Sewaktu bersekolah di SMA Negeri 6 Surabaya, Alana adalah gadis paling manis di kelasnya menurut Gani. Dari kelas sebelas hingga dua belas mereka berada di kelas yang sama, jurusan ilmu pengetahuan sosial. Nilai-nilai pelajaran Alana cukup bagus, sayangnya ia terlalu kalem dan bukan seorang yang cukup berani mengacungkan telunjuk untuk bertanya atau menjawab saat guru mengadakan debat antar murid. Di kelas IPS saat itu yang paling penting adalah seberapa lihai kita mengeluarkan opini dan mendominasi diskusi.
Riska, Mayang, dan Tuti merupakan teman satu angkatan SMP dengan Gani. Tuti yang cukup mengenal Alana lantaran sering berjumpa di perpustakaan memintanya menjadi teman sebangku. Murid laki-laki di kelasnya kebanyakan tidak betul-betul ingin belajar, hanya tertarik pada bidang olah fisik dan masuk IPS karena tak ingin menderita di jurusan pengetahuan alam.
Alana memulai awal semester dengan duka yang tak disangka-sangka. Ibunya meninggal saat berada di ruang rapat sekolah tempatnya mengajar. Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya. Menjelang kelulusan musibah lain datang, ayahnya strok dan Gani ingat ia mengasihani Alana yang menghentikan rencana untuk menempuh jalur mandiri menuju kampus impiannya
“Jangan mengasihaniku. Untuk saat ini aku akan fokus mengurus Ayah di rumah. Setahun lagi aku akan mencoba ikut tes.”
Tapi rencana itu tidak juga terwujud. Gani memperhatikan Alana yang mulai mengembangkan keterampilan menata rias wajah. Ia rutin mengunggah kreasinya di laman Facebook Maryam Galeri dan di akun miliknya sendiri. Sementara itu persahabatan mereka berlima mulai merenggang karena jarak dan kesibukan menempuh pendidikan.
Di tahun keduanya menjadi mahasiswa, Gani berkenalan dengan Gerakan Hijau yang diinisiasi WALHI di lingkungan kampus. Ia tertarik dan mulai menyelami esensi perjuangan lembaga tersebut dalam pelestarian lingkungan.
Seiring waktu, Gani makin mengerti bahwa isu lingkungan hidup juga merupakan bagian dari isu politik. Ia tersadar mengenai beberapa kebijakan negara yang melegitimasi perusakan lingkungan, mulai dari Undang-undang, keputusan menteri, serta peraturan daerah. Ia mendaftar dan masuk sebagai salah satu staf WALHI, bahkan sempat mengikuti pendidikan ekologi di Singapura.
Berbagai kampanye di kampus-kampus lain ia ikuti bersama staf lain. Senior-seniornya meniupkan semangat penghimpunan kekuatan sipil untuk membangun kekuatan politik alternatif. Memikirkan hal itu membuat perasaannya meluap-luap.
Pukul sembilan pagi, Gani meminta Alana menemaninya ke pantai Celepuk, berangkat dengan motor Alana dan Gani yang membonceng. Mereka melaju dari jalan utama desa menuju arah timur laut. Semakin mendekati pantai rumah penduduk makin jarang terlihat, lalu mereka memasuki jalur dimana kiri dan kanan mereka berderet-deret pohon-pohon kelapa berukuran tinggi.
“Ku kira kau mau ke bagian selatan?”
“Nanti dulu deh. Aku mau jadi wisatawan dulu. Ini kan hari minggu. Habis dari sini kita sana,” kata Gani. Mereka telah sampai di bagian utara pantai. Ia berhenti di lahan parkir yang terdapat dua buah motor dan satu mobil Avanza.
Ada dua pondok penjual camilan dan minuman beberapa meter di sebelah kanan sana. Batang-batang pohon kecil terpancang di pasir dan tertempel sepotong papan bertulis kalimat Selamat Datang di Pantai Celepuk.
“Kalau pagi-pagi begini wisatawan memang belum banyak berdatangan,” kata Alana. Keduanya duduk langsung di atas pasir. Ombak membentuk gulungan-gulungan rendah dan matahari menerpakan sinar yang bersahabat. Di dekat mereka beberapa perahu tertambat dengan dayung-dayung di atasnya. Seorang anak memainkan perahu dan membawa dayungnya menjauh untuk mengorek pasir. Sementara di sepanjang pinggir pantai kuda-kuda sewaan dengan hiasan rumbai-rumbai meriah di sekitar leher berjalan dengan digiring pemandu. Satu dua anak berada di atas tiap kuda.
Gani menghirup udara dalam-dalam. Aroma laut mendinginkan kepalanya. Ia lalu merogoh kantong celana kargonya dan mengeluarkan sebatang cokelat.
“Kau mau?”
Alana mengangguk.
Batang cokelat itu dipatahkan menjadi dua bagian sama. Gani melirik bergantian antara Alana dan kuda-kuda di pinggir pantai.
“Ada seseorang yang dari tadi menatapmu. Yang pakai kaos oblong kuning di atas kuda yang paling besar.”
Sosok yang disebutkan Gani memang terlihat menatap ke arah Alana sebelum beberapa detik kemudian mengalihkan pandang.
“Oh, dia keponakan kepala KPRP. Tempo hari ketika pamanku menghadang truk-truk pengeruk pasir dia jatuh ke parit karena terpeleset. Aku baru pulang dari Surabaya dan Paman menyuruhku meminjamkan kainku.”
“Kau tak mau menagih mumpung orangnya di sini?”
“Itu cuma kain,” kata Alana dengan acuh tak acuh.
Kuda dari si kaos oblong kuning itu berjalan mengarah ke tempat mereka berdua.
“Apa yang akan dilakukannya? Minta maaf karena belum memulangkan kainmu?” Gani menggumam di sela-sela kunyahannya.
Keduanya mendongak ketika kuda dan penunggangnya itu berada pada jarak dua meter di depan mereka.
“Hei, aku minta maaf ya, melihatmu di sini, aku baru ingat belum mengembalikan kain batik kemarin. Sudah kucuci kok, hanya lupa mengembalikannya.”
“Eh, iya, santai saja.”
“Namamu Alana kan? Kau yang merias di pestanya Rani nanti kan? Dia sepupuku. Nanti sekalian di sana saja ya kainmu kukembalikan.” Ia terlihat ragu sejenak lalu melirik ke arah Gani. “Aku dengar satu anggota WALHI berkunjung ke rumah Pak Asyari.”
Gani berhenti mengunyah dan tidak ragu mengiakan. “Ada perlu denganku?” tanya Gani dengan ramah.
“Ah, tidak. Cuma penasaran. Survei lapangan? Aku kira kau mungkin mau berkunjung ke kantor kami.”
“Ya, lihat nanti. Aku juga enggak lama di sini. Paling besok aku sudah kembali.”