Paris
23 November 2018
Rav hari ini dengan semangat yang luar biasa, aku tidak sabar melanjutkan cerita kemarin yang sudah aku mulai. Kamu tahu kan Rav, segala sesuatu yang sudah kumulai maka harus aku selesaikan. Apapun itu, termasuk cerita ini Rav.
Senang rasanya mengulang kembali cerita kita Rav, seolah aku mengalami kejadian kedua kalinya bersama dengan mu, yang membedakan hanya aku masih mengulang cerita lama bukan membuat cerita baru bersama dengan mu atau melanjutkan yang sudah kita mulai. Aku yakin kamu mengerti apa yang ku maksud ini Rav. Di bab ini aku akan menulis apa yang terjadi pada tahun itu. Tidak ada yang aku lebihkan atau bahkan aku kurangkan.
Aku akan menulis segalanya dari yang ku rasa atau dari yang ku dapat dengan memulai cerita bersamamu kala itu.
Sejak saat itu mungkin aku sudah kecanduan akan permen lolipop pemberianmu Rav, bukan pada rasanya saja, tapi pada ungkapan yang kamu ucapkan waktu itu. Aku ingin mencari lagi Rav, kebahagiaan waktu itu. Tapi sayang nya sejauh apa aku mencari, hingga akhirnya aku akan kembali ke pada titik Yang sama. Di mana hanya bisa bermain dengan kenangan ini. Tanpa berniat untuk melepaskan nya.
Paris tak seindah di Bandung ternyata Rav, yang membedakannya tidak ada kamu di sini. Yang ada hanya kenanganmu dalam hatiku yang tidak pernah lepas atau bahkan memudar.
Seolah aku memulai hidup baru, yang di mana hanya terdapat bayang-bayang semu, yang mengharapkan kembalinya kamu.
Ah, lagi-lagi aku mengharapkan sesuatu yang sulit untuk aku dapatkan, yaitu kamu Rav.
***
Bandung
23 November 2015
Udara di luar begitu dingin, mengingat jika ini masih jam 04:00 subuh tetapi ada saja beberapa motor yang melewati kompleks perumahan di mana Reva tinggal, mungkin beberapa orang yang mengendarai motor tersebut akan memulai aktivitasnya sesubuh ini. Begitu pun dengan Reva ia sudah siap dengan jaket di tubuhnya dan syal yang menutupi lehernya.
Subuh ini Reva akan memulai aktivitasnya sebelum berangkat ke sekolah, ia mengambil sepeda yang terpakir di samping rumahnya, sepeda yang akan menemani Reva mengelilingi kompleks untuk menangantar koran di setiap rumah yang Reva lewati.
Reva harus berkerja keras untuk membantu Tina, bunda Reva. Reva tidak boleh menjadi anak manja, ia juga harus berjuang untuk hidupnya tidak hanya mengandalkan pendapatan dari Tina, mengingat jika Reva hanya hidup berdua saja sejak ayah Reva pergi meninggalakan Reva dan Tina untuk selamanya.
Reva hanya tidak ingin menjadi beban Tina. Reva tahu jika bundanya itu hanya tegar di depannya saja, tapi sebenarnya hati Tina belum seutuhnya pulih dari kerapuhan beberapa tahun lalu. Memang sudah lama tapi, mungkin itu bukti betapa Tina begitu mencintainya ayah Reva.
Tina berkerja di salah satu kebun teh, yang berada cukup jauh dari kompleks perumahan di mana mereka tinggal, dan itu yang membuat Tina hanya pulang seminggu sekali, bahkan pernah hanya dua minggu sekali.
Reva mendorong sepeda keluar dari perkaranga rumahnya. Tujuan Reva saat ini ketempat di mana ia akan mengambil koran-koran itu sebelum mengantarkannya satu persatu setiap perumahan. Kini Reva menggoeskan sepedanya dengan kecepatan normal karena ia masih ingin merasakan sejuknya udara subuh sebelum matahari menampakan sinarnya yang mungkin akan menyilaukan mata Reva.
Dari kejuahan Reva dapat melihat sebuah ruko kecil bercat-kan warna hijau. Reva tersenyum ketika melihat bapak tua yang sedang menyusun tumpukan koran.
“Pagi pak?” sapa Reva ketika sudah memarkirkan sepedanya di samping ruko tersebut.
“Eh, neng yang kemarin yah?” tanya bapak tua itu, yang Reva tahu namanya pak Tono.
