Raungan Di Sebuah Villa

Mfathiar
Chapter #3

Rasa Malu #3

Suasana di kantor itu penuh hiruk pikuk orang yang lalu lalang. Ini adalah salah satu perusahaan pengelola batik terbesar di Jogja. Mereka telah mendapatkan alamat pemilik tanah kosong yang tumbuh pohon jambu itu dari Pak Pujo. Bu Suroso namanya. Seorang pengusaha wanita yang sukses mengembangkan bisnisnya di dalam hingga ke luar negeri. Mya tidak yakin tindakan mereka ini bisa dimengerti oleh ibu itu. Akan tetapi, mereka sudah bertekad untuk menghalalkan jambu yang telah mereka makan. Sekarang mereka sudah duduk di sofa menunggu Bu Suroso datang menemui mereka. Mya melirik plastik putih di tangan Fatiya, benda itu tergantung di antara jemari, ikut menutupi mulutnya yang masih terus terkikik geli. Fatiya jelas menganggap ide ini konyol.

“Jadi kita harus minta maaf kepada Bu Suroso supaya mengikhlaskan jambu yang sudah dimakan itu, Mbak? Seperti kisah Ayah Imam Abu Hanifah? Apa kita tidak akan malu nanti?” Itu pertanyaan Fatiya saat ia menceritakan kisah ayah Imam Abu Hanifah kemarin.

Nah, itu dia. Kenapa baru sekarang terasa malu ya? Dari rumah tadi perasaan kok biasa saja. Mya menatap Rani yang balas menatapnya.

“Kita pulang aja yuk, Kak!”

Rani merengek. Ia berdiri mematung di tempatnya dari tadi. Tidak banyak bergerak. Mya pun sama. Pikiran mereka satu frekuensi rupanya. Pandangan Rani terus menerus tertuju tepat ke pintu yang bertuliskan: DIREKTUR.

Sebuah kesadaran dan keinginan yang terlihat tidak masuk akal mulai berperang di dalam kepala Mya. Kesempatan untuk berbicara sudah di depan mata. Mereka hanya tinggal menunggu waktunya sesuai janji pertemuan. Tinggal beberapa menit lagi. Namun, apa yang harus mereka katakan nanti? Bahwa mereka telah memakan buah jambu yang tumbuh sendiri di atas tanah miliknya, yang mungkin pohonnya pun tidak pernah diketahui keberadaannya, sambil menunjukkan bukti sisa jambu yang sudah mereka gigit? Bagaimana kalau Ibu itu malah tertawa terbahak-bahak atau sebaliknya malah mengusir mereka karena membuang waktunya percuma. Lalu ibu itu memberitahukan kepada kenalannya sehingga kisah ini akan menjadi berita di kampus? Tamatlah riwayat mereka semua.

Mya menghembuskan nafas dan bangkit dari kursi. Batinnya gelisah. Apakah mereka sebaiknya membatalkan pertemuan ini dan segera pulang. Tapi mereka sudah mengadakan janji untuk bertemu Bu Suroso itu. Bagaimanapun masalah ini harus diselesaikan sampai tuntas. Sudah terlanjur mereka berada disini.

Dalam kebimbangan Mya berjalan mendekati Yanti. Biasanya dia bisa memberikan nasehat yang bijak. Ia ingin meminta pertimbangannya.

Yanti duduk berdampingan dengan Busu yang memaksa ingin ikut menyaksikan pengakuan dosa. Sorot mata Mya sudah terbaca oleh Yanti tanpa harus bicara.

“Jangan tanya aku, Kak. Kalau menurutku, sudah betul apa yang kita lakukan ini. Teruskan sajalah. Daripada hidup kita tidak tenang? Walaupun aku cuma sempat gigit sekutil. Tidak berkah pula hidup awak nanti gara-gara makan jambu sekutil itu.”

Berkah? Nah, itu dia, berkah.

Itu yang sedang mereka cari disini. Keberkahan hidup. Tidak ada yang lebih penting dari itu di dalam menjalani kehidupan. Heran! Kenapa ia harus takut menghadapi ibu pengusaha ini? Ini masalah serius yang menyangkut masa depannya kelak. Masa depan anak-anak yang akan dikandungnya juga. Kalau sampai makan makanan yang haram karena tanpa izin pemiliknya. Jambu itu sudah masuk ke dalam tubuhnya dan telah menjadi darah dan daging. Ini harus segera mendapatkan status kehalalan yang jelas!

