Raut Tanpa Nama

Kurnia Maya Sari
Chapter #1

Diam Bukan Pilihan

Aku tidak heran, mengapa aku bisa tiba-tiba ada di sekolah ini. Ooo iya, ini semua karena permintaan orang tuaku. Rupanya pemilik Yayasan sekolah ini adalah salah satu teman ayahku.

Sekolah ini memang terkenal. Gedungnya megah, fasilitasnya lengkap, dan hanya anak-anak dari keluarga terpandang yang bisa belajar di sana—anak pejabat, pengusaha, selebritas dan juga ada sekelompok kecil murid murid dari kalangan..... bawah. Dan aku adalah anak dari seorang pengusaha yang bisa dikatakan usahanya sukses. Ayahku memiliki beberapa perusahaan besar di kota, ibu juga seorang wanita karier yang dikenal luas. Dari yang ku dengar, sekolahnya juga berprestasi. Ya sudah, ku rasa tidak ada salahnya menuruti keinginan mereka. Toh sekolahnya juga bagus.....

Itu pendapatku sebelum menginjakkan kaki di sekolah ini__

Tapi kenyataannya, di tengah kemewahan itu, ada satu hal yang tak terlihat dari luar: budaya saling merendahkan. Di lorong-lorong sekolah, tawa sinis sering terdengar. Anak-anak yang dianggap "berbeda" menjadi sasaran ejekan, entah karena pakaian mereka tak bermerek, gaya bicara yang sederhana, atau latar belakang keluarga yang tak seprestisius lainnya.

Tapi tenang, Aku tidaklah sama dengan kebanyakan anak anak orang kaya pada umumnya, khususnya anak anak yang bersekolah di sini. Aku tidak suka adanya diskriminasi. Semuanya sama dan aku bisa berteman dengan siapa saja.

Aku cepat sadar bahwa ada yang salah di sekolah itu. Aku sering melihat teman-teman yang lain diperlakukan tidak adil—buku dicoret, tas disembunyikan, bahkan ada yang menangis di kamar mandi karena dihina.

Shitt... Aku benar benar tidak tahan jika harus berdiam diri. Sudah cukup lama aku geram dan hanya jadi penonton. Diam ditengah kejahatan, bukankah juga termasuk bagian dari kejahatan itu. Tapi aku hanya bisa mendekati teman-teman yang sering dibully, mendengarkan mereka, dan memberi semangat. Tapi, sebagian dari mereka merespon kepedulianku dengan raut wajah tak suka. Bahkan tanganku pernah di tepis dengan kasar oleh mereka. Mereka mungkin mengira kepedulianku penuh dengan kepura-puraan. Mereka mungkin menganggap semua orang kaya itu sama saja.

Ah, rasanya aku tak ingin di kenal sebagai anak orang kaya. Karena hal itulah sebagian mereka merasa tidak nyaman dan memberi jarak padaku. Padahal aku sangat ingin berteman dengan mereka. Aku juga tidak suka memakai tas bermerek hanya untuk pamer, tidak memamerkan mobil antar-jemput mewah, dan yang paling penting—aku tidak suka membully.


Aku sudah tak tahan lagi. Saat ini, aku melihat seorang anak laki-laki bernama— aku tak tahu namanya. Anak itu didorong oleh teman sekelasnya hanya karena sepatunya sobek. Tanpa pikir panjang, Aku langsung maju dan berdiri di depannya.

"Kalau kalian pikir hebat karena punya uang, kalian salah besar! Yang hebat itu orang yang bisa menghargai sesama," kataku lantang.

Mereka tertawa sinis,

"Jangan ikut campur! Sok Pahlawan, deh." Anya berteriak dan mendorong bahu kananku.

"Ngapain kamu membela anak yang levelnya jauh dari kita?!" Sahut Gibran.

Lihat selengkapnya