Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #1

Bab 1 : Penambangan Pasir

Alana berusaha tidak mengedip dari bidikan beberapa kamera profesional di depannya. Sambil menggenggam tangan Dini, ia sekali lagi menatap layar sisi belakang panggung. Lomba Rias Pengantin Se-Jawa Timur Tema ‘Muslim Modifikasi’ edisi tahun 2016. Hawa di ruangan Atrium Royal Plaza Surabaya sejuk, namun Alana merasakan telapak tangannya lebih dingin daripada yang seharusnya.

“Baiklah, kita umumkan dulu pemenang harapan kedua,” kata pembawa acara yang sedikit gemuk berwajah kekanakan dengan setelan jas beraksen batik. Rekan perempuan di sebelahnya memakai gamis pesta yang senada dengan kerudungnya. Keduanya sejenak saling bertatapan lalu serempak berkata, “Jatuh kepada peserta nomor 18....”

Membandingkan secara kasat mata dengan peserta nomor 18, Alana merasa hasil riasannya lebih presisi dan tampak menyatu dengan karakter wajah Dini, model kenalan dari Bu Mariyam, bosnya. Warna bayangan pada bagian hidung si model nomor 18 terlalu oranye. Selanjutnya pemenang harapan satu diumumkan, dan hasil riasan nomor 32 itu juga semakin meningkatkan ekspektasi di benaknya. Berikutnya nomor 04 bergaung dan karena debaran jantung yang semakin menggedor dadanya, ia tak lagi memandang hasil riasan peraih juara tiga itu untuk mengukur peluangnya meraih dua peringkat tersisa. Ia menahan napas.

“Lalu, peraih tempat kedua adalah...nomor 58! Alana Wulansari!”

Pelukan cepat Dini ke pundaknya menyadarkan Alana yang masih tak percaya nomornya disebut. Ia mengerjap dan menarik sudut bibirnya dengan terpana. Sejak kapan senyumnya pernah seriang ini? Dalam beberapa detik keterpakuannya, sekelebat wajah mendiang ibunya muncul, melengkungkan senyum seolah memberinya selamat. Selanjutnya juara satu dipekikkan. Para peraih juara maju ke depan sesuai arahan pembawa acara.

Piala, piagam, uang tunai senilai lima juta rupiah menjadi milik Alana, lalu kelas pelatihan tata rias profesional selama satu setengah bulan juga disebutkan, hadiah yang menerbitkan antusias sekaligus kerisauan. Gelora semangat itu meluruh oleh kenyataan bahwa ia tak mungkin meninggalkan ayahnya, seorang penderita stroke, untuk waktu yang tak sebentar.

Pamannya, Asyari, mungkin akan langsung mengiyakan. Namun Nuriah, istri pamannya, mungkin kurang menyetujuinya meski rumah mereka bersebelahan. Asyari selalu dengan senang hati memberi pengawasan dan perhatian terhadap Idris, kakak kandungnya, ketika Alana harus berangkat ke tempat calon pengantin yang menyewa jasa Bu Mariyam; pemilik galeri penyewaan baju pengantin sekaligus penata rias. Alana seorang Make-up Artist, bisa juga menjadi asisten Bu Mariam, yang dipanggil jika diperlukan. Pamannya selalu ia beri sedikit uang setelah menjaga dan merawat ayahnya.

Kemenangannya berarti kesempatan untuk menanjak. Jangkauan pekerjaannya selalu berkutat di sekitar kabupaten dengan penghasilan yang sepenuhnya bergantung pada keputusan pasangan untuk membuat ikatan suci. Sebulan ia bisa mendapatkan sedikitnya 3 job. Penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan ayahnya. Ditambah gaji terusan yang diwariskan mendiang ibunya sebagai pegawai negeri.

Acara selesai dan ketika semua hadirin dan peserta lomba membubarkan diri, para pemenang diberi sedikit pengarahan dari ketua panitia, bahwa pendidikan satu setengah bulan itu akan diberitahukan kepastiannya, mungkin sebulan kemudian, Agustus, atau bulan berikutnya.

