Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #6

Bab 6

Selesai wajah Rani dirias, Seno si penata rambut segera membuat pola paes di sekitar dahi sampai area dekat kuping dengan pensil alis. Lalu dengan cekatan menyisir rambut Rani ke belakang sambil tangan kirinya menyemprotkan hairspray. Alana membantu menata bantalan volume di bagian tengah kepala dan Seno menjepit semua rambut yang terurai ke belakang. Sanggul palsu ditambahkan untuk kemudian dipasangkan ronce melati.

Kemudian dengan gerakan hati-hati Seno mulai memegang kuas kecil, memenuhi pola yang digambarnya tadi dengan pidih. Jalinan ronce melati di pasang pada kedua sisi sanggul serta sentuhan akhir memasangkan tusuk konde bentuk bunga di atas bantalan yang tersembunyi. Rani mengenakan kebaya lengan panjang beludru hitam dengan sulaman emas dan bawahan kain batik samper khas Madura. Alana begitu lega bahwa segalanya begitu lancar. Mata Rani yang dilapisi softlens abu-abu tua terlihat berbinar, ia terus menatap penampilannya di cermin.

“Pantas saja, Bu Sinta percaya padamu. Aku suka hasil riasanmu. Tentu Seno juga pandai sekali.” Ini pujian yang terlontar dari seorang bibi Rani yang tak mau beranjak dari bilik ruang rias. Alana tersenyum simpul. Kekhawatiran selanjutnya adalah mengenai kipas angin di sekitar pelaminan apakah cukup mampu menahan terpaan panas. Meski memakai foundation matte risiko riasannya meleleh tetap membuatnya waswas.

Acara akad nikah berlangsung setengah jam kemudian. Alana duduk di lantai bersandar pada dinding kamar sambil mengunyah dodol yang agak terlalu lembek. Seno keluar untuk menikmati suguhan makanan di luar, ia belum sarapan. Rani sedang duduk dengan kedua telapak tangannya saling menempel. Ijab kabul tengah berlangsung di halaman rumah dengan ayah Rani sebagai wali nikah.

Alana bangkit menuju cermin untuk melihat dodol yang melengketi gigi-giginya dan segera meraih tisu. Saat selesai membersihkannya, satu sosok di luar rumah menghentikan langkah di depan jendela yang berdekatan dengan cermin.

“Hei, di sini saja? Tidak keluar?” Itu keponakan ketua LMDH.

“Yah, sebentar lagi.” Ia mengangguk dan lanjut berjalan.

“Kau kenal dengan sepupuku?” tanya Rani.

“Sebenarnya enggak, hanya saja karena satu hal, aku sempat meminjamkan kain padanya.”

“Ha?” Rani hanya menatap lurus tanpa meliriknya, seolah menoleh ke arah berbeda bisa membuat sanggulnya copot. “Kau meminjamkan kain?”

“Aku kebetulan lewat saat dia jatuh ke parit jalan desa. Aku juga nggak tahu siapa namanya.”

“Namanya Yoda. Orangnya ramah, agak ceroboh, dan jomblo. Ayahnya punya usaha kos-kosan di Lumajang dan ibunya punya toko roti. Jadi dia bisa ke sana kemari tanpa memusingkan biaya hidupnya. Mau kukenalkan nggak?”

“Ah, kau ini.” Alana membiarkan jawabannya hanya sependek itu. Yoda dengan kedua tangannya sedang membawa semangkuk besar sup daging menuju meja hidangan. Meski langkahnya tergesa, tampak kentara kehati-hatiannya menjaga agar kuah yang memenuhi wadah tidak terciprat ke kemeja batiknya.

Masih belum beranjak dari dekat jendela, Alana memandangi diri di depan cermin. Wajahnya tampak letih dengan sapuan bedak tabur yang telah pergi bersama udara dan minyak di pori-pori. Ada dua jerawat kecil merah dekat hidung dan dua juga di bagian dagu. Lebih baik tidak memakai lapisan bedak yang menutup kelenjar sebasea sekarang-sekarang ini. Namun ia tampak seperti orang yang belum mandi meski pakaiannya sebagai perias terlihat layak untuk acara hajatan. Ia meraih satu tabung lipstik warna mauve di satu celah koper kosmetik dan memulasnya tipis-tipis di bibir.

