Raungan Di Sebuah Villa

Mfathiar
Chapter #2

Buah Jambu #2

Cahaya mentari merekah seindah senyuman di minggu pagi. Meski jalanan masih sepi, penghuni komplek perumahan itu sudah keluar pintu pagar. Mereka semua sepakat untuk jalan-jalan setiap pagi selama liburan semester ini. Entah siapa yang duluan mengusulkan, Rani yang menjadi penyambung lidah meneruskan ide itu kepada Mya. Myasarah menyetujui usul tersebut. Dia sendiri butuh olahraga untuk kegesitan tubuhnya. Walaupun statusnya sebagai pemegang ban hitam Taekwondo, namun ia sudah tidak punya waktu untuk latihan sejak kuliah di kedokteran. Kesibukan kuliah telah habis menyita waktunya. Ia butuh jalan pagi juga untuk menjernihkan pikiran. Terutama karena belakangan ini sulit tidur.

Yanti, Rani, Fatiya dan Myasarah berjalan bergerombol mengelilingi komplek. Mereka mengobrol seru sepanjang jalan. Walaupun satu kampus dan satu kontrakan, mereka jarang punya momen bersama seperti ini. Mya yang kuliah di kedokteran membuatnya selalu pergi pagi pulang malam. Ditambah les bahasa yang diikutinya. Mya menyukai beberapa bahasa asing seperti Perancis dan Jerman. Ada beberapa bahasa asing yang ia kuasai. Maka ia sibuk sendiri dengan jadwal kuliah dan les bahasanya.

Yanti adalah mahasiswa Psikologi yang aktif dalam kegiatan menulis. Dia sering pergi mengikuti acara forum menulisnya itu. Bahkan kadang sampai ke luar kota berhari-hari. Oleh sebab hobi menulisnya itulah perbendaharaan katanya paling banyak dibandingkan yang lain. Dia punya kebiasaan berbicara sesuai bahasa indonesia yang baik dan benar karena menurutnya otak manusia akan bekerja lebih terstruktur jika susunan kalimatnya lengkap. Mungkin karena ia menjiwai jurusan psikologinya juga. Semua hal harus terstruktur di dalam otaknya. Mya paling sering menggodanya karena kebiasaan tersebut, tetapi Yanti tidak pernah ambil peduli. Begitulah cara manusia beradaptasi, katanya. Setiap orang pasti punya kebiasaan yang unik dan berbeda-beda.

“Kau tidak mengumpulkan koran hari ini, Yan?” tanya Mya. Dan kebiasaan Yanti yang lain adalah mengumpulkan berbagai macam surat kabar di hari minggu.

“Biasanya pagi-pagi kau sudah nongkrong di depan rumah menunggu tukang jual koran lewat.”

“Oh, Kak Mya...,” jawab Yanti dengan gayanya yang puitis. “Kita kan tidak selalu harus melakukan hal yang sama setiap minggu. Hidup ini butuh perubahan sekali-kali. Lagipula, aku bisa beli koran di tempat lain kalau pun tidak sama Bapak itu.”

Mya, Rani dan Fatiya tertawa. Geli mendengarkan alasan Yanti.

“Iyalah Yan, terserah kau saja. Jangan menyesal aja kau nanti ketinggalan berita.“ Rani ikut memancing.

“Oh, Kak Rani. Koran itu sudah tercetak. Nanti juga akan aku baca setelah pulang dari sini. Tak mungkin beritanya berubah dalam satu jam.”

Mereka tertawa lagi. Yanti ikut tertawa juga. Ia tahu mereka hanya menggodanya saja. Ia memilih untuk mengalah karena usianya lebih muda dari Rani dan Mya.

“Kenapa Mbak Yanti selalu beli koran di hari minggu saja?” tanya Fatiya dalam bahasa Jawa yang medhok. Fatiya adalah satu-satunya penghuni kontrakan yang asli Jawa. Sedangkan Rani, Yanti dan Myasarah berasal dari Sumatera. Myasarah dari Aceh, Yanti dan Rani dari kota yang berbeda di Medan. Walaupun orang Sumatera memanggil perempuan yang lebih tua dengan Kak, namun Fatiya tetap bersikukuh memanggil Mbak. Adat Jawa Fatiya memang kental. Dia berasal dari sebuah kota di Jogjakarta yang jaraknya kira-kira 3 jam saja dari kontrakan mereka.