***

Menempuh tiga jam perjalanan dari Surabaya, Alana akhirnya meluahkan sedikit isi perutnya di saluran air sisi jalan begitu turun dari bis. Dua macam bebauan membuatnya mabuk darat sepanjang perjalanan barusan. Satu, bau solar yang sebenarnya masih bisa ditahannya. Kedua, bau ketiak dari seorang laki-laki paruh baya di seberang kursinya, aroma yang lebih menyengat dari ban terbakar.

Gapura dengan tulisan Selamat Datang di Desa Rawa Pasir yang berwarna-warni di tiap hurufnya tampak gagah dan ramah. Tiang yang terpancang di sebelahnya menunjukkan arah panah menuju Pantai Celepuk yang berjarak lima kilometer. Desanya berdiri di wilayah kabupaten yang baru merasakan delapan tahun pemekaran dan berbatasan dengan Samudera Hindia.

Pada kedua sisi jalan desanya terdapat warung-warung yang berderet rapat satu sama lain di hampir sepanjang lima puluh meter. Di belakang tiap warung berdiri rumah-rumah pemiliknya. Beberapa merupakan kedai minuman, mi godok, penjual kerajinan dari kerang-kerangan, dan sebagian besarnya warung penjual aneka keripik ubi. Tiap warung meletakkan meja di depan dan menaruh beberapa stoples jumbo berisi ragam olahan keripik ubi di atasnya. Camilan yang bahan bakunya berasal dari tanah desa mereka sendiri. Sejak akhir tahun 80-an wilayah desa mereka mulai dikenal sebagai penghasil ubi jalar. Pernah ada masa, secara umum warga desa mereka sepenuhnya mampu mandiri menggantungkan hidup semata-mata dari umbi-umbian. Banyaknya kebun ubi jalar di juga menambah daftar keindahan alam desa selain pantai Celepuk.

Namun satu dekade kemudian perlahan produksi mereka tergerus oleh persaingan banyak daerah sekitar yang juga memproduksi ubi jalar, mengakibatkan harga yang menurun, belum lagi serangan jamur. Ketika itu pengetahuan mengenai penyakit ubi tidak terlalu menjangkau penduduk desa. Sebagian bertahan, sebagian lagi mengolah kebun mereka menjadi tanaman tebu yang lebih tahan banting tanpa memerlukan perhatian dengan harga jual relatif stabil.

Alana mengangkat bagian ujung jilbab katunnya untuk menghalau udara bercampur asap knalpot kendaraan berat masuk ke lubang hidung. Langit sore mulai menampilkan gradasi jingga. Rasa suka cita menggodanya untuk mengeluarkan piala dari tas kanvas, lalu berjalan menuju rumahnya yang sekitar sepuluh menitan, sambil memegang erat-erat piala yang berbentuk persegi panjang datar setinggi tiga puluh sentimeter itu untuk pamer. Ia hampir benar-benar melakukannya, sampai pandangannya lebih fokus memandang jalan di depan. Sekelompok orang, truk-truk yang berhenti; truk yang akan mengeruk pasir, dan di bagian belakang truk itu tertempel kertas karton bertuliskan sesuatu. Wajah Asyari merupakan satu dari beberapa orang yang mencegat kendaraan-kendaraan besar tersebut.

Pamannya bersama kawan-kawan petani ubi lainnya sedang melakukan aksi penolakan tambang pasir di pesisir selatan pantai Celepuk. Baru Alana teringat, kemarin ia memang sempat mendengar rencana pamannya untuk turun ke jalan desa menyuarakan protes.

Seorang lelaki paruh baya baru saja keluar dari kedai es cendol Bude Cipta sambil menenteng satu plastik besar berisi wadah-wadah plastik es cendol. Kedai itu berjarak lima meter dari depan Gapura, beberapa langkah sudah membawa Alana masuk ke kedai sempit yang mampu memuat tiga pasang kursi dan satu meja memanjang tersebut. Mata besar Cipta, perempuan paruh baya pemilik kedai melirik dari balik etalase kaca.

“Habis dari mana Lan, bawa tas besar segala?” tanyanya begitu Alana duduk di satu kursi paling depan.

“Dari Surabaya Buk, aku dapat juara kedua lomba make-up pengantin,” ujarnya tanpa berusaha menyamarkan nada riang di suaranya. Cipta seorang janda dengan lima orang anak yang semuanya telah berumah tangga, tanpa ada satu pun yang menemaninya di rumah.

