Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #2

Bab 2

Menempuh tiga jam perjalanan dari Surabaya, Alana akhirnya meluahkan sedikit isi perutnya di saluran air sisi jalan begitu turun dari bis. Dua macam bebauan membuatnya mabuk darat. Sepanjang perjalanan barusan, bau solar sebenarnya masih bisa ditahannya. Namun karena seorang laki-laki yang kira-kira berusia lebih dari kepala empat duduk di seberang, meski jendela pada masing-masing sisi bis separuh terbuka, bau ketiaknya yang lebih menyengat dari ban terbakar menyeruak. Alana segera memakai masker bekasnya saat merias Dini. Hidung yang terbekap membuatnya engap meski aroma busuk cukup berkurang.

Gapura dengan tulisan Selamat Datang di Desa Rawa Pasir yang berwarna-warni di tiap hurufnya tampak gagah dan ramah. Tiang yang terpancang di sebelahnya menunjukkan jalur menuju Pantai Celepuk.

Alana mengangkat bagian ujung jilbab katunnya untuk menghalau udara bercampur asap knalpot kendaraan berat masuk ke lubang hidungnya. Langit sore mulai menampilkan gradasi jingga. Ia berangkat ke Royal Plaza Surabaya sejak subuh dan singgah ke tempat Dini untuk pergi bersama-sama, hadir sedini mungkin ke tempat perlombaan. Lalu sesorean ini ia pulang dengan keberhasilan.

Rasa suka cita menggodanya untuk mengeluarkan piala dari tas kanvas, lalu berjalan menuju rumah sekitar 20 menitan, sambil memegang erat-erat piala yang berbentuk persegi panjang datar setinggi 30 cm itu untuk pamer. Ia hampir benar-benar melakukannya, sampai dilihatnya sekelompok orang, truk-truk yang berhenti; truk yang akan mengeruk pasir, dan di bagian belakang truk itu tertempel kertas karton bertuliskan sesuatu. Wajah Asyari merupakan satu dari beberapa orang yang mencegat kendaraan-kendaraan besar itu.

Alana berlari kecil menuju ke sana. Di tengah jalan ada palang yang terdiri dari beberapa batang pohon ukuran sedang. Asyari dan seorang tetangganya yang juga seorang petani tampak berdebat dengan satu supir yang terus menggeleng-geleng dengan muka masam. Pamannya langsung menoleh begitu mendengar lenguh napas di dekatnya.

“Loh, sudah pulang keponakanku. Gimana hasilnya?” Ada sekitar tujuh orang di situ. Semuanya wajah familier yang merupakan tetangganya. Rekan-rekan Asyari yang tergabung di Forum Petani Mandiri Peduli Desa Rawa Pasir sedang memprotes untuk kesekian kalinya aktivitas penambangan pasir.

“Juara 2.”

Asyari tersenyum lebar dan mengelus kepalanya. “Alhamdulillah...”

Suara air berkecipak seperti dijatuhi benda berat mengagetkan orang-orang.

“Aduh...”

Alana tak terlalu memperhatikan, sepertinya ada seseorang yang jatuh ke parit sisi jalan itu.

“Hei...ada apa?” Asyari menoleh dan menghampiri dua anggota forum yang menatap miris ke parit.

“Kami nggak ngapa-ngapain, dia jatuh sendiri, kesandung batu ini,” ujar Mat Daud, pemain takraw tingkat daerah sambil menunjuk batu ukuran sedang dekat kakinya.

Sosok yang tercebur itu segera bangkit dan menaiki sisi jalan. Parit dangkal itu entah bagaimana membuatnya berlumuran air kotor sebadan-badan. Laki-laki dengan tinggi sedang, memakai kaos oblong dan celana kargo selutut. Ia meluah-meluah, mengeluarkan cairan keruh gelap yang tertelan. Lalu menyapukan punggung telapak tangan ke mukanya sambil melempar tatapan sengit bercampur malu ke arah orang-orang yang menungguinya di sisi jalan.

“Saya datang dengan niat bicara baik-baik. Kalian tidak harus selalu melakukan ini, menghentikan truk-truk. Membuat aktivitas terganggu dan yang paling parah, menghambat pemasukan orang-orang desa yang tanpa penambangan pasir mereka tak bisa berbuat apa-apa. Kalian sendiri melihat betapa banyak pengangguran yang memperoleh berkah dari pasir selama ini. Jika kalian merasa kesulitan bicara dengan perangkat desa, mari sekali lagi membicarakan ini, sekarang juga di kantor kami.”

Mat Daud mengambil satu langkah ke belakang, bau tak sedap dari tubuh lelaki itu menyerbu hidung-hidung orang di sekitarnya. “Untuk apa kau kemari? Pamanmu itu hanya bersikeras dengan tujuannya semula. Kami telah menyatakan penolakan sejak keputusan sepihak kalian. Sekarang dia malah mengirim keponakannya ketimbang muncul di depan kami.”

Laki-laki itu terdiam sejenak, matanya mengitari sekitar. “Kalian sadar betapa egoisnya tindakan ini? Lembaga kami dan kepala desa melihat peluang untuk mengangkat derajat orang-orang desa. Banyak pemuda yang akhirnya bisa mandiri meski tanpa keterampilan lain. Keluarga-keluarga yang akhirnya bisa melihat satu dua anaknya menjadi sarjana. Dan poster-poster yang kalian pasang sambil membawa nama kitab suci, apa itu maksudnya? Kalian bukannya mengambil jalan musyawarah...”

Mat Daud segera memotong ucapannya, “Dengar ya dik, kami menentang ketidakseimbangan. Sejak tiga tahun lalu kami bersikap kooperatif dan tindakan kalian setahun lalu benar-benar tindakan yang tidak demokratis. Itu artinya tidak ada gunanya bermusyawarah dengan pamanmu atau orang-orang yang mendapat siraman rupiah melimpah hanya dengan mengeluarkan izin sambil duduk dengan satu kaki di angkat ke meja.”

Kening laki-laki itu berkerut dan rahangnya mengencang. Semua yang dikatakan Mat Daud adalah kenyataan. Setahun lalu awal 2015, Dahuri, kepala desa dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), ikut membangun penambangan pasir besi, keputusan yang tidak mengejutkan lantaran di tahun 2013 bupati lama mengeluarkan izin usaha pertambangan pasir di pesisir pantai selatan.

Asyari dan rekan-rekannya membentuk forum untuk melawan. Mereka semua adalah petani yang sawahnya mulai terdampak akibat penambangan. Sebelumnya, bukit pasir tinggi di bibir pantai menjadi benteng alami yang menghalangi ombak menerjang daratan. Benteng itu semakin terkikis hingga di sepanjang ruas pantai Celepuk banyak terbentuk kubangan-kubangan air. Saat ombak meninggi hampir tak ada lagi tameng penghalang gelombang air laut masuk ke lahan pertanian warga. Sawah tercemar dan panen pun gagal.

Lihat selengkapnya