Semangat Mya yang tadinya telah surut kini mulai bangkit lagi. Dengan tegak dipandanginya orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia tersenyum kepada Yanti yang juga membalas senyumannya. Fatiya yang mengamati dari tadi kembali terkikik geli. Ia melihat Mya telah mantap dengan keputusannya. Kelihatan sekali dia menikmati peristiwa menarik ini. Fakta bahwa ia mau memegang plastik putih berisi jambu itu adalah bukti dia ingin ikut punya andil juga. Biasanya Fatiya paling gengsi membawa hal yang seperti itu.

Pintu di hadapan mereka terkuak. Sedetik kemudian keluar beberapa orang yang di tangannya memegang kertas putih penuh dengan ketikan dan coretan tangan. Mungkin itu hasil rapat mereka. Tak lama berselang sekelebat rambut yang bersasak tinggi muncul dari balik daun pintu. Serentak mereka semua bangkit saat melihat seraut wajah yang tersenyum ramah dan mempersilahkan masuk ke dalam ruangan.

Kelima gadis itu kini berdiri di depan meja ukiran kayu. Meja itu serasi dengan ukiran kursinya juga. Ruangan tersebut tertata apik dengan nuansa daerah yang kental. Ada keris di sudut ruangan. Ada motif batik yang di pigura berukuran besar di belakang kursi tempat Bu Suroso kini duduk. Di samping ibu itu telah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahunan. Bertubuh kurus dan berperawakan kecil. Ia lebih tinggi sedikit dari Mya. Beratnya paling hanya 40 Kg. Matanya yang tajam menyorotkan kelicikan. Dia terlihat seperti tipe laki-laki yang melakukan segala macam cara demi untuk mencapai tujuan. Ibu Suroso malah sebaliknya, adalah wanita tinggi gemuk. Wajahnya sumringah menyambut kedatangan lima orang perempuan yang mengaku mahasiswa yang tidak ia kenal. Meskipun tampak sudah berumur, ia masih terlihat cantik. Rambutnya tersanggul rapi. Pakaiannya semi kebaya. Kelihatan sekali ia memiliki kharisma sebagai seorang wanita terhormat dan terpelajar. Auranya kuat terpancar. Jika ada yang berbicara kepadanya pastilah tunduk pada apa yang ia utarakan. Wibawanya mampu membuat ciut nyali lawan bicaranya.

Aura Bu Saroso yang kuat memenuhi ruangan, membuat mereka menjadi gugup karena tegang. Hanya Fatiya yang pembawaannya masih terlihat santai tanpa sedikitpun terpengaruh oleh aura kuat Bu Suroso. Mungkin karena Fatiya berasal dari keluarga cukup terpandang di kampungnya. Sebagai anak tertua ia terbiasa untuk ikut serta ke berbagai pertemuan bisnis. Ayahnya terkenal sebagai juragan tembakau yang bisnisnya berkembang seantero jagat. Fatiya juga sudah sering bertemu orang penting untuk ikut mengurus bisnis kesehatan yang dikelola keluarganya. Kabarnya setelah lulus kuliah, Fatiya sudah memiliki tempat praktek di rumah sakit yang dimiliki keluarganya.

“Siapa yang menelepon saya? Oh, kamu ya?” tunjuknya pada Fatiya yang berpenampilan paling anggun. Padahal yang menelepon Mya. “Yang mahasiwa kedokteran itu? Oh, iya. Ada apa? Sebentar lagi saya harus berangkat ke Bandara. Berapa menit lagi waktu saya?” Bu Suroso mendekatkan telinganya kepada laki-laki yang berdiri di sebelahnya.  

Dengan sigap laki-laki itu membuka map tipis di tangannya.

“Siap Bu, saya mencatat pesawat terbang pukul 12 siang dan sekarang pukul 10. Perjalanan sekitar satu jam ke Bandara. Kita berangkat sekitar 30 menit lagi.”

Ibu Suroso mengangkat tangan kirinya, “Cukup, terimakasih.”

Laki-laki itu menutup kembali mapnya dan tersenyum kepada Fatiya.

“Kalian sudah dengar kan? Saya harus buru-buru. Ada perlu apa?”

Mya mencoba memberanikan diri untuk berbicara.

“Begini Bu, maksud kedatangan kami kemari...,” Mya tidak tahu harus mulai darimana. Susunan kalimatnya yang telah dipikirkan lenyap begitu saja saat matanya bertemu dengan mata Bu Suroso.

Si laki-laki menunduk membisikkan sesuatu di telinga Bu Suroso. Entah apa dibisikkan lelaki itu sehingga menyebabkan sebelah alis Bu Suroso kemudian naik.

“Oh, Kamu anaknya Pak Malik tokh?” Ia berpaling dari Mya. Perhatiannya kini tertuju sepenuhnya kepada Fatiya. “Apa kabar? Silahkan duduk, silahkan duduk. Ah, saya kira kalian siapa.”

Lihat selengkapnya