“Es cendol satu Buk,” ujar Alana. Dengan cekatan Cipta meraih mangkok keramik, memasukkan secangkir cendol berwarna hijau dari termos, menuang santan dan sirop gula aren di atasnya, lalu meletakkan sesendok besar tape puhung dan serutan es batu. Ia sudah hafal bahwa Alana selalu menginginkan porsi tape yang dilebihkan. Tape puhung yang dibuat sendiri olehnya berbeda dengan tape singkong di kedai lain ataupun dari pengrajin khusus tape di desa mereka. Tingkat kelunakannya pas di mulut, rasanya lebih legit dan wangi.

“Pamanmu dan yang lainnya sudah tiga jam menyetop truk-truk,” katanya sambil meletakkan mangkok di meja. “Cepat sekali dampak pengerukan terlihat. Aku dengar panen kali ini dipastikan gagal. Kasihan sekali. Memang harus seperti ini, jangan dikira para petani tidak bisa protes secara terang-terangan.” Cipta menampakkan raut muka prihatin.

“Apa Kepala Desa sempat mendatangi mereka?” tanya Alana sambil mengaduk-aduk es cendol.

Cipta mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku dengar hari ini dia pergi ke alun-alun untuk menemani wakil gubernur.” Ia lalu melirik sekilas luar kedainya, seperti akan mengatakan sesuatu yang tak boleh dicuri dengar orang lain. “Apa benar tanah-tanah para petani ubi dekat pesisir itu semuanya akan dibayari oleh Pak Kades?”

“Itu....” Alana terdiam sejenak, lalu memutuskan menjawab dengan kalimat singkat. “Sebagian besar menolak.”

“Oh, jadi selain ganti rugi panen, tawaran itu memang ada. Ah, susah juga kalau lahan yang kita urus merupakan milik negara. Tapi menurutku seharusnya pemanfaatan tanah negara harus dibagikan secara adil. Truk-truk pengangkut pasir yang masuk ke desa harus dibatasi. Kuakui penjualanan warung-warung di sini sedikit meningkat sejak Pak Kades membuka penambangan setengah tahun lalu, tapi udaranya jadi sering berdebu pekat ketika truk-truk itu lewat dalam waktu yang tak tentu pula.”

Alana mendengarkan sambil telah nyaris menghabiskan setengah isi mangkok. “Apa semua penjual di sini punya keluhan sama?”

“Tentu saja. Kau tahu cucu Pak Halim si penjual bensin di ujung sana kemarin dibawa ke klinik karena napasnya sesak? Itu pasti karena dia sering menatap dekat truk yang lewat dan terlalu banyak menghirup udara yang berdebu,” ujarnya dengan raut muka sungguh-sungguh.

Alana bangkit setelah menandaskan isi mangkok dan minta dibuatkan dua bungkus es cendol untuk dibawa pulang.

“Oh, iya, Rita sekarang lagi jadi agen produk kesehatan merek Uvidream, salah satu yang dijualnya gelang laser penyembuh strok. Aku kelupaan mengatakannya kemarin saat kau kemari.” Ia membuka satu laci nakas dekat dinding lalu menggapai selembar brosur dan majalah. Rita merupakan satu anak perempuannya yang tinggal di Surabaya. Selama ini yang diketahui Alana, Rita juga menjadi penyalur ramuan herbal untuk diet dan menggemukkan badan.

“Nah, coba kau baca-baca dulu di rumah.”

Cipta membuka halaman dua belas. Menampilkan gelang lebar mirip jam tangan digital yang hanya dilirik tanpa antusias oleh Alana. Benda ini bukan untuk menyembuhkan seperti yang dikatakan Cipta, melainkan untuk membantu pencegahan strok, tertulis di bagian bawah produk. Alana mencelus saat melihat angka sembilan yang berderet. Rp 6.799.999,00. Di rumah, Alana sudah memiliki beberapa alat fisioterapi yang lebih sederhana dan terjangkau untuk terapi ayahnya, yang sejauh ini hanya sedikit memberi dampak kemajuan.

“Bisa kredit kok, jadi kau bisa menimbang-nimbang,” katanya lagi setelah Alana tanpa sengaja mengedutkan hidung. “Lihat ini.” Ia membalik halaman yang terakhir. “Ini bonus dengan pembelian tertentu.”

Lihat selengkapnya