Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #4

Bab 4

Sejak aktivitas penambangan yang makin masif dari setahun lalu hingga menimbulkan gerakan protes Asyari dan kawan-kawan, ada saja petugas kepolisian hilir mudik berpatroli di jalan utama desa. Meski demikian anak-anak buah Dahuri seakan tak punya keseganan dan lihai melihat celah untuk menggertak para petani penentang tambang.

Kebanyakan orang di desa termasuk Alana kenal betul dengan dua laki-laki yang meneriaki dan menggedor rumah Asyari. Mereka merupakan salah dua dari dua belas orang yang ditunjuk Dahuri untuk memungut uang masuk, pajak, atau apalah namanya kepada tiap truk pengangkut pasir. Tiap orang memenuhi tugas mereka di beberapa sudut jalan desa menuju pantai Celepuk. Condro dan Gandu yang mampir dan mencoba menantang Asyari merupakan dedengkot geng mereka.

Kejadian tadi siang mengejutkan saraf Alana. Ia mengintip dari jendela dekat dapur karena mendengar kegaduhan. Gandu si preman dengan kacamata bulat hitam menyepakkan kaki ke satu pot bunga anggrek. Ia menyampaikan apa yang dilihatnya begitu Asyari menghampiri teras rumah dan duduk berdampingan dengan Idris.

“Mereka hanya sekedar menggertak sambal. Selama ini Pak Kades sama sekali tidak membuka jalan perundingan lantaran menganggap bahwa kehadiran petani hanyalah sekedar gangguan setara bunyi lalat. Sekarang dia bisa melihat kesungguhan kami,” kata Asyari. “Tarif untuk tiap truk pengangkut pasir bisa mencapai angka dua ratus ribu rupiah dan jumlah paling sedikit truk yang masuk mungkin sekitar 50. Belum lagi tambahan dari penjaga portal dan pengawas yang mengenakan biaya retribusi pada tiap truk. Tentu saja Gandu dan kawannya ikut gusar kalau sampai protes kami di dengar pihak Pemerintah Provinsi.”

Kedengarannya semangat Asyari terlalu bagus untuk diwujudkan pihak berwenang. “Apa itu mungkin?”

Pasir di pesisir selatan yang diklaim memiliki kandungan bubuk besi kualitas terbaik menjadi berkah tak terbantahkan bagi desanya. Pasir adalah harta karun yang tidak terpendam. Terhampar di depan mata dan manusia senaif apa yang mampu menahan diri untuk tidak mengais-ngais?

“Tidak ada yang menyerobot sawahmu, lebih baik bicara dengan Pak Kades, mungkin kau bisa memperoleh persenan yang lebih banyak, itu yang dikatakan Johar pada Paman tempo hari.”

Johar tinggal di seberang rumah sana. Ia seorang penambang individu yang menurut Asyari menambang di daerah ilegal.

Pamannya yang hanya tamatan SD menghitung dampak masif penambangan ke depan. Karena dianggap tidak intelek, segala hinaan sudah banyak diterimanya. Bahwa pamannya berkoar-koar tentang keselamatan lingkungan karena tak mendapat bagian dan bukan salah penambang jika ia bodoh dan terancam melarat. Keteguhan itu dibarengi dengan keyakinan, bahwa segala sesuatu haruslah seimbang. Kerusakan lingkungan adalah kenyataan yang tak terhindarkan jika pasir terus menerus dikeruk.

“Kalau Pemprov nggak peduli, Paman bagaimana?”

“Kalau begitu Paman bakalan ke Jakarta,” jawab Asyari tanpa ragu. “Tapi untuk itu kami harus mengumpulkan biaya, pasti repot harus ke sana kemari. Paman dan yang lainnya akan ke Istana Negara dan minta Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa kas desa.”

Idris melirik adiknya dengan tatapan tak terbaca. Alana bertanya-tanya apakah ayahnya mengerti sepenuhnya apa yang akan ditempuh adiknya itu.

“Paman pernah berpikir untuk menerima saja keadaan ini?” Akhirnya Alana menanyakannya juga. Ia masih menahan diri untuk tidak mengungkit tawaran lama setahun lalu. Ketika pihak penambang menawari uang 50 juta rupiah untuk 2,5 hektar lahan sawah milik Asyari. Tawaran itu ditolak begitu saja tanpa ada niat untuk bernegosiasi lebih lanjut. Namun, apakah pamannya tidak mempertimbangkan tujuan lain? Jika diam dan menerima tawaran bisa menyelamatkan, mengapa harus ribut-ribut memprotes?

“Gandi dan Condro itu menakutkan. Jangan-jangan suatu saat nanti mereka semakin nekat,” kata Alana lagi.

Asyari terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang. “Ini perjuangan nak. Pasti akan menemui tantangan.” Ia beralih memandang jalan. Menatap lalu lalang kendaraan roda dua dan deretan rumah di seberang dimana penghuninya juga duduk-duduk di teras masing-masing menikmati petang. Matanya melirik halaman. “Rumput halamanmu ini sudah tinggi.”

“Ah, iya. Rasanya baru kemarin Lana menyiangi rumput pakai alat keri.”

“Musim hujan memang bikin rumput lebih cepat tumbuh.”

Bunyi trompet terdengar di jalan.

“Cak! Beli cimol!” Sekonyong-konyong Mutia memekik dari ambang pintu. Ia kemudian berlari kecil menghampiri Asyari dengan alas kaki milik Rido.

“Ayah, minta duit, lima ribu,” pintanya.

Tukang cimol itu menghentikan gerobak motornya di pinggir jalan dekat ujung jalur bebatuan halaman Asyari. Asyari merogoh kantong celana panjangnya, satu gumpalan uang lecek sepuluh ribu dirapikannya.

“Lima ribu lagi belikan untuk Kak Lana,” ujar Asyari.

“Tapi, Kak Lana baru menang Yah. Harusnya dia yang traktir kita.”

“Eh, aku ini anak piatu ya, jadi punya hak dibelikan jajan,” ujar Alana dan Mutia hanya menyengir sambil mengamit uang itu.

***

Dering telepon menunda tidur Alana. Nomor tanpa nama terpampang di layar.

“Alana ya?” Terdengar suara lelaki di seberang sana yang tak asing.

“Iya, dengan siapa ya?”

“Coba tebak, siapa aku?”

Alana berusaha mengingat-ingat. Ada satu nama yang lewat di benaknya dan saat hendak menanyakan, si penelepon tertawa pelan, membuat tebakan Alana menjadi kepastian.

Lihat selengkapnya