Selesai wajah Rani dirias, Seno si penata rambut segera membuat pola paes di sekitar dahi sampai area dekat kuping dengan pensil alis. Lalu dengan cekatan menyisir rambut Rani ke belakang sambil tangan kirinya menyemprotkan hairspray. Alana membantu menata bantalan volume di bagian tengah kepala dan Seno menjepit semua rambut yang terurai ke belakang. Sanggul palsu ditambahkan untuk kemudian dipasangkan ronce melati.
Kemudian dengan gerakan hati-hati Seno mulai memegang kuas kecil, memenuhi pola yang digambarnya tadi dengan pidih. Jalinan ronce melati di pasang pada kedua sisi sanggul serta sentuhan akhir memasangkan tusuk konde bentuk bunga di atas bantalan yang tersembunyi. Rani mengenakan kebaya lengan panjang beludru hitam dengan sulaman emas dan bawahan kain batik samper khas Madura. Alana begitu lega bahwa segalanya begitu lancar. Mata Rani yang dilapisi softlens abu-abu tua terlihat berbinar, ia terus menatap penampilannya di cermin.
“Pantas saja, Bu Sinta percaya padamu. Aku suka hasil riasanmu. Tentu Seno juga pandai sekali.” Ini pujian yang terlontar dari seorang bibi Rani yang tak mau beranjak dari bilik ruang rias. Alana tersenyum simpul.
Acara akad nikah berlangsung setengah jam kemudian. Alana duduk di lantai bersandar pada dinding kamar sambil mengunyah dodol yang agak terlalu lembek. Seno keluar untuk menikmati suguhan makanan di luar, ia belum sarapan. Rani sedang duduk dengan kedua telapak tangannya saling menempel. Ijab kabul tengah berlangsung di halaman rumah dengan ayah Rani sebagai wali nikah.
Alana bangkit menuju cermin untuk melihat dodol yang lengket di barisan giginya dan segera meraih tisu. Saat selesai membersihkannya, satu sosok di luar rumah menghentikan langkah di depan jendela yang berdekatan dengan cermin.
“Hei, di sini saja? Enggak keluar?”
Itu keponakan Sapto.
“Yah, sebentar lagi.”
Pemuda itu mengangguk dan lanjut berjalan.
“Kau kenal dengannya?” tanya Rani.
“Sebenarnya enggak, hanya saja karena satu hal, aku sempat meminjamkan kain padanya.”
“Ha?” Rani hanya menatap lurus tanpa meliriknya, seolah menoleh ke arah berbeda bisa membuat sanggulnya copot. “Kau meminjamkan kain?”
“Aku kebetulan lewat saat dia jatuh ke parit jalan desa. Aku juga enggak tahu siapa namanya.”
“Namanya Yoda. Orangnya ramah, agak ceroboh, dan jomblo. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya punya toko roti. Dia sering main ke hutan desa. Kalau kau suka? Biar kuurus.”
“Ah, kau ini.” Alana membiarkan jawabannya hanya sependek itu. Yoda dengan kedua tangannya sedang membawa semangkuk besar sup daging menuju meja hidangan. Meski langkahnya tergesa, tampak kentara kehati-hatiannya menjaga agar kuah yang memenuhi wadah tidak terciprat ke kemeja batiknya.
Beberapa saat kemudian Rani keluar dengan digandeng bibinya. Selanjutnya merupakan beberapa rangkaian ritual. Alana dan Seno yang baru kembali, mengikuti di belakang.
***
Sekitar sejam sebelum masa kerjanya berakhir Alana baru makan malam di deretan kursi yang tak terlalu jauh dari panggung. Para undangan lebih ramai di jam-jam seperti ini. Ketika selesai menyantap Nasi Serpang, Alana menoleh ke kiri, seseorang duduk di sebelahnya.
“Ini kainmu. Makasih ya,” ujar suara yang sedikit parau itu.
Alana menerima kantong plastik putih itu. Ia mengintip sekilas, kain batik lamanya terlipat rapi, wangi dari pengharum pakaian terendus. Yoda kini memakai kemeja biasa dan celana denim.
“Sudah makan?” kata Alana.
“Sudah, baru saja selesai.”
Dari sisi panggung, ada seorang wanita dengan dandanan meriah, kostum ala penari India dengan mahkota kuning di kepalanya. Celak di sekitar matanya terlihat dramatis.