“Karena menurutku ya, hari minggu itu tempat berkumpulnya semua berita dalam satu minggu. Jadi buat apa kita buang-buang uang membeli koran di hari lain?”

“Oh, begitu rupanya!” Fatiya tertawa keras, tapi begitu tersadar, ia langsung menutup mulutnya. Fatiya sangat menjaga sikapnya. Tindak tanduknya tidak serampangan. Kalau tertawa pun pelan dan menutup mulut. Apalagi di jalan seperti ini. Belum lagi ditunjang oleh penampilannya yang anggun. Berpakaian rapi, berjilbab rapi, duduk rapi, mengunyah makanan pelan, bicara pelan, tertawa pelan, semuanya terjaga. Fatiya juga kuliah di kedokteran, sama seperti Mya. Dia adik angkatan setahun di bawah Mya. Usianya paling muda di antara yang lain.

“Kak, kalau kita nanti sudah mulai kuliah lagi, setiap minggu pagi jalan begini juga yuk? Kan hari lain kita gak sempat,” usul Rani.

“Oke!” Mya mengacungkan jempol.

Rani tersenyum.

Rani adalah mahasiswa D3 ekonomi. Meskipun asli Medan tetapi dia amat lembut dan perasa sekali. Kesehariannya teratur. Manajemen keuangan dan manajemen waktunya jauh lebih baik dibandingkan yang lain. Hanya saja Rani ini fisiknya lemah. Ia pernah mengalami operasi kepala saat usia 4 tahun karena ditabrak truk. Oleh sebab itu dia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh banyak pikiran dan tidak boleh terlalu banyak tekanan. Ini yang membuat Myasarah selalu mengiyakan keinginan Rani. Pagi ini pun Rani yang bicara padanya untuk mengajak jalan-jalan pagi dan Myasarah langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.

Busu adiknya Rani tidak ikut bersama karena dia baru tiba tadi malam datang dari Jakarta naik kereta api. Dia melepaskan lelah dengan tidur lagi.

“Busu libur sampai kapan, Ran?” Busu kuliah di Jakarta jurusan Bahasa Arab.

“Sama seperti kita, liburannya juga sebulan penuh. Gak apa-apa kan Kak, dia nginap sama Rani?”

“Emangnya kenapa? Ya, nginap aja. Kalian jadi bertiga satu kamar tidak apa-apa?”

"Aku sudah biasa, Kak,” jawab Yanti tanpa ditanya.

“Kan kamar kami besar, Kak.”

Iya sih, kamar mereka hampir dua kali lipat ukuran kamarku yang cuma 3x4, pikir Mya.

“Eh, Kak Mya. Kita ajak Mbak Luluk jalan pagi juga, yuk?” usul Rani di depan gerbang komplek.

“Oh, iya! Lebih seru kalau Mbak Luluk Ikut. Yuk!”

Mereka berbalik arah j berjalan mundur 10 meter dari gerbang komplek ke rumah cat hijau. Mbak Luluk menjadi teman kontrakan mereka setahun lalu. Dia bekerja sebagai guru privat Bahasa Jerman. Waktu itu mereka mengontrak empat kamar. Kemudian Ibu yang punya rumah mengatakan hendak menyerahkan rumah itu kepada anak tertuanya yang baru menikah. Mereka pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil milik si ibu juga. Mbak Luluk tidak bisa ikut lagi bersama mereka karena kamar di kontrakan baru hanya ada tiga. Sedangkan Mbak Luluk tipe penyendiri, maunya satu kamar sendiri. Maka dia pun mengambil kost saja, tidak jauh dari rumah kontrakan mereka. Masih di dalam satu komplek perumahan juga. Hanya beda lorong.

“Mbak Luluk! Mbak Luluk…!” Mereka memanggil-manggil dari samping jendela kamarnya. Tidak ada ahutan. Sepertinya masih tidur. Mbak Luluk punya masalah insomnia, jadi dia baru bisa tidur setelah Subuh.

Mereka pun meneruskan acara jalan pagi tanpa Mbak Luluk. Bercerita sepanjang jalan dengan seru. Semua hal dibahas dengan menyenangkan. Dari masalah dapur sampai berat badan.

“Berat Rani harus turun ini, Kak. Alamak, berat kali lah jalan ini kurasa.”

“Memangnya berapa berat kau, Kak?” tanya Yanti.

Lihat selengkapnya