Beberapa minggu berlalu, dan kebersamaan Najiha dan Juno semakin erat. Mereka bukan hanya teman pulang sekolah, tetapi juga teman berbagi cerita kecil—tentang pelajaran, tentang keluarga, atau sekadar hal-hal sepele yang mereka temui di jalan.
Suatu sore, setelah hujan mengguyur kota kecil mereka, Juno mengajak Najiha ke taman belakang sekolah. Taman itu sunyi, hanya ditemani gemericik air dari sisa hujan di dedaunan.
Mereka duduk di bangku kayu, membiarkan angin sore menyapa wajah mereka.
"Aku ingin membuktikan kalau aku bisa," kata Juno tiba-tiba, menatap langit yang berwarna jingga kusam. "Untuk ayah dan ibu... walaupun mereka udah nggak di sini."
Najiha mendengarkan dalam diam. Ada ketegaran dalam suara Juno yang membuat dadanya terasa aneh—bukan sedih, bukan bahagia, tapi campuran keduanya.
Tanpa sadar, ia meraih tangan Juno, memberi sedikit kekuatan lewat genggaman kecil. Juno sempat terkejut, tapi tidak menarik tangannya.
"Kamu sudah melakukannya, Jun," kata Najiha, pelan. "Aku yakin, mereka pasti bangga."
Juno tersenyum, senyum kecil yang membuat Najiha ikut tersenyum. Tapi saat itu juga, Najiha merasa ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—bukan cinta, bukan juga sekadar kasihan. Hanya rasa ingin berada di sisi Juno, ingin melihatnya kuat, ingin mendengar ceritanya lagi dan lagi.
Dia belum tahu apa nama perasaan itu.
Mungkin hanya kagum.
Mungkin hanya rasa ingin melindungi.
Atau mungkin... sesuatu yang akan ia pahami seiring waktu.
Untuk saat ini, Najiha memilih menikmati kebersamaan itu, tanpa perlu buru-buru memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.
Karena beberapa perasaan, kadang butuh waktu untuk berkembang.
---
Hari itu, sekolah terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Panitia acara Pekan Kreativitas mulai bergerak, dan semua siswa sibuk di aula untuk gladi bersih. Najiha duduk di bangku penonton, memperhatikan dari kejauhan saat Rafa, sang Ketua OSIS, berdiri di depan memberi arahan.
Tegas. Karismatik. Berwibawa.
Itulah Rafa—sosok yang sempurna di mata semua orang. Bahkan guru-guru pun sering memujinya. Tak heran, waktu Rafa menyatakan perasaannya pada Najiha sebulan lalu, banyak yang iri. Tapi Najiha belum menjawab. Bukan karena dia tidak menyukai Rafa, tapi karena dia sendiri belum yakin dengan hatinya.
“Pikirkan baik-baik,” kata Rafa waktu itu. “Aku tahu kamu tipe orang yang butuh waktu. Aku akan sabar.”
Najiha menghargainya. Tapi hari ini, perasaannya justru semakin kabur.
Karena pandangannya terpaku pada sosok lain—Juno.
Bukan karena Juno melakukan hal hebat di aula itu, tapi karena dia sedang berbicara dengan seorang gadis dari kelas sebelah. Nayla. Cantik, ceria, dan memang terkenal supel. Najiha memperhatikan cara Nayla tertawa pada sesuatu yang dikatakan Juno. Dan... cara Juno ikut tersenyum.
Ada rasa aneh yang menghantam dadanya. Bukan marah. Bukan sedih. Tapi semacam... tak nyaman.
Kenapa aku peduli?
Najiha mengalihkan pandangannya, tapi pikirannya masih tertinggal di sana.
“Lihat mereka,” suara lembut Rafa tiba-tiba menyapanya dari samping. Ia duduk tanpa Najiha sadari. “Cocok juga ya si Nayla dan Juno.”
Najiha terkejut, tapi mencoba tersenyum. “Iya, kelihatannya akrab.”
Rafa menatapnya dalam. “Kamu baik-baik aja, Ji?”
Najiha mengangguk pelan. Tapi Rafa seolah bisa membaca kebimbangannya.
“Aku nggak akan maksa kamu jawab sekarang,” kata Rafa tenang, “tapi aku cuma pengen kamu tahu... kamu nggak perlu merasa sendiri, bahkan kalau kamu belum tahu harus milih siapa.”
Najiha menatap Rafa, dan untuk pertama kalinya merasa bersalah. Rafa adalah orang baik. Tapi hatinya... tidak tahu sedang condong ke mana.
Di tengah keramaian, Najiha hanya bisa duduk diam. Antara dua bayangan yang sama-sama menghantuinya—Rafa, yang jelas dan aman. Dan Juno, yang misterius dan penuh tanda tanya.
Tapi... kenapa bayangan Juno terasa lebih kuat?
---
Juno tidak lagi menunggu di gerbang sekolah saat pulang. Tidak lagi menyapa duluan. Bahkan di kelas, ia mulai duduk lebih jauh dari biasanya. Semua masih sopan, masih hangat... tapi ada jarak yang tidak terlihat, dan Najiha bisa merasakannya di setiap tarikan napas.
Awalnya, Najiha berpikir itu cuma perasaannya saja. Tapi hari demi hari berlalu, dan Juno benar-benar menjaga jarak. Ia mulai banyak berbicara dengan Nayla. Bahkan berjalan pulang berdua.
Dan itu menyakitkan. Lebih dari yang Najiha duga.
Suatu sore, ketika gerimis membasahi aspal dan langit memudar dalam kelabu, Najiha memberanikan diri untuk menghampiri Juno di depan perpustakaan.
“Jun...,” panggilnya pelan.
Juno menoleh, senyumnya tipis. “Hey.”