siapa pun. Bahkan aku tidak membawa pedang Dasa Ashra," sahut Aesar santai.
"Hehe. Maaf, Yang Mulia. Kalau begitu kita segera masuk. Saat ini para Kesatria Kabalon sedang berlatih olah pedang fisik." Hebel segera menarik pintu di depannya.
"Tuanku Raja Medang— Se— selamat datang di aula berlatih kami. Saya Nipo." Seorang Kesakten Guru terpogoh-pogoh menyambut kedatangan Aesar dan Hebel. Postur Nipo yang gemuk dan pendek, sedikit membuatnya kesusahan untuk melangkah cepat.
Tanpa menanggapi sapaan Nipo, Aesar langsung mengangkat kakinya. Baru selangkah memasuki pintu aula, hawa di aula berlatih langsung berubah seram. Beberapa kesatria sampai berhenti berlatih dan memundurkan tubuhnya. Kehadiran Aesar seakan-akan menarik otoritas kekuatannya, padahal dia hanya menatap mereka beberapa detik.
"Terima kasih sudah menyambut kami. Tuan Raja Aesar ingin melihat-lihat aula berlatih." Hebel berdiri di sisi Nipo yang juga ketakutan. "Apa permintaan Raja Aesar sudah dilaksanakan."
"I —Iya. Silahkan kemari."
Nipo mengulurkan jempolnya, mengarahkan mereka ke sebuah ruangan khusus. Ruangan itu memajang bermacam-macam pedang-pedang untuk bertarung, dan beberapa baju sulam baja atau zirah.
Aesar hanya memiringkan kepalanya, dia tidak senang dengan pemandangan di hadapannya itu. Dia mengangkat dan mengamati beberapa pedang buatan pandai besi manusia. Baginya pedang-pedang itu tidak memiliki ‘nyawa’ untuk bertarung.
"Pedang ini terasa mati," celetuk Aesar.
"Ah, iya, Tuan. Ka— kami baru saja mengeluarkan semua pedang itu." Nipo cukup terkejut dengan komentar itu. Seorang Raja Perang tentu sangat mengerti, jika bilah-bilah pedang itu sama sekali tidak pernah digunakan untuk bertarung apalagi menyentuh darah.
Aesar menyunggingkan senyumnya tipis. "Jadi, jenis senjata apa yang dikuasai oleh Kesatria Kabalon?"
Nipo meneguk air ludahnya dan menunduk. "Atas perintah Tuan Raja Ijaya, kami hanya diperbolehkan menggunakan pedang cahaya."
"Oh." Aesar menarik satu pedang dan memutarnya. Namun, pedang jelek itu terasa tidak proposional. "Sebagai Kesakten Guru … apakah kamu tahu kalau leher kesakten hanya bisa dipenggal dengan pedang fisik?"
"Saya— saya tahu. Tapi, saya hanya mengikuti titah Raja Ijaya."
Aesar tidak lagi menyahuti, dia hanya menaikkan bahunya.
Nipo lebih merapat ke arah Hebel. "Tuan Hebel, apakah Raja Aesar menyukai anggur?"
"Tentu, Paduka Raja Medang penggemar anggur hitam yang keras," jawab Hebel.
"Ba— baik. Saya akan segera menyiapkannya." Nipo segera beranjak.
Aesar memutar arah matanya. Dia kembali mengawasi Kesatria-kesatria Kabalon yang sedang berlatih pedang. Mereka berlatih pedang dengan menggunakan boneka kain berisi pasir dengan pedang dua mata. Namun, hanya satu kesatria memilih pedang Zweihunder dengan ukuran hampir setinggi tubuh manusia. Tetapi, pedang klasik itu sudah tidak digunakan lagi, meskipun dulunya pedang itu senjata terkuat pada abad pertengahan.
"Penduduk Kabalon adalah mayoritas ras manusia. Kesatria-kesatria ini tidak akan memiliki tenaga yang cukup untuk menggunakan pedang fisik untuk bertarung."
"Sejak deklarasi perdamaian, Kerajaan Kabalon tidak memiliki konflik dalam berperang. Apalagi pertahanan mereka pun sangat kuat di bawah kendali Ratu Aiyo. Kerajaan Kabalon memang cukup sukses menciptakan perdamaian semesta," terang Hebel.
Aesar hanya tersenyum dingin. "Kemunculan dua planet biru itu sudah bisa diprediksi, seharusnya mereka lebih siap untuk peperangan."
"Maaf, Paduka. Jika Ratu Aiyo sendiri yang meminta pertolongan kepada Tuan Raja Aesar, artinya beliau sudah tahu ras manusia tidak akan mampu menghadapi perang ini."
"Aku melihat ada beberapa keturunan Kesakten di Kabalon. Ada satu Keturunan kesaten yang paling menonjol di sini …." Mata Aesar lurus menatap ke arah kesatria yang memilih pedang Zweihunder.
Hebel mengikuti arah pandangan kakaknya itu. Tentu menjadi kekhawatirannya, dari sekian banyak kesatria di sana, Raja Medang itu hanya melihat satu orang. "Apakah tadi kekuatan keturunan kesakten itu yang paduka rasakan?"
"Ya. Dia tidak berbahaya, tapi cukup berguna nantinya."
"Apakah kita perlu banyak keturunan Kesakten untuk perang kali ini. Apakah kita perlu memanggil Kesatria Medang untuk kemari?"
"Aku tidak tahu, Hebel."