“Iya pak,”
“Mari masuk neng, sini bantu bapak angkat korannya.”
Hari ini hari pertama Reva berkerja sebagai pengantar koran. Sebelumnya Reva di sebuah rumah makan di dekat sekolahnya. Karena Tina tidak mengizinkan Reva untuk bekerja yang begitu banyak menyita waktu belajar Reva. Akhirnya Reva pun berhenti dari pekerjaan itu. Reva terlalu muda bagi Tina untuk bekerja yang berat-berat. Seharusnya di usianya yang mengijak remaja Reva hanya belajar dan bermain bukan mencari duit seperti yang Reva lakukan saat ini.
Reva mengamati ruko itu, ukurannya terlihat sangat kecil ketika Reva sudah masuk ke dalam. Mungkin yang membuat ruko itu terlihat lebih kecil karena begitu banyak tumpukan koran yang mengisi di sudut ruko tersebut bahkan hanya ada jalan sepetak saja untuk memasuki ruko tersebut. Reva mengangkat tumpukan koran itu dan membawanya di keranjang depan sepedanya, setelah selesai Reva segera pamit dengan pak Tono untuk mengantar koran.
Sebelum benar-benar pergi Reva melihat sebuah genta angin berwarni-warni yang berbentuk seperti mangkuk yang di gantung dengan tali di depan Ruko itu. Genta angin tersebut menghasilkan bunyi ketika saling beradu satu sama lainnya.
Setelah di perhatikan genta angin tersebut seperti Furin, atau genta angin khas jepang yang di percaya sebagai benda pembawa keberuntungan bagi penghuni rumah.
Reva berdecak kagum mendengar suara yang di keluarkan oleh genta angin tersebut, suara yang bening dan menyejukkan.
Kini Reva mulai menggoes sepedanya, meninggalkan ruko tersebut dengan di ikuti suara bening yang di timbulkan dari Genta angin yang semakin lama semakin tidak terdengar lagi oleh Reva.
Sudah hampir satu jam Reva menggoes sepedanya dan koran yang di dalam keranjang sepedanya masih tersisa satu. Kini pandangannya jatuh pada rumah di ujung gang sana, yang bercatkan abu-abu, pintu rumah itu masih tertutup, mungkin pemiliknya masih tertidur dengan nyenyak di kamarnya. Padahal fajar hampir menyapa.
Saat Reva ingin melemparkan koran di depan halaman rumah, Reva menghentikan aktivitasnya karena melihat seseorang di bangku taman sebelah kanan rumah tersebut, orang itu memangkukan sebuah gitar, memainkannya tanpa bernyanyi, mungkin orang itu hanya bergumam kecil sehingga Reva tidak terlalu mendengar suaranya.
Melihat sosok itu, Reva teringat akan Ravrel yang kemarin ia temui di dalam bus sambil memainkan gitar atau memang sosok yang Reva lihat ini memang Ravrel. Reva segera menepis pikiran anehnya itu, jika memang sosok itu Ravrel, lalu apa urusannya dengan Reva. Toh mereka hanya sebatas kenal saja.
Reva segera melemparkan koran itu dengan buru-buru dan langsung menggoes kembali sepedanya dengan kecepatan penuh, sesekali Reva melihat jarum jam di pergelangan tangan kiri nya itu. Kini Reva hanya mempunyai waktu satu jam untuk bersiap-siap berangkat kesekolah.
***
Reva membuka buku diary nya ketika mendapatkan kabar jika guru kimia akan datang terlambat, sedangakan di sebelahnya terdapat Sela yang sedang menyalin tugas rumah dari buku Reva. Reva melihat sekilas ke arah Sela sambil menggelengkan kepala, jengah melihat kelakuan dari sahabat ini yang selalu tertantung padanya.
Reva kini membalikkan lembar demi lembar dari buku diary yang tadi ia ambil dari dalam tasnya. Bagi Reva bermain-main dengan kata itu menyenangkan, dan juga terkadang menyakitkan.
Bandung, 23 November 2015.
Sosok mu, mampu memenuhi pikiran ini. Seolah menjadi candu untuk selalu tahu semua tentangmu.
Sebenarnya siapakah kamu, mengapa ketika melihat sesuatu pikiran ku selalu tertuju kepada mu. Kuharap, kita bisa bertemu lagi untuk kedua kalinya atau bahkan seterusnya.
Reva buru-buru menutup buku diary karena merasa bahunya di sentuh oleh seseorang.