Paris
18 Desember 2018
Terkadang aku masih merasa jika kamu ada di sisi ini, hawa kehadiranmu seolah selalu menemaniku. Bahkan aku merasa jika kamu memperhatikanku. Rav, cukup jangan membuatku menderita untuk yang kedua kalinya.
Kamu pernah Rav pergi tanpa kabar, ketika aku sudah mulai merasa ada. Tapi aku bahagia karena kamu pergi dan ingat untuk kembali, walaupun bukan aku yang menjadi tempat pulangmu. Kala itu.
Kuharap pergimu saat ini, sama seperti kamu pergi tanpa kabar dulu. Kamu pulang dengan memberiku warna di kehidupan baru. Kuharap untuk saat ini pun begitu. Iya kan Rav? Aku tahu begitu banyak kejutan yang kamu rencanakan. Pasti dengan pergimu saat ini adalah salah satu rencana yang kamu buat untukku.
Sepertinya aku banyak harap lagi Rav. Terlebih lagi pada sosokmu.
***
Bandung
18 Desember 2015
Reva berulang kali menatap bingkisan kado yang di berikan oleh Ravrel ketika mengajaknya jalan-jalan pada malam kemarin. Reva tidak menginginkan sama sekali kado atau apa pun itu yang diberikan oleh Ravrel. Dengan mengajaknya berjalan-jalan dan menceritakan hal konyol saja itu sudah membuat Reva bahagia.
Tapi Ravrel dengan seribu caranya membuat Reva terpaksa mengambil kado pemberiannya tersebut. Tapi sampai saat ini Reva tidak berani untuk membuka kado itu, tepatnya ia belum siap atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat dimana ia merasa sebuah kado itu, sebagai pemberian seseorang yang begitu Reva cintai. Reva sadar jika ia memang benar-benar sudah membuka hati pada Ravrel. Tapi ia masih terlalu takut akan perasaan ini, terlebih lagi jika Ravrel mengetahuinya.
Untuk terakhir kalinya Reva memandang kado tersebut sebelum ia benar-benar berangkat ke sekolah. Kado itu berwarna seperti warna matahari yang akan tenggelam, jingga kemerahan. Ukuran kado itu tidak terlalu besar ataupun kecil dan berbentuk kotak.
Seketika Reva teringat malam kemarin ketika Ravrel memberikan kado itu. Reva masih merasakan kebahagian malam itu ketika Ravrel mengajaknya keluar. Malam itu mungkin akan menjadi malam istimewa atau bahkan malam yang menyeret Reva pada suatu titik yang memilukan.
Reva menggelengkan kepalanya menghapus suara hatinya sendiri. Yang hadir begitu saja secara tiba-tiba.
Flashback on
“Rav, kita mau kemana lagi?”
Reva benar-benar tidak tahu dengan jalan pikir Ravrel. Semenjak keluar dari kedai kang Jono, Ravrel mengajak Reva lagi, untuk pergi ke suatu tempat, dan sudah hampir sekitar setengah jam Ravrel membawanya, Reva belum mendapatkan tanda-tanda jika mereka sudah sampai. Begitu jauh kah tempatnya? Bahkan Reva sendiri pun tidak tahu tempat apa yang Ravrel maksud.
“Sebentar lagi sampai kok.”
Reva memutar matanya jengah, kini ia mengeratkan cardigannya yang ia kenakan. Suasana malam hari ini begitu dingin, begitu mencengkram. Reva hanya berpegang pada pahanya sendiri padahal sudah berulang kali Ravrel menawarkan agar Reva memeluknya, atau setidaknya memegang jaketnya.
Tidak lama mereka sampai pada sebuah tempat. Saat Ravrel mematikan motornya seketika hening menghampiri mereka berdua. Pasalnya setelah menaiki motor Ravrel dengan suara knalpot berisik itu, yang secara tiba-tiba di matikan membuat Reva merasakan suasana yang sedikit aneh.
Reva memperhatikan sekitar, tempat itu begitu sepi dan sunyi, bahkan hanya ada mereka berdua saja. Dari tempat mereka berada ada sebuah gazebo dengan sebuah bangku taman berwarna putih dan dengan satu buah lampu yang hanya menerangi gazebo beserta bangku taman itu.
"Rav, Lo yakin ini tempat yang lo bilang istimewa itu?"
"Iya,"
Reva berjalan mengikuti Ravrel dari belakang, hingga berhenti tepatnya di depan gazebo tersebut.
"Apanya yang istimewa dari tempat ini?" Untuk yang kedua kalinya Reva bingung dengan jalan pikir Ravrel. Reva kira Ravrel akan membawanya pada sebuah taman yang di hiasi lampu kerlap-kerlip dan sebuah kelopak bunga mawar yang menghiasi jalan menuju pada sebuah meja dan bangku. Yang menjadi pusat perhatian taman itu. Tapi nyatanya Reva salah, Ravrel hanya mengajaknya pada sebuah sudut di kota Bandung itu. Yang menurut Reva tidak akan keistimewaannya sama sekali.
"Kamu,"