Sesekali Mutia mengintip dari balik tirai pintu kerang-kerangan antara ruang depan dan ruang belakang rumahnya. Jam menunjukkan angka 19.10 ketika tiga kawan-kawan Asyari duduk bersila di lantai ruang depan. Di tengah-tengah mereka ada baki nampan dengan satu ceret berisi seduhan kopi Nuriah, empat buah gelas yang belum diisi dan satu toples biskuit kelapa. Mutia sendiri yang menghidangkannya ke depan. Di dekat ayahnya ada satu tumpukan selebaran.
“Jadi ini selebaran yang akan kita bagikan besok," ujar Asyari.
Isi selebaran itu diketik oleh Gani dengan laptopnya sesaat sebelum kembali ke Surabaya. Asyari meminta Gani untuk memakai bahasa yang mudah dipahami, lalu mereka pergi ke kios percetakan di luar desa.
Pintu samping dari kamar Rido terbuka.
“Wah, anak lanang mau ke mana? Wangi benar, mau ngapel ke mana?” tanya satu suara.
“Nggak ngapel kok Cak. Mau nonton balap motor di alun-alun,” jawab Rido.
Rido menyingkap tirai pintu dan sedikit kaget melihat Mutia yang berdiri menempel di samping lemari.
“Ngapain sih dek? Ngintip begini ? Gabung saja sana, kasih pendapat.” Rido tergelak. “Ayo, kamu jadi pejuang lingkungan cilik” godanya.