"Ya Allah, jangan sampai ketiduran lagi." Mya menggigit bibirnya. Ini sudah lewat tengah malam, matanya sudah mengantuk. Tapi tidak berani tidur.
Belum pernah ia mengalami gangguan tidur begini. Sebenarnya jika mau minum obat tidur masalahnya akan selesai. Tapi ia tidak mau. Belum pernah juga minum obat seperti itu sepanjang hidupnya. Kendati demikian, sebagai mahasiswa kedokteran, ia paham bagaimana obat itu akan bereaksi terhadap tubuhnya, melemaskan otot-ototnya, mengurangi segala sensititifas respon di otaknya, termasuk menghilangkan mimpi buruk yang sekarang sedang menerornya.
"Jangan, tidak perlu minum." Suaranya melarang keinginan hatinya sendiri. Bagaimana pun caranya ia bertekad tidak akan minum obat itu.
"Ah...," lenguhnya sembari membalik badan menghadap sisi barat kamarnya yang berupa tembok tebal. Sejak kapan ia mulai sering berbicara dengan dirinya sendiri? Kadang ia memang berbuat begitu, tapi tidak sesering belakangan ini.
Tirai jendela yang menjuntai terhembus helaan nafasnya yang berat. Ia berbalik lagi ke sisi timur, menghadap pintu. Lalu bergerak lagi terlentang. Menatap langit-langit kamar dengan gelisah. Begitu terus tiap malam. Matanya tidak mau terpejam karena takut. Ia tidak takut tidur sendirian di kamarnya karena di kontrakan ini ada teman-temannya di kamar yang lain. Hanya takut bermimpi buruk. Itu saja.
Tangannya meraba kertas resep di bawah bantal dan menariknya. Matanya membaca tulisan berbentuk seperti cacing pita di kertas resep itu. Satu-satunya tulisan yang jelas hanyalah nama pasien yang tertera di bagian paling bawah. Nama yang ia tulis sendiri atas perintah dokternya: Myasarah Nur Aliya, 19 tahun.
Ia merobek kertas resep dokter yang baru saja didapatkannya sore tadi. Keputusannya sudah bulat untuk tidak menebus resep obat tidur itu. Jangankan obat tidur, obat alergi saja tidak pernah ia minum. Ia lebih memilih untuk memakai bedak tabur jika badannya mulai bentol-bentol kedinginan. Meski obat apapun gampang ia dapatkan karena dosennya bisa kapan saja menuliskan resep untuknya agar mendapatkan obat yang sesuai indikasi. Tapi ia memutuskan untuk tidak membiasakan diri minum obat jika tidak dalam keadaaan terdesak sekali. Ia tahu betul efek samping obat-obat kimia itu dan tidak ingin bersinggungan jika tidak perlu. Kepada pasien pun ia akan meresepkan obat seperlunya saja jika kelak telah lulus menjadi dokter.
Myasarah menaruh robekan kertas itu kembali di bawah bantal dan kembali pada posisi tidur terlentang. Matanya terbuka lebar. Pikirannya berkelana.
Malam pasti telah semakin pekat. Kegelapannya menciptakan keheningan bagi seluruh jiwa-jiwa yang sunyi. Tak terkecuali di komplek perumahan ini. Apakah masih ada yang terjaga lewat tengah malam begini? Semua orang tengah terlelap dalam tidurnya. Bahkan derik suara jangkrik pun tidak kedengaran lagi seolah takut memecah kesyahduan mimpi di peraduan. Begitu sepinya.
Siapapun tidak akan bangun selarut itu kecuali orang-orang yang berjaga malam. Siapa saja mereka yang berjaga malam itu? Mya merinci daftar itu di dalam kepalanya sekedar mengisi kekosongan pikiran. Bisa saja pencuri yang beraksi dengan mengendap-endap. Atau petugas ronda yang berusaha mencegah aksi pencurian dengan mengelilingi komplek perumahan sambil menyenter disana sini dan sesekali melempar tiang listrik dengan batu sebagai tanda peringatan bagi para pencuri untuk berhati-hati. Atau induk kucing yang sedang menyusui anak-anaknya yang mengeong kehausan.
Bayangan dokter dan perawat yang berjaga di rumah sakit pun sempat singgah dipikirannya sebelum matanya mulai terpejam perlahan-lahan tanpa disadarinya.
“Tolong! Tolong aku! Tolooong..!” Suara raungan itu membuatnya terhenyak duduk seketika, memandangi jam dinding di kamarnya. Pukul 2 dini hari.
“Oh, Astaghfirullah... Astaghfirullah... Wa atubu ilaih...”
Myasarah terbangun dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ya Allah, Ya Rabbi... Ia mencengkeram dadanya. Mimpi yang sangat mencekam. Suara raungan itu lagi.
Mimpi yang sama lagi. Selalu begitu.
Mya menarik nafas panjang. Ia menenangkan diri. Bukan ketakutan yang tampak di wajahnya, tapi kejengkelan. Siapa? Dimana? Mengapa? Ia marah pada mimpi itu karena memperdengarkan suara tanpa wujud. Apa maksudnya? Bikin orang deg-degan saja!