Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #3

Bab 3 : Percakapan di Waktu Senja

Kebanyakan orang di desa, termasuk Alana kenal betul dengan dua laki-laki yang meneriaki dan menggedor rumah Asyari. Mereka merupakan salah dua dari dua belas orang yang ditunjuk Dahuri untuk memungut uang masuk, pajak, atau apalah namanya kepada tiap truk pengangkut pasir. Tiap orang memenuhi tugas mereka di beberapa sudut jalan desa menuju pesisir pantai Celepuk. Condro dan Gandu yang mampir dan mencoba menantang Asyari merupakan dedengkot geng mereka.

Kejadian tadi siang mengejutkan saraf Alana. Ia mengintip dari jendela dekat dapur, Gandu si preman dengan kacamata bulat hitam menyepakkan kaki ke satu pot bunga anggrek.

“Mereka hanya sekedar menggertak sambal. Selama ini Pak Kades sama sekali tidak membuka jalan perundingan lantaran menganggap bahwa kehadiran petani hanyalah sekedar gangguan setara bunyi lalat. Sekarang dia bisa melihat kesungguhan kami,” kata Asyari yang duduk di teras, berdampingan dengan Asyari. “Tarif untuk tiap truk pengangkut pasir bisa mencapai angka dua ratus ribu rupiah dan jumlah paling sedikit truk yang masuk mungkin sekitar lima puluh. Belum lagi tambahan dari penjaga portal dan pengawas yang mengenakan biaya retribusi pada tiap truk. Tentu saja Gandu dan kawannya ikut gusar kalau sampai protes kami di dengar pihak Pemerintah Provinsi.”

“Apa itu mungkin?” tanya Alana yang merasa semangat Asyari terlalu bagus untuk diwujudkan.

Pasir di pesisir selatan yang diklaim memiliki kandungan bubuk besi kualitas terbaik menjadi berkah tak terbantahkan bagi desanya. Setelah belasan tahun pemerintah berwenang menjaga pasir agar tak terjamah, demi mencegah abrasi dan sepenuhnya memfungsikan Celepuk sebagai tempat tamasya, bayangan erosi pantai akhirnya kalah dengan godaan untuk menyerap setoran pajak baru.

“Kalau Pemprov nggak peduli, Paman bagaimana?”

“Kalau begitu Paman bakalan ke Jakarta,” jawab Asyari tanpa ragu. “Tapi untuk itu kami harus mengumpulkan biaya, pasti repot harus ke sana kemari. Paman dan yang lainnya akan ke Istana Negara dan minta Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa kas desa.”

Idris melirik adiknya dengan tatapan tak terbaca. Alana bertanya-tanya apakah ayahnya mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Dahuri telah menjabat selama dua periode sebagai orang nomor satu di desa mereka. Menyisakan tiga tahun lagi jatahnya menduduki kursi. Sebelum perubahan mendadak di pesisir selatan, Dahuri merupakan sosok yang gemar menjenguk warga desanya yang sakit, bergaul selayaknya tetangga yang ramah dan mendengarkan. Beberapa kesempatan saat ia menengok keadaan Idris selalu disertai santunan berkilo-kilo bahan sembako.

Bahkan ia gemar bercengkerama dengan Asyari. Benar-benar menampilkan kehangatan seorang tetangga yang murah hati. Kini takkan ada lagi percakapan penyambung silaturahmi setelah tak adanya kesepakatan yang bisa diterima pihak pro dan penentang tambang pasir.

“Paman pernah berpikir untuk menerima saja keadaan ini?” Akhirnya Alana menanyakannya juga. Ia masih menahan diri untuk tidak mengungkit tawaran beberapa bulan lalu, ketika pihak penambang menawari uang lima puluh juta rupiah untuk 2,5 hektar lahan yang dikelola Asyari. Tawaran itu ditolak begitu saja tanpa ada niat untuk bernegosiasi lebih lanjut. Namun, apakah pamannya tidak mempertimbangkan tujuan lain? Jika diam dan menerima tawaran bisa menyelamatkan, mengapa harus ribut-ribut memprotes?

“Gandi dan Condro itu menakutkan. Jangan-jangan suatu saat nanti mereka semakin nekat,” kata Alana lagi.

Asyari terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang. “Ini perjuangan nak. Pasti akan menemui tantangan.” Ia beralih memandang jalan. Menatap lalu lalang kendaraan roda dua dan deretan rumah di seberang dimana penghuninya juga duduk-duduk di teras masing-masing, untuk menikmati petang. Matanya melirik halaman. “Rumput halamanmu ini sudah tinggi.”

“Ah, iya. Rasanya baru kemarin Lana menyiangi rumput pakai alat keri.”

“Musim hujan memang bikin rumput lebih cepat tumbuh.”

Bunyi trompet terdengar di jalan.

“Cak! Beli cimol!” Sekonyong-konyong Mutia memekik dari ambang pintu. Ia kemudian berlari kecil menghampiri Asyari dengan alas kaki milik Rido.

“Ayah, minta duit, lima ribu,” pintanya.

Tukang cimol itu menghentikan gerobak motornya di pinggir jalan dekat ujung jalur bebatuan halaman Asyari. Asyari merogoh kantong celana panjangnya, satu gumpalan uang lecek sepuluh ribu dirapikannya.

“Lima ribu lagi belikan untuk Kak Lana,” ujar Asyari.

“Tapi, Kak Lana baru menang Yah. Harusnya dia yang traktir kita.”

“Eh, aku ini anak piatu ya, jadi punya hak dibelikan jajan,” ujar Alana dan Mutia hanya menyengir sambil mengamit uang itu.

***

Dering telepon menunda tidur Alana. Nomor tanpa nama terpampang di layar.

“Alana ya?” Terdengar suara lelaki di seberang sana yang tak asing.

“Iya, dengan siapa ya?”

“Coba tebak.”

Alana berusaha mengingat-ingat. Ada satu nama yang lewat di benaknya dan saat hendak menanyakan, si penelepon tertawa pelan, membuat tebakan Alana menjadi kepastian.

“Argani Sofyan Suprapto! Tumben kau menghubungiku!”

“Ha...ha...Sudah lama ya, enggak terasa sudah empat tahun kita tamat SMA,” katanya dengan nada riang. “Dari semua lingkaran pertemanan kita dulu cuma aku dan kau yang paling enggak bisa kumpul-kumpul. Riska, Mayang, Tuti mereka semua di Surabaya, masih suka nongkrong.”

Lihat selengkapnya