Seno kembali ke bilik dengan satu piring berisi aneka camilan manis. Ada tapai ketan, kue lapis, dan kue apam.

Beberapa saat kemudian Rani keluar dengan digandeng bibinya. Selanjutnya merupakan beberapa rangkaian ritual. Alana dan Seno mengikuti di belakang. Rani berjalan hati-hati menuju ke pelaminan.

Tradisi Mengghar Bhalabar atau buka pintu dimulai. Pengantin pria yang diiringi anggota keluarganya dihadang bentangan tali dari bunga melati. Perwakilan kedua belah pihak yang disebut bhud janggi saling berdialog dalam tembang bahasa Madura. Perwakilan pengantin pria menjawab pertanyaan dengan tepat dan tali itu pun digunting.

Selanjutnya Mekalabah, uji ketangkasan. Pemandangan yang lumayan seru karena perwakilan pihak pria harus bertarung dengan perwakilan wanita dalam adu silat dengan iringan musik. Tentu saja sudah ditentukan bahwa kemenangan diraih perwakilan pengantin pria. Pengantin pria pun diperbolehkan melanjutkan langkah.

Lalu Putar Dulang, pengantin pria harus berjalan jongkok menuju pelaminan. Rani duduk di atas baki besar dari kuningan dengan posisi menghadap pelaminan, membelakangi arah datangnya pengantin pria. Pengantin pria yang entah karena grogi oleng ke samping kiri, menimbulkan gelak tawa sejenak para hadirin. Ia kemudian berjalan lebih perlahan dan sampai kepada mempelainya. Alas duduk Rani diputar sehingga mereka saling berhadapan dan berpegangan tangan, membuat penonton riuh menggoda mereka.

Prosesi itu terangkai kurang dari setengah jam saja. Pembawa acara yang memakai kebaya merah meminta Pak Kades untuk memberi kata sambutan. Dahuri naik ke panggung rendah dengan organ tunggal di bagian belakangnya. Ia memegang mikrofon dengan gayanya yang berwibawa. Sejak tadi ia duduk di antara para pria paruh baya dekat meja bundar beralas taplak satin putih. Kulitnya lebih bersih dari kebanyakan pria paruh baya kebanyakan di desa mereka, kumisnya tidak lebat namun juga tidak nampak dibentuk rapi. Tulang pipinya bulat menonjol dengan belahan dagu. Ia memberikan selamat pada pengantin baru, melengkungkan senyumnya yang kurang serasi dengan matanya yang kecil dan menjorok ke dalam. Seperti senyum menyeringai. Peci mengilatnya semakin menegaskan siapa dirinya, bahwa ia seorang raja kecil dengan barisan preman yang siap membuatmu kencing di celana jika berani membantah segala titahnya.

Suara dari gerombolannya meneriakkan agar Dahuri melantunkan sebuah tembang lagu, ia menolaknya dengan lambaian tangan dan senyuman lebar yang memamerkan deretan gigi-gigi seputih keramik. Alana merasakan dorongan untuk mundur dan kembali lagi ke bilik rias.

Dahuri turun dari panggung dan pembawa acara melanjutkan kalimat yang tak terlalu diperhatikan Alana lagi. Ia dan Seno duduk di barisan kursi dekat booth minuman blewah. Menuju tengah hari, kedua pengantin masuk ke rumah untuk makan siang dan mengganti pakaian. Total Rani memakai tiga baju hari ini. Jam siang hingga sore pasangan tersebut akan memakai baju adat Jawa Timur lain, sementara malamnya akan tampil lebih modern dengan ball gown dan jas.

***

Sekitar sejam sebelum masa kerjanya berakhir Alana baru makan malam di deretan kursi yang tak terlalu jauh dari panggung. Para undangan lebih ramai di jam-jam seperti ini. Ketika selesai menyantap Nasi Serpang, Alana menoleh ke kiri, seseorang duduk di sebelahnya.

“Ini kainmu. Makasih ya,” ujar suara yang sedikit parau itu.

Alana menerima kantong plastik putih itu. Ia mengintip sekilas, kain batik lamanya terlipat rapi, wangi dari pengharum pakaian terendus. Yoda kini memakai kemeja biasa dan celana denim. Karena masih menunggu jam azan Isya, musik ditiadakan lebih dulu.

Lihat selengkapnya