Rawa Pasir

Ahmalia Azmi
Chapter #7

Bab 7

Ember tutup tempat rantang susun dan wadah kecil berada di dalamnya menyenggol-nyenggol betis Mutia yang duduk di antara punggung Asyari dan tubuh depan Nuriah di atas motor. Nuriah memegang erat tangkainya dan kesulitan mengelakkan badan ember agar tidak bersentuhan dengan Mutia. Ia mengeluh.

“Lah, gimana lagi? Jalannya bolong-bolong gini,” kata ibunya. Jalan yang agak rusak tadi segera berganti dengan aspal yang mulus. Mereka sedang menyusuri dusun Gentengan di desa Condro, sebentar lagi akan mencapai tempat sawah yang akan dipanen.

Damar pemilik sawah menelepon Asyari kemarin sore untuk datang dan menuai padinya pagi ini. Kebetulan Mutia minta dicarikan tutut dan keong mas untuk tugas sekolah hari Senin. Gurunya, Bu Rina menyuruh murid-murid membawa setidaknya dua jenis hewan gastropoda.

“Mutia minta tutut dan keong mas untuk tugas sekolahnya,” kata ayahnya di telepon.

“Oh, aku memang sedikit repot karena bebekku juga tinggal sedikit untuk membersihkannya. Ambil saja tutut di sawahku sebanyak yang kalian mau dan bawa saja Mutia sekalian. Fauziah juga sering bertanya kapan Mutia datang lagi.” Dari ponsel seri Nokia tanpa kamera yang selalu di buat Asyari dalam mode loudspeaker jika sedang bertelepon; pendengarannya sedikit menurun, terdengar suara Pak Damar yang ceria.

Fauziah adalah anak perempuan montok yang baru masuk SD. Ini akan menjadi pertemuan kedua Mutia dengannya sejak tiga bulan lalu. Saat Asyari dan Nuriah menuai, Fauziah mengajaknya bermain dari ladang ke rumahnya yang berjarak seratus meter. Ia penangkap belalang yang lihai, suka mengejutkan ternak ayam ayahnya yang termenung, dan pernah menyodok kepala kura-kura koleksi abangnya hingga menghasilkan omelan berkepanjangan.

Damar biasanya menyewa beberapa buruh untuk menuai padi. Namun saat sampai di tepi sawah, baru mereka yang hadir di situ. Asyari menghentikan motor di pinggir dan mereka bertiga menuruni sisi jalan menuju sawah. Damar punya perut yang besar, hidung kecil, dan murah senyum. Ia sedang duduk di pondoknya bersama caping-caping bambu untuk para pekerja. Di kakinya ada empat buah pikulan bambu.

“Wah, kalian sudah datang. Mau duduk minum kopi dulu?”

“Tidak, kami langsung kerja saja.” Asyari meraih gulungan plastik berisi dua buah ani-ani, satu diserahkan kepada Nuriah. Setelah meletakkan rantang ke pondok, Nuriah segera menuju sawah yang berlumpur. Mereka sudah memakai sepatu bot di bawah lutut dari rumah.

Karena juga berencana mengumpulkan tutul untuk tugas sekolah dan lauk makan Mutia mengambil ember dan berjalan di pematang. Ia hanya memakai sandal biasa jadi ia mencari tutut dari area yang lebih kering. Dengan tangguk kecil batang kayu dijelajahinya air dangkal di sekitar batang-batang padi. Jumlah tutut biasanya melimpah saat menjelang panen. Suara ani-ani yang digerek Ibu dan ayahnya pada tiap tangkai padi berisi bulir-bulir memecah sunyi.

Mutia tidak berani mengusik kedua orang tuanya terutama Nuriah saat sedang melakukan pekerjaannya. Asyari membawa tangkai-tangkai padi yang dipotongnya ke tepi, lalu memunguti tutut-tutut yang menempel pada batang padi di dekatnya untuk kemudian mengoperkannya pada tangguk Mutia.

“Kau juga mau keong mas kan? Lebih baik pisahkan tempatnya.”

“Iya.” Mutia mengulurkan wadah bening dan Asyari mendapatkan keong mas entah di bagian mana lalu memasukkannya.

Damar ikut menyusuri pematang, ia menebar pandangan ke penjuru sawah. “Apa tidak ada perubahan lagi di desa kalian?”

Mutia yakin Damar menyinggung sawah mereka yang rusak.

“Kami melakukan apa yang kami bisa upayakan. Mereka bergeming dan terus-menerus mengeruk. Tapi, aku punya keyakinan semuanya akan kembali. Orang-orang yang biasanya bersikap di tengah-tengah mulai mau menentang tambang.”

“Apa anak buah Pak Kades mulai menyusahkan kalian?”

“Ya.” Asyari kemudian menceritakan yang dialami Malik. Damar melempar tatapan lembut pada Mutia.

“Doakan perjuangan dan keselamatan ayahmu ya Nak.”

“Pasti,” ujar Mutia singkat di saat ia memeriksa kaki kirinya. Sengatan gatal yang dirasakannya berasal dari pacet, Mutia menggosok sela-sela jari kakinya dengan ujung sandal secara kasar. Pacet yang butuh beberapa detik untuk terlepas itu sudah menciptakan titik berdarah di kulit ketika Mutia menekannya.

“Wah, hati-hati. Pacet juga banyak di sini,” ujar Pak Damar.

“Apa darahnya keluar banyak?” tanya Asyari.

“Enggak. Tapi gatal,” keluh Mutia yang segera kembali memperhatikan keberadaan tutut lain. Kabut kelabu pagi mulai menipis di saat buruh panen lain tiba. Asyari minta izin untuk sarapan.

Buruh panen yang baru tiba itu berjumlah lima orang, mereka mulai turun dan bekerja. Nuriah membuka dan meletakkan wadah rantang di atas lantai bambu. Telur dadar sambal menjadi teman nasi mereka. Ada tiga wadah dengan porsi yang pas bagi perut masing-masing. Asyari dengan cepat menghabiskan jatahnya dan bertelekan. Sinar matahari menerpa penjuru sawah. Di bagian petak sawah milik orang lain mulai didatangi orang-orang yang juga bersiap menanam benih padi.

Mutia duduk menyender ke dinding separuh pondok. Lima menit berselang Asyari menggeliat, meraih ani-ani dan beranjak dari pondok. Lengan kurus dengan urat-urat timbul itu memakaikan caping bambu ke kepalanya. Nuriah juga melakukan hal sama.

“Ha!” Sebuah tepukan kencang dari tangan gempal mengagetkan Mutia.

Fauziah mengagetkannya dari arah belakang. “Potong rambut ya, wow, kau kelihatan keren.” Ia duduk di sebelah Mutia.

“Aku sedang mengumpulkan tutut dan keong mas untuk tugas sekolah besok.”

“Tutut dan keong mas?”

“Ya. Disuruh membawa hewan sejenis siput.”

Lihat selengkapnya