Raut Tanpa Nama

Kurnia Maya Sari
Chapter #4

The Fall From Grace

Sejak kejadian di perpustakaan, pikiranku dipenuhi oleh satu kalimat itu:

"Jangan biarkan siapapun tahu siapa kamu sebenarnya."

Aku menyelipkan foto itu di balik buku catatanku. Entah kenapa, aku merasa foto itu terlalu berbahaya untuk kubiarkan terlihat. Tapi lebih dari itu—aku merasa seolah aku baru membuka pintu kecil ke dalam dunia Juno yang selama ini tersembunyi. Dunia yang tidak ingin dia bagi kepada siapa pun.

Beberapa hari setelahnya, Juno kembali bersikap seperti biasa. Diam. Jauh. Tapi sopan.

Seolah tak ada yang pernah terjadi.

Tapi bagiku, semuanya berubah.

Kini, setiap aku melihat tatapannya di kelas, aku mulai membaca hal-hal yang dulu tak pernah kulihat—ketegangan di rahang, sorot mata yang kadang kosong, kadang penuh kemarahan yang ditahan. Aku jadi sadar, Juno bukan sekadar pendiam. Dia sedang menjaga sesuatu. Menyembunyikan sesuatu.

Hari ini, aku melihatnya duduk sendirian di taman belakang sekolah. Tangannya menulis sesuatu di buku kecil, cepat dan penuh tekanan. Aku memperhatikan dari balik jendela lantai dua. Ingin turun. Ingin tanya. Tapi aku hanya diam.

Sampai seseorang menghampirinya.

Gibran.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku berlari turun tanpa pikir panjang.

Begitu aku sampai, aku mendengar suara Gibran:

“Masih aja di sini? Sok kuat banget, ya. Lo kira siapa yang punya sekolah ini?”

Juno tak menjawab. Matanya tetap tertuju ke buku di pangkuannya. Dingin. Tenang. Tapi aku tahu, ada sesuatu di balik diamnya.

Aku maju. “Gibran, cukup!!”

Gibran menoleh, lalu tersenyum mengejek. “Wah, pahlawan kita datang juga. Najiha, kamu ini terlalu sering deketin anak buangan, tahu nggak?”

Gibran meludah ke tanah, kesal, lalu pergi sambil melempar tawa sinis. “Ya udah deh, selamat jadi penyelamat. Tapi jangan nyesel kalau nanti ditarik ke dalam lubangnya.”

Aku berbalik pada Juno. Dia masih duduk, tapi tangannya kini mengepal di atas buku. Nafasnya berat. Matanya tak menatapku.

“Aku nggak minta kamu datang,” katanya pelan.

“Aku tahu.”

“Terus kenapa kamu turun?”

Aku ragu sejenak. Lalu menjawab dengan jujur. “Karena aku nggak suka lihat kamu diperlakukan seperti itu. Dan... aku cuma nggak bisa diam.”

Dia menutup bukunya. “Kalau kamu terlalu dekat denganku, kamu bisa terluka.”

Aku ingin menjawab. Tapi matanya menatapku sekilas—dan entah kenapa, itu cukup untuk membuatku terdiam.

Ada sesuatu dalam diri Juno.

Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka.

Dan aku mulai takut—bukan padanya, tapi pada kemungkinan bahwa aku akan peduli terlalu jauh.

---

Langit malam sudah menggantung kelam saat aku menutup pintu kamar. Suara cicak di dinding, lampu temaram, dan tumpukan buku yang belum kusentuh sejak minggu lalu. Semuanya terasa biasa—kecuali satu hal.

Aku membuka tasku. Tanganku menyusup ke bagian dalam, mencari benda kecil yang selalu kusimpan di sana.

Kosong.

Bulu kudukku berdiri.

Aku periksa ulang. Satu demi satu, kertas dan buku kubongkar. Tak ada.

Foto itu... hilang.

Tanganku mengepal. Dada terasa sesak.

Foto itu bukan benda sembarangan. Di dunia yang sudah terlalu banyak merebut dariku, hanya itu yang tersisa. Sebuah potongan kecil dari masa lalu yang tak bisa kukembalikan—tapi juga tak bisa kulepaskan.

Dan tulisan di baliknya...

Bukan sekadar pesan. Itu semacam pengingat. Titik balik.

Kalimat yang kutulis di malam paling gelap dalam hidupku.

Aku duduk di ujung ranjang, menatap lantai.

Bagaimana bisa aku ceroboh?

Apakah foto itu jatuh di perpustakaan tadi? Atau tertinggal di taman belakang saat aku sempat berhenti?

Kalau seseorang menemukannya...

Tidak. Aku tak bisa membayangkan kemungkinan itu.

Orang biasa mungkin takkan mengerti. Tapi kalau yang menemukannya membaca tulisan di baliknya—terlalu banyak hal yang bisa terbuka. Terlalu banyak pertanyaan yang bisa lahir.

Dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Karena saat orang tahu siapa aku sebenarnya, mereka akan menjauh. Atau lebih buruk—mereka akan ikut terbakar dalam bara yang sudah lama kupendam.

Aku menunduk. Terdiam.

Dalam gelap, aku tahu satu hal:

Masa lalu tidak pernah hilang. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali...


---

Aku menatap foto itu sekali lagi, sebelum akhirnya menyelipkannya kembali ke dalam buku catatan yang selalu kubawa. Rasa penasaran masih ada, tapi sekarang tidak sebesar kemarin.

Mungkin… memang bukan urusanku.

Wajah dalam foto itu bukan wajah yang kukenal. Bukan teman sekolah. Bukan guru. Bukan siapa pun yang pernah kutemui. Dan tulisan di baliknya, seaneh apapun, tetap saja bisa berarti apa pun. Siapa tahu, itu cuma... bagian dari masa lalu Juno yang belum waktunya untuk diceritakan.

Lihat selengkapnya