Paris
17 Desember 2018
Rav, ingin sekali aku kembali ke Bandung, aku yakin kamu pasti telah menyiapkan satu kejutan istimewa untukku, seperti waktu itu. Kejutan untuk hari ulang tahunku. Kamu tidak lupa kan Rav? Aku tidak suka tinggal di sini Rav ternyata.
Perihal teka-teki yang kamu beritahukan itu, aku Sampai sekarang tidak menemukannya Rav. Aku bingung benar-benar bingung.
Sebenarnya teka-teki apa yang kamu maksud?
Ingat tidak Rav?
Waktu itu kita bersama-sama mengelilingi kota Bandung menggunakan motor CBR-mu itu, lalu mampir di warung kang Jono yang menjual seblak kesukaan kamu. Dan aku merindukan kekonyolan kamu waktu itu Rav.
Sebelum pulang kamu mengajakku pada suatu tempat, di mana tempat itu manjadi tempat favorit bagiku. Tempat yang katamu, jika aku mempunyai masalah aku harus menceritakan dengan bintang-bintang yang bertebaran di langit malam. Katamu, bintang-bintang itu akan memberikan tahu mu apa yang aku ceritakan.
Malam itu pun kamu menyanyikan sebuah lagu istimewa untukku. Tapi untuk sekarang, aku tak sanggup Rav mendengarkan lagu itu. Jika aku mendengarnya, sesak dada kian menggebu. Seolah ada sesuatu yang tidak ingin kulepaskan. Tidak Rav, jangan bangunkan aku dari imajinasi ku ini, biarlah seperti ini aku mohon.
***
Bandung
17 Desember 2015
Aku ingin bersamamu. Untuk sekarang mungkin sedikit egois kalo aku ingin bersamamu sebagai seorang kekasih. Ini khayalan yang terlalu tinggi untuk gadis seusia belia sepertiku. Tulisan ni memang sedikit melankolis, terlalu berharap dan mudah sekali merasakan galau yang sebenarnya terciptakan dari diriku sendiri.
Reva memainkan penanya sambil berpikir kalimat apa yang akan ia tulis selanjutnya di buku diary yang saat ini ada di pangkuannya.
Halte bus kini sudah hampir ramai. Banyak pelajar dan juga pegawai yang sedang menunggu datangnya bus, termaksud Reva saat ini. Sambil menunggu datangnya bus Reva sengaja menulis sesuatu di buku diary nya, yang mungkin sudah menjadi salah satu rutinitasnya.
Kata orang, teman yang paling baik adalah sebuah pena beserta buku. Mereka tidak akan pergi jika kamu menuliskan kesedihanmu sebanyak mungkin melalui tinta hitam yang menggores di buku diary itu. Termaksud seseorang yang menjadi inspirasi kamu menulis diary tersebut.
Rav, aku__.
Reva berhenti menulis tatkala musik yang ia dengarkan dari handphonenya menggunakan headset berganti oleh suara nada dering telepon masuk. Sesegera mungkin Reva merogoh kantong cardigan berwarna cream yang ia kenakan saat ini lalu mengambil benda pipih tersebut.
Reva tersenyum ketika tahu siapa yang meneleponnya saat ini.
"Selamat ulang tahun putri bunda, sweet seventeen sayang." Reva hampir saja mengeluarkan air mata jika tidak segera menyadarinya jika ia masih berada di halte bus yang sangat ramai. Ada rasa bahagia ketika Reva mendengar suara seseorang di seberang telepon sana. Reva sangat merindukan sosok itu, sudah berapa hari ia tidak melihatnya. Dan yang membuat Reva merasa senang ketika Tina mengucapkan hari ulang tahunnya, yang Reva kira Tina sudah melupakannya.
Reva masih tetap diam tidak menanggapi ucapan Tina, Reva tidak berniat untuk mengabaikan Tina hanya saja ia masih berusaha agar air matanya tidak menetes. Tidak lama Tina mengatakan sesuatu yang kali ini membuat Reva tersenyum bahagia.
"Bunda akan pulang malam ini, Reva mau hadiah apa?"
Reva cuman ingin Bunda selalu bersama Reva. Reva ingin mengatakan itu tetapi ia tahan
Reva nggk mau apa-apa kok Bun, Reva cuman rindu Bunda, hehehe," Reva menangis dalam diam, ternyata ia begitu lemah jika berurusan dengan menahan kesedihan.
"Bunda juga, sayang kamu Rev."
Reva mendongakkan kepala berusaha melihat ketika orang-orang yang berada di halte bus pada berdiri dengan masing-masing peralatan yang tadi mereka bawa. Sepertinya bus segera datang. Reva bergegas memasukan buku diarynya, masih sambil memegang ponsel genggamnya walaupun kini Reva dan Bunda sama-sama diam dengan pikirannya masing-masing.
Akhirnya Reva buka suara. "Bun ... Reva berangkat sekolah dulu yah, see you."
"See you, hati-hati di jalan Rev," ucap Tina sebelum mengakhiri telepon.
Reva segera memasukan kembali ponsel beserta headset di kantong kardigannya. Dan segera memasuki bus yang kini sudah ada di hadapannya.
***
"Sel, sebenarnya lo mau ngajak gue kemana sih?" Tanya Reva yang kini matanya sudah tertutup menggunakan kain hitam.
"Ssssttt ... nanti juga lo tau sendiri,"
Reva merasa jika Sela sedang menuntunnya ke tempat yang sepi. Sebenarnya ada apa dengan Sela apakah ia marah kepada Reva, maka dari itu ia akan menjual Reva pada om-om yang berbadan buncit. Reva sudah merasakan khawatir, ketika Reva merasa ada seseorang di hadapan mereka ketika mereka berhenti.
"Sel, gue di mana?" Reva menunggu jawaban dari Sela, tetapi sudah lama Reva tidak mendapati jawaban dari Sela.
"Sel?"
"Sela?! Please jangan bercanda." Reva secara spontan langsung melepaskan ikatan kain di matanya, dan pandangan pertama yang Reva lihat adalah sosok yang sebenarnya tidak ingin Reva temuin. Tapi sebisa mungkin ia menutupi keterkejutannya itu.
"Rav, lo ngapain di sini, Sela kemana?"
Reva melihat sekeliling, ternyata Sela membawanya pada sebuah taman yang berada di belakang sekolah mereka. Tapi yang menjanggal perasaan Reva adalah, kemana perginya sosok Sela? Dan kenapa ada ... Ravrel di sini.
Atau ...
"Permen loli__"
"Maaf Rav, gue buru-buru!" Reva sengaja menolak pemberian dari Ravrel. Semenjak pertemuan Reva dan Ravrel di lapangan basket kemarin. Reva semakin ingin menjauhi Ravrel. Walaupun kemarin Ravrel sempat memaksa untuk pulang bersama. Kali ini Reva harus menolaknya lebih dahulu, ia tidak ingin sesuatu yang ia pendam semakin lama semakin sesak rasanya.
Reva berbalik berniat untuk meninggalkan Ravrel. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan Ravrel.
"Selamat ulang tahun Rev," Reva berbalik dan kini telah menghadap ke arah Ravrel.
"Lo tau dari mana?"