Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #3

Bab 3

Mutia sedang menjilati gulali bentuk bunga mawar ketika payung warna-warni tukang cimol Madas (Madura Asli) muncul dari arah utara. Tukang cimol yang jarang singgah di depan sekolahnya itu menghentikan gerobak motornya di jalur tanpa aspal, masuk ke jejeran para pedagang jajanan lainnya. Tukang cimol itu berhenti di sebelah tukang es serut. Tidak ada lagi sisa uang jajan Mutia yang sehari berjumlah lima ribu rupiah. Tiga ribu dari Nuriah dan dua ribu lagi jatah harian dari sepupu yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri, Alana.

Seingatnya ia menyimpan beberapa koin lima ratus di pouch transparan dengan logo merek kosmetik. Sedikit kebesaran untuk dua pulpen, satu pensil, penghapus karet, tip-ex dan beberapa buah jepit rambut untuk poni. Tempat alat tulisnya tidak menampilkan kesan anak-anak, karena merupakan pemberian Alana yang mendapatkannya dari bonus pembelian seperangkat perona mata. Setidaknya lebih mendingan dibanding tempat pensil lamanya yang penuh noda tinta.

Mutia merogoh tas samping dan menggapai pouch, jumlah koin di sana masih dua ribu perak. Kurang tiga ribu lagi karena minimal pembelian adalah lima ribu. Jumlah minimal yang agak memberatkan dan membingungkan bagi Mutia. Harusnya si tukang cimol bisa mengira-ngira berapa sisa uang saku murid-murid jika memutuskan mangkal di depan sekolah dasar. Ini sudah jam pulang di mana rata-rata uang jajan pasti telah terpakai sebagian. Tidakkah si tukang cimol mestinya bersikap lebih bijak dengan memberi keringanan? Kurangi saja jumlah bola-bola kanji itu sampai sesuai dengan harga dua ribu. Mutia mengemut bagian tangkai gulali sampai tak bersisa dan menjatuhkan tusuk bambunya ke tanah. Ia nyaris mendekati si tukang cimol yang berjarak beberapa meter darinya untuk bernegosiasi ketika sosok teman laki-laki di kelasnya menghentikan langkah di depannya.

“Si cepak belum dijemput ya?” Elang tersenyum mengejek, ia anak laki-laki paling tinggi dan berisi di kelas. Dua hari ini ia selalu mengolok-olok potongan rambut Mutia.

Tiga hari yang lalu setelah pulang sekolah, Nuriah merasa belum cukup bertindak setelah menaburi bubuk dari kapur pembasmi kutu di kulit kepala Mutia. Ibunya berpendapat sebagai upaya total pembasmian parasit pengisap darah itu, rambut Mutia yang sebahu harus dibuat lebih pendek. Pemangkasan rambut itu terjadi setelah seminggu lamanya Mutia mengalami gatal-gatal di kepalanya. Saat jam pelajaran, ia menggaruk dengan kuku jari telunjuk yang sedikit panjang. Garukan telunjuk mengenai sasaran. Seekor kutu hitam menyelip di bawah kukunya, menggeliat. Ia terpana dan kutu itu jatuh ke lantai, dekat kaki bangku. Kutu itu pun penyet di bawah tapak sepatunya. Ketika sampai di rumah, ibunya memeriksa dengan sisir rapat dan menemukan kutu yang telah beranak pinak.

Tidak ada protes atau anggukan setuju ketika Nuriah memintanya ikut ke tempat tetangganya, tukang pangkas dan cukur rambut pria. Ia hanya merasa tidak mau membantah ibunya. Ibunya beranggapan helai rambut yang panjang membuat kutu-kutu bersemangat membangun sarang. Mutia ngeri mendengar kata sarang. Sayangnya si tukang pangkas keasyikan dan seakan terlupa bahwa kliennya seorang anak perempuan. Rambutnya bondol dan masih untung si tukang pangkas tidak kebablasan membabat poninya.

“Harusnya tunggu Kak Lana pulang.”

“Kak Lana pandai memasang sanggul, nggak biasa memotong rambut. Sudahlah, kan nanti juga bakalan tumbuh.” Demikian kalimat pembelaan ibunya.

Ia tak tahu tertular kutu dari mana. Mungkin karena bando yang dibelinya dari pedagang aksesoris di pasar, di mana dagangannya ditebarkan di tikar dan boleh dicoba-coba lebih dulu atau topi milik semua anak perempuan di kelas yang ditukar-tukar si jahil Elang?

“Mau ikut aku nggak ke kolam Mbah Said? Atau tangkap bekicot di belakang rumahku? Hahaha, kau sudah cocok jadi anak laki-laki. Jadi untuk apa kau pakai jepit rambut? Bagusan dilepas saja!” Elang terkikik sambil menunjuk poninya. Jarak dengan Elang hanya sekitar dua langkahnya. Ia ingin mendorongnya, tapi anak-anak lain yang keluar dari gerbang sekolah menyusahkannya untuk mengambil ancang-ancang.

Suara mesin motor yang akrab mengalihkan perhatian Mutia. Melihat kedatangan Nuriah, ia segera mengabaikan Elang dan menghampiri ibunya dan berbisik.

“Bu, minta tiga ribu dong. Tia mau beli cimol nih, tapi duit Tia cuman dua ribu.”

Nuriah menggeleng cepat. “Ibu nggak bawa duit lebih.”

“Lah, tapi Ibu kan baru setor potongan kentang ke Bu Ramlah, baru dapat upah kan?”

“Iya, tapi langsung Ibu belikan beras, itu pun duit Ibu masih kurang lima ribu karena merek yang biasa dibeli nggak ada. Sudahlah, cepat naik.” Nuriah mengangkat karung beras dari dek depan dan menaruhnya di belakang punggungnya. “Pegang yang kuat.”

Andai saja sawah ayahnya tidak tercemar air laut pasti keluarganya punya persediaan beras sendiri, pikir Mutia sambil memeluk pinggang Nuriah. Ia sempat melirik tukang cimol yang dikerumuni beberapa murid, lalu Elang yang tampak memperhatikannya dari tadi. Mutia menunjukkan kepalan tangannya dan Elang hanya memutar bola mata.

Lihat selengkapnya